Menuju konten utama

Cara Pemerintah Cegah 'Panic Buying' & Dampak Buruk di Baliknya

Aksi borong dinilai dapat menyebabkan kelangkaan. Tapi kebijakan pembatasan pembelian bahan pokok yang dilakukan pemerintah dinilai mengerek inflasi dan dikritik sejumlah pengusaha.

Cara Pemerintah Cegah 'Panic Buying' & Dampak Buruk di Baliknya
Ilustrasi panic buying. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Aksi borong atau panic buying yang terjadi di tengah pandemi COVID-19 direspon pemerintah dan pengusaha dengan sejumlah kebijakan yang bersifat restriktif.

Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), misalnya, meminta para pedagang untuk membatasi pembelian sembako

Wakil Ketua Umum DPP APPSI Sarman Simanjorang mengatakan langkah tersebut dilakukan menyusul dikeluarkannya Surat Edaran bernomor B/1872/III/Res.2.1/2020/Bareskim oleh Satgas Pangan Polri pada 16 Maret 2020.

Isinya: membatasi pembelian sejumlah bahan pokok agar tak terjadi kelangkaan. Pembelian beras, kata Sarman, hanya boleh dibeli maksimal 10 kg, sementara gula 4 kilogram, minyak Goreng 4 liter dan pembelian mie instan 2 dus.

"Itu imbauan dari Satgas Pangan, suratnya sampai di kami. Kami sudah berikan surat itu ke retail retail agar masyarakat tidak belanja berlebihan," ujarnya kepada reporter Tirto, awal pekan lalu (17/3/2020).

Untuk meredam aksi panic buying, Kementerian Perdagangan juga menjanjikan kesiapan pasokan pangan untuk masyarakat dengan harga terjangkau. Menteri Perdagangan Agus Suparmanto juga mengklaim, stok kebutuhan pokok masih bisa terpenuhi hingga Ramadan dan Lebaran.

Aksi borong memang bukan terjadi di beberapa sejumlah pusat perbelanjaan sejak ketakutan atas COVID-19 merebak di masyarakat. Di Super Market Hero di Mall Central Park, Jakarta Barat, misalnya, warga ramai-ramai memenuhi troli dengan bahan makanan pokok.

Desi Angriani seorang kasir di lokasi itu mengungkapkan, kondisi itu berlangsung pada 3 Maret 2020 lalu, sesaat setelah pemerintah mengumumkan kasus positif COVID-19 pertama di Indonesia.

Gelombang aksi borong juga sempat menerpa beberapa gerai swalayan Superindo. Namun, kondisi itu terjadi usai Presiden Joko Widodo mengimbau masyarakat bekerja dari rumah dan membatasi interaksi langsung dengan orang lain (social distancing).

Corporate Affairs PT Lion Super Indo Priyo Dwi Utomo menuturkan, tiga hari berturut-turut Superindo kebanjiran pembeli. Bahan-bahan yang diborong antara lain panganan instan yang bisa disimpan dalam waktu lama mulai dari mie, makanan kaleng hingga olahan daging.

“Masanya sampai tiga hari. Panic buying-nya kelihatan, dari barang yang dibeli agak banyak," jelas dia kepada Tirto, Rabu (18/3/2020) lalu.

Kendati demikian, kata Priyo, aksi borong kini berangsur reda terutama usai pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan dan mengklaim stok bahan pokok masih aman.

"Ada kenaikan (pembelian) ya tentu. Tapi untuk yang instan saja, yang lain enggak begitu dibeli. Saat ini stok aman," imbuhnya.

Dampak Pembatasan

Meski kondisi saat ini bisa dikatakan stabil, bukan berarti aksi borong seperti yang terjadi di awal Maret itu tak kembali terulang. Apalagi, jumlah pasien COVID-19 di Indonesia terus bertambah dengan sangat cepat.

Sejumlah pengusaha makanan-minuman serta pusat perbelanjaan meminta pemerintah mengeluarkan kebijakan lain yang lebih tepat dan menganulir pembatasan pembelian sembako dan bahan pokok.

“Kami dengan teman-teman asosiasi semua sepakat itu bukan cara yang tepat. Kami tidak ada kekurangan barang jadi tidak ada yang perlu dibatasi,” ucap Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi Lukman di Jakarta, Kamis (19/3/2020).

Pernyataan Adhi juga mewakili suara dua asosiasi lainnya, yakni Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia dan Himpunan Pengusaha Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo).

Mereka menilai pemerintah tak perlu membatasi pembelian sembako lantaran mereka masih sanggup memenuhi pasokan hingga tiga bulan ke depan.

Memang, kata Adhi, stok sejumlah komoditas seperti garam dan gula mulai menipis. Tapi, hal tersebut masih bisa diantisipasi pemerintah lewat kebijakan lain di luar pembatasan pembelian.

“Kami perhitungkan sampai lebaran atau setelah Juni cukup. Stok bahan baku dan barang jadi,” ucap Adhi.

Sementara itu Dewan Penasehat Himpunan Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Tutum Rahanta menyatakan bahwa kebijakan itu dikhawatirkan bakal merugikan pembeli yang memang kebutuhannya bersifat grosiran.

Ia mencontohkan, warung kelontong dan industri pengolahan kecil akan terdampak karena tak semua pembeli ritel adalah perorangan. Pada taraf tertentu, bahkan pembatasan itu dapat mengerek inflasi pada kelompok bahan makanan jadi.

Di sisi lain stok masing-masing ritel juga berbeda. Ia menyarankan agar pembatasan pembelian itu cukup di atas kertas, yang dapat dipakai pengusaha sebagai pegangan agar pembeli tak melakukan rush atau panic buying.

“Kan, ketersediaan stok masing-masing toko beda. Hipermarket beda sama minimarket. Supermarket beda. Kalau kita liat pembeli tidak wajar kita bisa keluarkan surat itu untuk pengamanan,” ucap Tutum di Jakarta, Kamis (19/3/2020).

Baca juga artikel terkait VIRUS CORONA atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas & Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Hendra Friana