Menuju konten utama

Cara Menjinakkan Polisi di Berbagai Negara

Di banyak negara, beberapa hal terjadi untuk menjinakkan polisi. Dari mulai pemotongan anggaran hingga pembatasan kewenangan.

Cara Menjinakkan Polisi di Berbagai Negara
ARSIP - Dalam foto 14 Oktober 2020 ini, seorang pengunjuk rasa memegang tanda bertuliskan "Defund Police" selama rapat umum untuk mendiang George Floyd di luar Barclays Center di New York. (AP Photo/John Minchillo, File)

tirto.id - Sekelompok orang yang dipersenjatai untuk bertugas menjaga ketertiban telah eksis dalam peradaban kuno Mesir hingga Yunani. Polisi kuno ini umumnya bekerja untuk melayani kepentingan penguasa seperti menarik pajak dari masyarakat. Sementara menurut Sally E. Hadden dalam buku Slave Patrols (2001), akar kepolisian modern bisa ditemukan dalam halaman sejarah yang sama dengan kolonialisme dan perbudakan oleh orang Eropa terutama di benua Amerika.

Bentuk purba dari kepolisian ini adalah unit patroli budak di Carolina pada 1704. Tidak begitu berbeda dengan kepolisian kuno, petugas juga melayani kepentingan penguasa: tuan tanah dan penjajah. Untuk mendisiplinkan para budak terutama yang kabur dari perkebunan kolonial, mereka tidak segan menggunakan kekerasan--dengan cambuk dan senapan.

Meskipun unit patroli ini bubar bersamaan dengan usainya Perang Sipil, gagasan soal pembentukan petugas untuk menjaga hukum dan tatanan terus dikembangkan.

Memasuki abad ke-19, kota-kota di Amerika mulai dibanjiri oleh imigran dari berbagai wilayah seperti Irlandia dan Jerman. Masyarakat Eropa yang telah menduduki Amerika lebih awal merasakan perlu untuk mencegah kekacauan akibat kedatangan pada pendatang baru. Maka, lahirlah lembaga kepolisian pertama di Boston pada 1838, disusul oleh kota-kota besar lain seperti New York, Chicago, dan New Orleans beberapa tahun berikutnya.

Selama periode 1800-an ini, kepolisian juga digunakan sebagai kekuatan untuk meredam aksi massa, terutama pemogokan kaum buruh.

Pada abad ke-20, polisi tidak lagi sekadar alat koersif, namun juga diberikan pendidikan sosiologi, psikologi, bahkan manajemen. Sejak saat itu kepolisian modern mulai direplikasi di berbagai wilayah, termasuk oleh negara-negara bekas koloni yang merdeka pada abad ke-20.

Memasuki abad ke-21, di tengah gembar-gembor soal demokratisasi dan hak asasi, lembaga kepolisian justru mundur ke belakang. Di sisi lain, mereka terus saja mendapatkan suntikan anggaran tambun.

Di Amerika Serikat, fakta ini kemudian merespons dengan kampanye “Defund The Police”: potong dan alihkan anggaran kepolisian.

Defund The Police

Anggaran untuk kepolisian AS terus meningkat dari tahun ke tahun, tepatnya 60 tahun terakhir merujuk laporan The Washington Post. Pada 1960 pengeluaran kepolisian berjumlah 2 juta dolar AS, naik menjadi 14,6 juta dolar AS pada 1980 dan melonjak menjadi 137 juta dolar AS pada 2018. Di sisi lain, tingkat kriminalitas masih juga tinggi dan masalah sosial yang dianggap menjadi penyebab kejahatan justru kurang tersentuh.

Pendanaan yang gendut tak sebanding dengan hasil yang diperoleh. “Tinjauan terhadap pengeluaran kepolisian di tingkat negara bagian dan lokal selama 60 tahun terakhir tidak menunjukkan korelasi secara nasional antara tingkat pengeluaran dan kriminalitas,” tulis The Washington Post. Memang dalam periode tertentu angka kriminalitas menurun, tapi itu pun dipengaruhi dengan beragam faktor lain seperti perbaikan kondisi sosio-ekonomi dan tingkat pendidikan.

