Menuju konten utama

Cara Murahan Sikapi Berita: 2 Jurnalis Sulawesi Dijerat Pasal Karet

Membawa sengketa pemberitaan ke polisi hanya akan memperburuk iklim kebebasan pers di Indonesia.

Cara Murahan Sikapi Berita: 2 Jurnalis Sulawesi Dijerat Pasal Karet
Sejumlah jurnalis dari AJI Jakarta menggelar aksi solidaritas di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (29/9/2019). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/ama.

tirto.id - Dua wartawan di Pulau Sulawesi menghadapi tuduhan serius hanya karena membuat berita. Mereka menghadapi ancaman dipenjara selama beberapa tahun.

Pertama, Muhamad Asrul, jurnalis berita.news di Kota Palopo, Sulawesi Selatan. Kedua, Mohammad Sadli Saleh, jurnalis liputanpersada.com di Buton Tengah, Sulawesi Tenggara.

Sadli Saleh menjabat sebagai pemimpin redaksi. Berita yang dibuat dijadikan dasar pelaporan oleh Bupati Buton Tengah, Samahudin.

Hardi, pengacara Sadli Saleh bilang kasus ini bermula pada Rabu, 10 Juli 2019. Sadli menulis opini editorial tentang proyek penataan simpang lima Labungkari di Buton Tengah berjudul ‘Abracadabra: Simpang Lima Labungkari Disulap Menjadi Simpang Empat’.

Sadli menulis, dalam KUA-PPAS Kabupaten Buton Tengah tahun 2018 anggaran penataan tersebut ditetapkan Rp4 miliar. Namun, dalam pelaksanaannya justru melejit menjadi Rp6,8 miliar.

Sadli mengaku heran atas hal itu karena semestinya perencanaan anggaran telah dilakukan dengan matang.

"Pertanyaannya, anggaran penambahan 2 miliar lebih itu menjadi Rp 6 miliar sekian disulap lagi untuk apa? Dan, mengapa jadinya hanya empat simpangan?" tulis Sadli.

Sadli lantas menyebarkan tulisan itu via Facebook dan Whatsapp. Kepala Biro Hukum Kabupaten Buton Tengah Akhmad Sabir membaca editorial itu dan melaporkannya kepada Bupati Buton Tengah Samahudin.

Membaca tulisan itu, Samahudin merasa nama Pemkab Buton Tengahtelah dicemarkan sebab menurutnya pengerjaan proyek yang dikerkakan Dinas Pekerjaan Umum (PU) Pemkab Buton Tengah itu telah sesuai aturan dan Dokumen Pelaksanaan Anggaran Dinas PU Pemkab Buton Tengah tahun 2018.

Akhirnya bupati yang diusung PPP, PDIP, PKS, Nasdem, dan PKB itu meminta Akhmad Sabir melaporkan Sadli ke kepolisian.

Saat ini, Sadli Saleh menghadapi persidangan di Pengadilan Negeri Pasarwajo.

Dalam dakwaan primer Jaksa mendakwa Sadli telah dengan sengaja menyebarkan informasi untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan kepada individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan sementara.

Pada dakwaan alternatif, jaksa menyebut Sadli sengaja mendistribusikan informasi elektronik yang yang mengakibatkan pencemaran nama baik.

Atas hal itu, jaksa mendakwa Sadli telah melanggar Pasal 45 Ayat 2 Jo Pasal 28 ayat 2 dan Pasal 45 Ayat 3 Jo Pasal 27 ayat 3 UU 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Hardi menyebut, Samahudin mestinya menempuh hak jawab jika keberatan dengan karya jurnalistik yang dihasilkan Sadli.

Polri dan Dewan Pers pada 2017 telah meneken nota kesepahaman yang salah satu poinnya ialah penanganan segala kasus yang melibatkan wartawan harus dikoordinasikan dulu dengan Dewan Pers untuk mengetahui apakah ada unsur pidana atau hanya kesalahan etik belaka.

"Jelas ini merupakan kriminalisasi," kata pengacara Sadli, Hardi saat dihubungi Tirto pada Minggu (2/2/2020).

