Menuju konten utama
Serial Krisis Ekonomi

Cara Orde Baru Menghadapi Resesi Global Awal 1980an

Harga minyak mulai turun. Penerimaan migas anjlok. Upaya-upaya mendorong penerimaan nonmigas mulai dikebut.

Cara Orde Baru Menghadapi Resesi Global Awal 1980an
ilustrasi pertambangan minyak bumi. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Era kejayaan minyak mulai berakhir memasuki dasawarsa 1980-an. Dunia kelebihan pasokan minyak, pada saat yang sama terjadi kelesuan ekonomi yang menurunkan permintaan. OPEC bergerak dengan meminta negara-negara anggotanya untuk memangkas produksi. Tahun 1981, Indonesia harus mematuhi perintah OPEC itu.

Penurunan produksi berarti pendapatan ekspor dan juga pendapatan negara dari minyak akan berkurang. Akibatnya, defisit ganda kembali terjadi: defisit transaksi pembayaran dan juga defisit APBN. Devaluasi kembali dilakukan untuk mengatasi masalah defisit. Sayangnya, devaluasi tidak berdampak signifikan karena tekanan eksternal yang kuat. Perlu upaya-upaya yang lebih sistematis untuk mengatasi akar permasalahan ketimbang sekadar devaluasi.

Upaya-upaya untuk mendorong penerimaan negara non-migas harus digencarkan. Ekonomi tak bisa lagi bergantung pada penerimaan migas. Ekstensifikasi pajak dilakukan sebagai upaya untuk mencari sumber-sumber penerimaan. Deregulasi diterapkan untuk mendorong perbankan lebih agresif dalam menjalankan fungsi ekonominya.

Resesi Global

Ekonomi dunia mulai dilanda kelesuan pada tahun 1981. Inflasi dan tingkat pengangguran meningkat. Terjadi ketidakseimbangan neraca pembayaran internasional. Masing-masing negara mengatasinya dengan proteksi ekonomi.

Bank Dunia menyebut resesi pada tahun 1982. Ini merupakan resesi pertama yang dihadapi oleh pemerintahan Orde Baru. Sebelum terjadi resesi, dunia mengalami dua kali lonjakan harga minyak yakni 1973/1974 dan 1979/1980. Tidak semua berbahagia dengan lonjakan harga minyak tersebut. Bagi negara pengimpor minyak, lonjakan harga berarti malapetaka karena menyebabkan defisit pada neraca perdagangannya.

Bagi negara eksportir, lonjakan harga minyak memang menjadi berkah tetapi juga memunculkan risiko ekonomi berupa inflasi. Pada masa itu, inflasi memang menjadi risiko yang harus dihadapi. Di beberapa negara maju, inflasi bahkan mencapai dua digit. Negara-negara ini mengendalikannya dengan menaikkan suku bunga.

Amerika termasuk salah satu yang menerapkan kebijakan tersebut. Pada tahun 1979-1980, Bank Sentral AS (The Fed) menerapkan kebijakan uang ketat untuk meredam inflasi. Hasilnya, suku bunga pinjaman dalam dolar melonjak.

Kebijakan tersebut memang berhasil meredam inflasi di AS, akan tetapi pada saat yang sama memicu kelesuan pada perekonomian AS dan juga dunia. Negara-negara yang memiliki pinjaman dalam dolar tercekik. Mereka mengalami kesulitan dalam pembayaran utang. Agustus 1982, Meksiko menyatakan tidak bisa membayar utangnya. Setelah itu diikuti negara-negara lainnya yang menyatakan tak mampu membayar utang.

Krisis utang pecah. Dunia dilanda resesi. Seiring lesunya perekonomian, permintaan minyak pun ikut turun. Dampaknya, harga minyak yang sempat mencapai titik tertingginya pada tahun 1980-an, secara perlahan turun.

Dalam pidatonya di Pertemuan Tahunan IMF dan Bank Dunia tahun 1982 seperti ditulis dalam buku A Tribute to Ali Wardhana, Indonesia’s Longest Serving Finance Minister (2015: 96) Ali Wardhana mencatat, terjadinya stagflasi dan inflasi di negara-negara industri berdampak pada negara-negara lain.

Indonesia termasuk yang menghadapi ketidakpastian besar akibat ini. Harga-harga komoditas turun dan manufaktur terpukul oleh aksi proteksionisme. Semua itu menyebabkan turunnya pendapatan eksternal dan internal, yang diperlukan untuk mendanai dan melanjutkan pertumbuhan ekonomi yang seimbang.

“Situasi di negara-negara maju, yang terpukul oleh resesi dan inflasi dengan akibat wajar memburuknya item-item perdagangan, hampir membuat putus asa,” tulis Ali Wardhana.

IMF dan Bank Dunia memang membantu mengatasi masalah dalam neraca pembayaran dan kebutuhan pembangunan negara-negara anggotanya. Namun, sumber-sumber mereka terbatas sehingga tidak bisa mengatasi masalah secara luas.

