Menuju konten utama

Cara Pria dan Wanita Mengatasi Patah Hati: Mengapa Berbeda?

Perempuan dan laki-laki punya cara yang berbeda untuk mengatasi patah hati. Perempuan cenderung curhat ke keluarga dan teman dekat, sedangkan laki-laki sibuk beraktivitas.

Cara Pria dan Wanita Mengatasi Patah Hati: Mengapa Berbeda?
Ilustrasi mengobati patah hati. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Tiga tahun lalu, Hakim harus merelakan hubungan jarak jauh dengan pasangannya berakhir. Kepada Tirto, laki-laki berusia 26 tahun ini mengaku belum siap menikah. Padahal, sang kekasih sudah ingin hubungan mereka berlanjut ke pelaminan.

Hubungan empat tahun itu pun kandas. Mulanya Hakim luar biasa sedih. Namun setelah sadar bahwa hidup terus berjalan, ia lantas menyibukkan diri dengan pekerjaan dan aktivitas di kampus. Saat itu, Hakim masih berstatus mahasiswa aktif di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta.

Selain kegiatan kampus dan pekerjaan, makan jadi cara Hakim untuk menghibur diri. Ia menjelaskan bahwa saat membayangkan makanan, ia tak lagi berpikiran akan hal-hal lain, termasuk soal putusnya hubungan dengan sang mantan.

Setali tiga uang dengan Hakim, Rizqi (26) juga pernah mengalami putus hubungan dengan pasangan yang telah bersamanya selama dua tahun sejak 2014.

“Sebenarnya sudah putus dengan orang yang sama tahun 2015, tapi karena (alasan) putusnya gara-gara keluarga jadi dulu masih saling suka. Putus tahun 2016 itu karena keluarga juga tapi kali ini benar-benar sudah enggak tertolong jadi ya sudah, we separated for good dan putusnya baik-baik,” katanya kepada Tirto.

Rizqi mengaku bahwa keluarga sang mantan tak bisa menerima hubungan mereka berdua lantaran beda agama dan etnis. Saat ia mengetahui hal itu, ia syok dan sedih. Nafsu makannya sempat menghilang selama beberapa hari.

Usai hubungan dengan sang mantan berakhir, Rizqi pelan-pelan kembali menata hidupnya. Ia mengatakan bahwa pasangannya saat itu adalah cowok tipe posesif dan hal itu menimbulkan kesulitan bagi dirinya.

“Selama jalan bareng itu aku kemana-mana sama dia. Pagi sampai malam intens chatting dan tiap hari sesibuk apapun harus sempat ketemu minimal mengantar pulang pas malam hari. Kebiasaan yang begitu mengakar itu jadi susah 'kan kalau tiba-tiba hilang,” katanya.

Di tengah kondisi seperti itu, perasaan Rizqi perlahan mulai membaik saat ia menghabiskan banyak waktu bersama kawan-kawannya.

“Aku pelan-pelan kemana-mana sendiri, sering-sering pergi sama teman segala macam. Intinya membiasakan diri dengan keramaian,” ujarnya. “Pas sudah lulus, pas banget mulai menyibukkan diri sana-sini cari kerjaan lepas begitu. Akhirnya ya teralih dengan sendirinya sampai akhirnya benar-benar ketemu pacar baru.”

Laki-Laki Susah Curhat

Patah hati memang menimbulkan berbagai macam reaksi, salah satunya adalah rasa kehilangan. Craig Eric Morris, dkk dalam laporan penelitiannya yang bertajuk “Quantitative Sex Differences in Response to the Dissolution of a Romantic Relationship” (2015; 1-2) mengatakan bahwa kehilangan adalah hasil dari tarik-ulur antara manfaat (advantage) dan 'ongkos' yang mesti dikeluarkan (cost). Dalam hal ini, hubungan romantis memiliki berbagai macam kegunaan bagi seseorang, serta 'ongkos' dalam bentuk perilaku dan emosi yang mesti diungkapkan jika mereka berpisah.

Eric Morris menjelaskan bahwa reaksi emosional terhadap perpisahan seringkali dipengaruhi oleh kondisi seseorang. Kondisi mental dan fisik yang terwujud dalam bentuk kekhawatiran, adiksi, dan depresi bisa berdampak pada perilaku dan situasi emosional seseorang. Tak heran jika kehilangan kerap berujung pada depresi, kesedihan, atau perasaan bersalah.

Rasa kehilangan dan kesedihan dirasakan baik laki-laki dan perempuan saat putus cinta. Tapi, ada perbedaan cara antara laki-laki dan perempuan dalam mengolah dan menghadapi pengalaman perpisahan. Seperti yang dilaporkan Huffington Post, perbedaan tersebut dipengaruhi oleh peranan sosial dalam hubungan, persepsi tentang harga diri, dan cara mengatasi emosi.

Kepada Huffington Post, Psikolog Melanie Schilling menjelaskan bahwa baik laki-laki dan perempuan memperoleh harga diri dari sebuah hubungan yang sedang dijalani. Gara-gara hal tersebut, keduanya didera rasa kehilangan dan mengalami konflik identitas ketika harus berpisah dengan pasangan.

Ia mengatakan secara umum laki-laki mendapatkan harga diri dari status sosial berpasangan. Sementara itu, perempuan memperoleh koneksi dari hubungan dengan pasangan. “Perbedaan ini berpengaruh pada perilaku laki-laki dan perempuan setelah mereka berpisah,” kata Schilling.

Seperti yang dilaporkan Huffington Post, Schilling menjelaskan bahwa perempuan cenderung curhat sembari mencari dukungan dari keluarga dan teman. Di sisi lain, laki-laki biasanya mengelola patah hati dengan cara menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas.

Infografik Mengatasi Patah Hati

“Penelitian menunjukkan bahwa perempuan memerlukan koneksi perasaan sedangkan laki-laki butuh kegiatan yang bisa dilakukan. Tak heran jika seorang wanita terlihat berkumpul dengan teman-teman sesama perempuan sambil bercerita tentang patah hatinya. Di sisi lain, laki-laki biasanya mencoba aktivitas baru, pergi berlibur, atau menjalin hubungan baru setelah berpisah,” kata Schilling.

Perbedaan aktivitas laki-laki dan perempuan setelah putus hubungan dikonfirmasi oleh psikolog Kasandra Putranto. Kepada Tirto, Kasandra mengatakan bahwa perbedaan itu disebabkan oleh karakteristik otak laki-laki- dan perempuan yang berbeda.

Menurut Kasandra, perbedaan karakteristik otak membuat perempuan lebih bisa dan terbiasa mencurahkan isi hati kepada teman atau keluarga. Sebaliknya, laki-laki cenderung menghindari komunikasi verbal sehingga sulit meluapkan perasaannya pada orang lain.

“Makanya mereka lebih mudah menyibukkan diri dengan kegiatan, terutama karena dipengaruhi oleh mekanisme adrenalin mereka. Pria dengan tingkat adrenalin rendah potensi depresinya lebih tinggi,” ujar Kasandra.

Ketidakmampuan pria untuk mencurahkan isi hati layaknya perempuan juga berpengaruh pada perasaan yang dialami saat patah hati. Apalagi, menangis dan mengakui suasana hati yang rapuh masih menjadi hal yang tabu bagi kebanyakan laki-laki, mengingat mereka dibesarkan dalam kultur yang menganggap tangisan sebagai tanda kelemahan.

Baca juga artikel terkait HUBUNGAN CINTA atau tulisan lainnya dari Nindias Nur Khalika

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Windu Jusuf