Dilaporkan Pejabat

Seturut dengan Sadli Saleh, Muhamad Asrul kini ditahan di Mapolda Sulawesi Selatan (Sulsel) sejak 30 Januari 2020. Dua kasus tersebut punya satu hal yang sama yakni pelapornya seorang pejabat.

Asrul dilaporkan ke polisi pada 2019 dengan Pasal 28 UU ITE karena pemberitaan terkait dugaan kasus korupsi di Palopo, Sulsel. Pelapornya Farid Kasim Judas, pejabat teras di Pemkot Palopo yang kini memimpin bidang kepegawaian.

Ada tiga tulisan Asrul yang dilaporkan Farid ke polisi yakni ‘Putra Mahkota Palopo Diduga “Dalang” Korupsi PLTMH dan Keripik Zaro Rp11 M”, tertanggal 10 Mei 2019.

Kemudian, “Aroma Korupsi Revitalisasi Lapangan Pancasila Palopo Diduga Seret Farid Judas” tertanggal 24 Mei 2019.

Lalu “Jilid II Korupsi jalan Lingkar Barat Rp5 M, Sinyal Penyidik Untuk Farid Judas? tertanggal 25 Mei 2019.

Setelah tiga tulisan tersebut, ada klarifikasi dan hak jawab dari narasumber yakni Farid. Media tempat Asrul juga telah memuat permintaan klarifikasi dan somasi dari kuasa hukum Farid.

Dalam riset Tirto terkait UU ITE ditemukan sebagian profesi pelapor adalah pejabat persentase mencapai 35,92 persen.

Dewan Pers Didesak Turun Tangan

Direktur Eksekutif Safenet Damar Juniarto menyebut telah meminta Dewan Pers untuk turun tangan menangani kasus ini.

Kasus di Sultra, telah masuk tahap persidangan, sehingga Dewan Pers dapat menjadi saksi meringankan bagi Sadli.

"Dewan Pers memang perlu dibantu untuk terlibat dalam sengketa pers daring mengingat kasus-kasus semakin banyak. Dalam 3 tahun terakhir peningkatan kasus yang diselidiki kepolisian luar biasa, bisa ribuan kasus," kata Damar saat dihubungi Tirto pada Minggu (2/2/2020).

Damar menyebut jurnalis menjadi salah satu kelompok paling rentan dikriminalisasi dengan UU ITE.

Dalam kasus Sadli, ketika wartawan dikriminalisasi tanpa berkoordinasi dengan Dewan Pers, itu menjadi penegasan bahwa darurat bagi jurnalis dan aktivis memang benar adanya.

“Kasus Mohamad Sadli seharusnya menjadi wake up call bagi semua kita. Ini adalah bukti dari situasi yang kami sebut sebagai siaga satu bagi jurnalis dan aktivis.

"Mengapa ini kami soroti karena bila pers dan hukum dilemahkan, maka demokrasi sekarat," lanjut Damar.

Dalam UU Pers telah diatur cara beradab menyikapi pemberitaan di media yakni dengan hak jawab dan mengajukan sengketa pemberitaan ke Dewan Pers.

Namun, tren pelaporan ke polisi telah terjadi 10 tahun terakhir karena adanya UU ITE. Berdasar catatan SAFEnet, sejak 2008 sampai Desember 2018 telah terjadi 16 upaya kriminalisasi terhadap 14 jurnalis dan 7 media dengan pasal karet UU ITE.

Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin pun menyebut maraknya kriminalisasi terhadap wartawan salah satunya diakibatkan kepolisian di daerah yang masih tak paham cara menangani sengketa pers.

Di sisi lain, Dewan Pers yang hanya berkedudukan di Jakarta dirasa tak cukup untuk menjangkau kasus-kasus di daerah.

Karenanya ia berharap perusahaan media untuk lebih proaktif lagi ketika ada ‘serangan balik’ terhadap jurnalisnya. Di antaranya dengan berkoordinasi dengan Dewan Pers atau organisasi profesi.

"Artinya redaksi tidak boleh diam, redaksi harus proaktif untuk meminimalisir kriminalisasi, tapi faktanya redaksi memang masih entah takut khawatir atau dia tidak tahu," kata Ade saat dihubungi pada Minggu (2/2/2020).

Baca juga artikel terkait KRIMINALISASI JURNALIS atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Zakki Amali