Pada saat yang sama profesionalitas kepolisian semakin diragukan: tingginya kekerasan dan tindak kriminal, pengabaian kasus penting seperti kekerasan seksual, hingga hanya bertindak bengis terhadap kelompok miskin dan marjinal. Keraguan itu semakin memuncak dengan tingginya angka pembunuhan oleh aparat. Statista menyebut dari 2017 hingga 2021 ada 4.264 jiwa melayang direnggut senapan polisi.

Seluruh temuan ini, ditambah dengan sikap aparat yang makin beringas, memicu gerakan untuk mengubah bukan hanya wajah, namun keseluruhan tubuh dari kepolisian AS, “Defund The Police”.

Menurut sosiolog asal Yale University Philip McHarris dan pasangannya Thenjiwe McHarris, gagasan inti dari “Defund The Police” adalah untuk menyadarkan bahwa reformasi setengah-setengah, seperti memberikan pelatihan tambahan, mendiversifikasi anggota hingga pengadaan body cam, tidak akan menghasilkan perubahan yang signifikan.

“Solusi untuk mengakhiri kekerasan polisi dan menciptakan negara yang lebih aman terletak pada usaha untuk mengurangi kekuatan polisi dan kontak mereka dengan publik,” tulis akademisi sekaligus aktivis itu di New York Times. “Kita dapat melakukannya dengan menginvestasikan kembali 100 miliar dolar AS yang dihabiskan untuk pemolisian dalam program tanggap darurat alternatif.”

Duo McHarris memberikan contoh: daripada menghabiskan jutaan dolar untuk membiarkan gelandangan digebuki atau ditangkap oleh polisi, lebih baik alihkan uang itu untuk program pengadaan rumah. Dana itu juga bisa diinvestasikan untuk membentuk sistem penanganan kekerasan seksual, layanan kesehatan mental dan kecanduan yang diisi oleh para ahli dan pekerja sosial, bukan polisi.

Sebenarnya model serupa telah berhasil diterapkan di beberapa negara. Di Swedia, misalnya, sejak 2015 layanan panggilan darurat tidak lagi sepenuhnya dipegang polisi. Laporan darurat yang berkaitan dengan kesehatan mental ditangani secara langsung oleh tim psikiatri, perawat, dan paramedis.

Studi yang diterbitkan International Journal of Public Participation in Health Care and Health Policy (Vol. 23, No. 2, 2020) menunjukkan penggantian peran polisi oleh tim medis ini menorehkan hasil positif. “Para pasien menyatakan bahwa tim medis menciptakan lingkungan yang aman dan secara aktif melibatkan pasien dalam perawatan mereka dengan menciptakan tempat dialog yang terbuka dan aman,” tulis artikel tersebut. “Dalam lingkungan yang aman ini, pasien menggambarkan bagaimana mereka berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan menerima perawatan tanpa rasa takut ditolak, diabaikan, atau dihakimi.”

Penanganan seperti ini tidak hadir dalam negara yang masih melimpahkan banyak uang dan kewenangan yang luas pada polisi seperti AS. Malahan di AS dana layanan kesehatan mental yang justru dialihkan untuk kepolisian karena wewenangnya yang luas itu. Padahal, 10% dari total penanganan kepolisian berhubungan dengan pengidap masalah mental. Hasilnya, alih-alih mendapatkan keamanan, pengidap masalah mental semakin ditekan. Pada 2015, misalnya, sebanyak 25% dari korban yang ditembak mati oleh polisi di AS adalah individu dengan masalah mental.

Persoalan itu yang juga membuat tuntutan untuk mengurangi dana dan kewenangan polisi bergema di AS. Hasilnya, sejak 2020 hingga sekarang, menurut The Guardian, lebih dari 20 kota telah mencoba untuk mereformasi polisi dengan mengalihkan pendanaan untuk sektor lain.