Defisit Ganda Muncul Lagi, Devaluasi Jadi Bumerang

Penurunan harga minyak secara otomatis menurunkan pendapatan negara sekaligus penerimaan ekspor Indonesia. Hal itu menyebabkan masalah defisit ganda yakni defisit neraca perdagangan dan defisit anggaran negara.

Seperti ditulis oleh Boediono dalam Ekonomi Indonesia dalam Lintasan Sejarah (2016: 159), pada tahun 1982, harga minyak Indonesia tercatat merosot dari 35 dolar AS per barel menjadi 30 dolar AS per barel. Pada saat yang sama volume produksi juga turun, sementara konsumsi dalam negeri meningkat.

Dari sisi penerimaan ekspor, terjadi penurunan besar. Pada awal dasawarsa 1980-an, 3/4 penerimaan ekspor Indonesia berasal dari migas, dan 2/3 penerimaan negara berasal dari migas.

Tahun 1981/1982 tercatat sebagai puncak dari ekspor minyak bumi Indonesia, dengan rata-rata tahunan mencapai 14,6 miliar dolar AS. Setelah itu, ekspor turun tajam dan menjadi hanya setengahnya pada tahun 1985, seiring dengan terus turunnya harga minyak. Pada saat yang sama, ekspor gas memang mulai meningkat, akan tapi belum mampu menutupi penurunan dari ekspor minyak.

Turunnya penerimaan ekspor memunculkan kembali masalah defisit neraca pembayaran. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah menyelesaikannya dengan melakukan devaluasi.

Keputusan devaluasi sempat memunculkan kontroversi. Devaluasi dianggap tidak bisa menolong, mengingat yang terjadi adalah resesi ekonomi dunia. Jadi seberapa besar devaluasi, produk Indonesia tetap tidak terserap karena permintaan lemah. Ini berbeda dengan devaluasi pada 1978, ketika kondisi perekonomian dunia tidak mengalami resesi. Sehingga setelah devaluasi, komoditas ekspor Indonesia bisa bersaing di pasaran dunia.

sebagaimana dipaparkan Radius Prawiro dalam Radius Prawiro: Kiprah, Peran dan Pemikiran (1998: 204), kebutuhan untuk melakukan devaluasi sebenarnya sudah ada sejak 1982 karena terus naiknya pengeluaran untuk impor, dengan nilai sudah lebih 7 miliar dolar AS. Padahal, penerimaan negara dari minyak sedang turun. Kondisi ini jika dibiarkan bisa membahayakan cadangan devisa dan neraca pembayaran di luar negeri.

Namun, secara politis devaluasi dianggap tidak menguntungkan dilakukan pada tahun itu karena Indonesia sedang menggelar pemilu. Akhirnya, devaluasi baru berlaku pada Maret 1983. Rupiah didevaluasi sebesar 28% atau dari Rp703 per dolar AS menjadi Rp970 per dolar AS. Devaluasi diharapkan mampu mendorong ekspor non-migas, dan pada saat yang sama mengurangi laju impor.

Menurut Radius Prawiro, pemerintah sebenarnya sudah mulai menggencarkan ekspor non-migas sejak KENOP 1978. Namun, saat itu negara-negara maju sedang mengalami resesi sehingga tidak mampu menyerap produk-produk negara berkembang. Hasilnya, produk-produk nonmigas Indonesia tetap tak bisa terserap.

Reformasi Perpajakan

Selain menyebabkan turunnya pendapatan ekspor, turunnya harga minyak juga berdampak pada penerimaan negara. Apalagi, sejak era boom minyak, ekonomi Indonesia sangat bergantung pada penerimaan minyak. Boediono menyebutkan, dari sisi penerimaan negara, pada 1981/1982 dan 1982/1983, migas menyumbang 67% dari seluruh penerimaan negara. Sebanyak 80% untuk pengeluaran rutin, dan 20% untuk membiayai proyek-proyek pembangunan.

Radius Prawiro menyebut pada APBN 1981/1982 penerimaan dalam negeri sebesar Rp12.162,4 miliar. Sebanyak 70% atau Rp8.627,9 miliar merupakan penerimaan dari sektor migas.

Dengan berkurangnya pendapatan dari minyak, pemerintah harus mengetatkan anggaran. Proyek-proyek besar ditinjau ulang, subsidi BBM dikurangi dengan cara menaikkan harga BBM pada tahun 1983 dan 1984. Gaji PNS bahkan tidak dinaikkan selama empat tahun. Sayangnya, defisit anggaran tetap terjadi karena sejumlah penerimaan rutin tidak bisa dikurangi. Pemerintah akhirnya menutupnya dari pinjaman lunak. Pembicaraan secara intensif dengan IGGI kembali dilakukan.

Dari semua kebijakan yang diambil pemerintah, Radius Prawiro menilai reformasi perpajakan adalah kebijakan terpenting.