Upaya paling radikal tengah terjadi di Minneapolis. Kota tempat George Floyd dibunuh polisi itu kini sedang membubarkan kepolisian untuk diganti dengan Departemen Keselamatan Publik yang berisi pekerja sosial, ahli kesehatan mental, dan ahli penanganan krisis.

Membubarkan Kepolisian

Gagasan untuk membubarkan kepolisian merupakan respons lain untuk memperbaiki sistem keadilan secara radikal. Profesor sosiologi dari Brooklyn College Alex Vitale berargumen bahwa reformasi tidak akan menghasilkan apa pun sebab akar persoalannya adalah kepolisian itu sendiri. Vitale memang menganggap reformasi seadanya, seperti perbaikan kurikulum dalam pendidikan bagi aparat, bisa berguna dalam skala terbatas. Namun persoalan hanya akan selesai sepenuhnya bila kepolisian dirombak ulang atau bahkan digantikan seluruhnya.

Dalam buku yang berjudul The End of Policing (2017), Vitale mengatakan bahwa secara esensial kepolisian yang ada saat ini tidak begitu berbeda dengan kepolisian kuno dan patroli perbudakan kolonial. Dalam hemat Vitale perannya tetap sama: mendisiplinkan yang terpinggirkan.

“Asal-usul dan fungsi polisi terikat erat dengan usaha untuk menjaga ketidaksetaraan ras dan kelas,” tulis Vitale. “Perang yang lebih ramah, lebih lembut, dan lebih beragam terhadap orang miskin tetap saja adalah perang terhadap orang miskin.”

Negara seperti Georgia pernah melakukan itu meskipun tidak persis seperti ide Vitale. Mantan Presiden Georgia Mikheil Saakashvili menceritakan pengalamannya saat membubarkan dan membentuk ulang kepolisian pada 2004 dalam artikel untuk Foreign Policy. Saakashvili tahu bahwa sejak dekade 1990-an kepolisian telah menjadi sarang korupsi, pusat perdagangan narkoba dan senjata, serta tentu saja pelayan bagi segelintir elite politik dan mafia. Pada 2003, survei memperlihatkan hanya 2,3 persen orang Georgia memiliki pandangan positif terhadap polisi.

Ia memulai agendanya dengan membubarkan Kementerian Keamanan, kemudian mengubrak-abrik tatanan kepolisian sampai bawah bahkan membubarkan kepolisian lalu lintas. “Kami membubarkan kepolisian lalu lintas, memecat ribuan petugas yang berlagak seperti perampok jalan raya yang direstui negara,” kata sang mantan presiden. “Kami menggantinya dengan satuan patroli yang sama sekali baru, yang tidak memiliki latar belakang dalam penegakan hukum dan dengan demikian tidak ada hubungan dengan elite tua dan rusak,” katanya.

Kepolisian dibangun ulang dari nol dengan personel yang lebih terbatas karena seleksi secara ketat.

Semua ini membuahkan hasil. Survei pada 2010 menunjukkan tindak kriminal berbasis kekerasan berkurang sebanyak 66%, sementara kriminalitas secara umum berkurang sebanyak 54%.

Pengalaman itu memberinya satu pelajaran: “Usaha yang setengah-setengah tidak akan berhasil,” tulis Saakashvili. Menurutnya Georgia dapat menjadi contoh bahwa perombakan total kepolisian dapat dilakukan dan bekerja dengan baik.

Negara-negara lain lalu melakukan upaya serupa meski dengan tingkatan berbeda. Finlandia, misalnya, mengatasi masalah sosial melalui kebijakan “Housing First” sejak 2008, yakni penyediaan hunian terhadap kaum tunawisma oleh negara alih-alih lewat pemolisian. Moto mereka adalah: “Kebijakan Pembangunan Sosial yang Baik adalah Kebijakan Kriminal Terbaik.”

Lantas, bagaimana dengan upaya reformasi kepolisian di Indonesia?

Percuma Lapor Polisi?

Eskalasi ketidakpercayaan terhadap polisi belakangan meningkat di Indonesia. Pemicunya adalah laporan Project Multatuli tentang macetnya kasus pemerkosaan anak di Luwu Timur. Setelah itu cibiran dari massa terus bergulir di media sosial dan kasus-kasus serupa semakin sering muncul, dari mulai pembantingan demonstran di Tangerang, dugaan pemerkosaan oleh Kapolsek di Parigi Moutong, perdagangan narkoba dengan bandar di Asahan, hingga perampokan di Lampung. Kemarahan tumpah ruah di media sosial lewat tagar #PercumaLaporPolisi.

Ditarik lebih jauh, sebenarnya kekecewaan terhadap polisi telah ada lebih lama dari itu. Tahun 2019 kritik terhadap Polri pun menguat setelah ribuan orang menjadi korban keganasan aparat dalam demonstrasi “Reformasi Dikorupsi”. Dari laporan yang masuk ke Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), ada 3.539 korban penangkapan sewenang-wenang, 474 korban penyiksaan, dan tercatat setidaknya ada 52 orang meninggal. Tidak hanya terhadap demonstran, polisi juga bertindak represif terhadap jurnalis.

Rentetan peristiwa ini menunjukkan begitu banyak pekerjaan rumah dalam agenda reformasi Polri, terutama reformasi budaya kekerasan yang mengakar. Artikel jurnal yang diterbitkan LIPI dengan judul “Evaluasi Sepuluh Tahun Reformasi Polri” (2008) menyebutkan penyebab keganasan aparat adalah residu kultur militeristik yang masih mengendap. “Hal ini memang terkait dengan paradigma lama Polri yang dulunya masih menjadi bagian dari kekuatan militer sehingga budaya tersebut masih belum terkikis dari institusi Polri,” tulis artikel tersebut.

Di samping kekerasan, kini Polri juga dikritik karena luasnya peran mereka dalam berbagai jabatan struktural, mulai dari kementerian, federasi olahraga, hingga PLT kepala daerah. Hal ini membangkitkan ingatan kolektif masyarakat soal dwifungsi ABRI semasa Orde Baru.

Sama pula seperti di AS, kinerja tersebut tak berbanding lurus dengan anggaran yang mereka peroleh. Polri merupakan salah satu lembaga dengan anggaran terbanyak. Sejak awal pemerintahan Joko Widodo pada 2015, anggaran Polri mencapai Rp62 triliun, naik menjadi Rp78 triliun pada 2016, Rp94 triliun pada 2017, Rp98,1 triliun pada 2018, Rp104,7 triliun pada 2020, serta Rp112,1 triliun pada 2021.

Pada 2012 lalu, peneliti dari London of School Economics Jacqueline Baker membuat disertasi yang menyatakan sebenarnya sejak awal anggaran raksasa untuk Polri kurang dimanfaatkan secara efektif. “Faktanya adalah bahwa polisi tidak memiliki sistem manajemen fiskal untuk membuat hubungan antara pengeluaran dan kapasitas kelembagaan,” tulis Baker. “Meski dana terus meningkat sebanyak 500% hanya dalam 8 tahun dan adanya perubahan substansial pada sistem pencairan, masalahnya tetap bertahan.”

Daftar persoalan itu sekali lagi memicu desakan dari publik agar reformasi Polri dievaluasi dan dipercepat. Berbagai tuntutan kini diajukan, namun tidak sampai pada mendesak agar anggaran untuk kepolisian dialihkan saja untuk belanja sosial, mengalihkan sebagian kewenangan polisi kepada pekerja sosial, atau merombak institusi secara menyeluruh seperti yang muncul di AS dan beberapa negara lain.

Mau bagaimana, sekadar mencuit pendapat agar polisi diganti satpam BCA--karena humanis dan mengayomi--saja dibalas dengan ancaman.

Baca juga artikel terkait POLISI atau tulisan lainnya dari Mochammad Naufal

tirto.id - Politik
Kontributor: Mochammad Naufal
Penulis: Mochammad Naufal
Editor: Rio Apinino