Upaya untuk mencari sumber-sumber penerimaan nonmigas mulai digencarkan. Pemerintah menyadari Indonesia tak bisa selamanya bergantung pada penerimaan dari migas. Salah satu kebijakan yang diupayakan adalah meningkatkan penerimaan dari pajak. Untuk itu, pemerintah mengeluarkan sejumlah undang-undang baru di bidang perpajakan. Sebelum adanya UU ini, pemerintah masih menggunakan UU era kolonial untuk memungut pajak.

Pada tahun 1983 diumumkan program reformasi luas di bidang perpajakan. Melalui UU baru tersebut, sistem dan prosedur perpajakan disederhanakan sehingga diharapkan lebih menarik orang untuk membayar pajak. Jumlah pembayar pajak dijaring seluas-luasnya. Perluasan basis pajak dinilai lebih kuat bagi pengembangan perpajakan pada masa depan dan lebih menjamin kestabilan dalam penerimaan pajak.

Soeharto sendiri menyebut UU Perpajakan tahun 1983 itu sebagai "monumen nasional".

Di kemudian hari, reformasi perpajakan ini memang memberikan hasil yang signifikan, terutama saat penerimaan minyak semakin turun. Radius Prawiro menulis, pada 1987/1988 penerimaan negara mencapai Rp17,2 triliun, sebesar Rp10,297 triliun disumbang dari delapan macam pajak.

Infografik Era Deregulasi

Infografik Era Deregulasi. tirto.id/Quita

Deregulasi Perbankan

Di bidang perbankan, pemerintah melakukan deregulasi yang bertujuan memberikan kelonggaran kepada perbankan sehingga bisa mendorong aktivitas ekonomi.

Pada Juni 1983, pemerintah mengumumkan paket kebijakan perbankan. Bank-bank milik pemerintah dibebaskan untuk menentukan bunga atas simpanan nasabahnya dan menghapus plafon (batas atas) kredit yang boleh diberikan oleh semua bank yang sebelumnya harus disetujui Bank Indonesia setiap tahunnya.

Paket kebijakan ini merupakan pembuka dari rangkaian deregulasi yang dilakukan pada dasawarsa 1980an.

“Pengaturan-pengaturan yang bisa mendorong pelaksanaan ekspor telah dikembangkan dan ternyata mendapat sambutan luas dari dunia bisnis,” tulis Abdullah Ali dalam Memoarnya Liku-liku Sejarah Perbankan Indonesia (1995: 182).

Namun, deregulasi perbankan ini tidak dilanjutkan dengan serangkaian deregulasi lainnya. Padahal, bank-bank menantikan kebijakan lanjutan. Seperti ditulis Abdullah Ali yang merupakan mantan Presdir BCA ini, pengembangan cabang-cabang baru perbankan masih terbatas meski setelah ada deregulasi. Selama lima tahun, suara-suara yang menginginkan deregulasi perbankan lebih lanjut telah bergema. Baru setelah keluarnya deregulasi 1988, perbankan bisa tumbuh dengan pesat lagi.

Sistem moneter baru juga diterapkan. Bondan Winarno dalam J.B. Sumarlin, Cabe Rawit yang Lahir di Sawah (2013) menulis, untuk keperluan operasi asar terbuka sejak awal 1984, pemerintah telah menerbitkan instrumen moneter berupa Sertifikat Bank Indonesia. SBI untuk menyedot kelebihan likuiditas. Sebaliknya, pada 1985, pemerintah menerbitkan Surat Berharga Pasar Uang yang diperdagangkan secara terbatas. Instrumen ini digunakan dalam rangka pelaksanaan pemberian kredit dan pinjaman antarbank.

Beberapa instrumen moneter itu menjadi dasar untuk pembangunan ekonomi.

Beragam upaya untuk mengatasi dampak penurunan harga minyak mulai menampakkan hasil. Defisit neraca pembayaran yang sempat melonjak dari 2,8 miliar dolar AS pada 1981/1982 menjadi 7 miliar dolar AS pada 1982/1983, bisa ditekan menjadi 1,8 miliar dolar pada 1985/1986. Sementara penerimaan pajak nonmigas meningkat dari 5,7% PDB pada 1983 menjadi 6,8% PDB pada 1985.

Sayangnya, pertumbuhan ekonomi belum memuaskan; masih di bawah 3% selama periode 1982-1985.

Saat kondisi mulai stabil, tiba-tiba muncul guncangan lebih besar pada tahun 1985/1986, ketika harga minyak anjlok tajam. Kali ini, masalah yang ditimbulkan lebih besar.

Bagaimana Indonesia mengatasi guncangan besar akibat jatuhnya harga minyak? Nantikan serial krisis ekonomi berikutnya.

======

Mulai Rabu, 30 September 2020, redaksi Tirto.id menurunkan serial artikel bertajuk "75 Tahun RI: dari Krisis ke Krisis". Serial ini akan memuat babak demi babak krisis ekonomi yang pernah dialami Indonesia. Artikel ditayangkan setiap Rabu.

Baca juga artikel terkait RESESI atau tulisan lainnya dari Nurul Qomariyah Pramisti

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Windu Jusuf