Menuju konten utama

Cara Membesarkan Anak yang Disiplin dan Bahagia

Banyak penelitian menyarankan orang tua untuk tidak menggunakan kekerasan dalam mendidik anaknya agar disiplin. Lantas, bagaimana sebaiknya mendidik anak agar disiplin dan bahagia?

Proses kegiatan bermain dan belajar di sekolah. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Sudah bukan rahasia umum jika banyak orangtua, termasuk guru, menggunakan metode kekerasan untuk mendidik anak-anak agar disiplin. Namun, banyak yang telah membuktikan bahwa cara itu hanya berdampak buruk. Sebagai gantinya, ada beberapa pendekatan yang dianjurkan oleh pediatri agar anak tetap dapat disiplin tanpa harus trauma karena kekerasan.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat tren kekerasan anak di bidang pendidikan pada 2018 lalu meningkat. Dari total 445 kasus di bidang pendidikan, sebanyak 51,2 persen atau 228 kasus merupakan kasus kekerasan fisik, seksual dan verbal.

Menurut laporan Tempo pada Desember 2018 lalu, tenaga pendidik khususnya di sekolah dasar dan menengah merupakan aktor dengan persentase terbesar yang melakukan kekerasan fisik kepada anak di sekolah. Tindak kekerasan tersebut dapat berupa tamparan, hukuman push up, dan sit up hingga menjemur siswa di bawah terik matahari.

Dilansir VOA Indonesia, Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan bahwa salah satu rekomendasi yang dikeluarkan oleh KPAI adalah digalakkannya inisiatif pelatihan guru sehingga tidak ada lagi guru yang menghukum siswa dengan cara kekerasan, atau sebaliknya murid yang melakukan kekerasan pada gurunya.

Tindak kekerasan pada anak di rumah juga kerap terjadi. Mendisiplinkan anak jadi alasan utama. Seperti dikatakan Tenaga Ahli dan Analis KPAI Naswardi kepada Tirto September lalu, pelaku kekerasan terhadap anak sebagian besar merupakan orang dekat, mulai dari orangtua, baik kandung maupun tiri, hingga saudara dan teman terdekat.

Riset KPAI tahun 2015 menunjukkan ayah dan ibu kandung menempati posisi teratas pelaku kekerasan, masing-masing dengan persentase 28 dan 21 persen. “'Anak saya mau ditampar, hasta, tendang, itu pertimbangan privat saya', kira-kira begitu jalan pikiran [orangtua],” jelas Naswardi.

Padahal, kekerasan pada anak membawa kemungkinan akan terjadinya tindakan kekerasan yang terus berulang, utamanya ketika anak tersebut nanti dewasa. Selain itu, hukuman fisik akan memengaruhi kesehatan mental anak, pun berpotensi memunculkan kecenderungan anak untuk antisosial, peningkatan kenakalan dan agresivitas, serta menurunnya kualitas hubungan antara orangtua dan anak.

Sejumlah masalah lain pada anak seperti trauma, depresi, gangguan kognitif, dan tingkat kecemasan yang berlebihan juga berpotensi muncul.

“Yang dibutuhkan anak itu bonding, pelukan, kasih sayang, dan kebersamaan. Jika dulu di ujung rotan ada emas, sekarang sudah tidak zaman lagi mengasuh anak seperti itu,” ujar Naswardi menegaskan pentingnya orangtua mengubah cara pengasuhan dan pendidikan anak.

Lantas, pendekatan terbaik apa yang bisa diterapkan orangtua untuk mendidik anak agar disiplin?

Disiplin tanpa Trauma

Terlepas dari pendekatannya, pendidikan disiplin pada anak memang dibutuhkan. Pengertian disiplin sendiri sama sekali tidak identik dengan kekerasan. Seperti dikutip dari pernyataan kebijakan American Academy of Pediatrics (AAP), akar kata disiplin berasal dari bahasa Latin disciplinare, yang artinya mengajar atau melatih. Dalam bahasa Inggris, kata disciple bermakna penganut atau murid.

Organisasi pediatri asal Kanada Canadian Paediatric Society menuliskan bahwa dengan disiplin anak belajar mengontrol dirinya sendiri, mengembangkan rasa tanggung jawab, dan belajar mengenai nilai-nilai yang diturunkan dari para pendidiknya, termasuk orangtua.

“Disiplin yang efektif dan positif adalah soal mengajar dan membimbing anak-anak, bukan hanya memaksa mereka untuk patuh,” sebut organisasi tersebut. “Seperti halnya semua intervensi lain yang bertujuan untuk mencontohkan suatu perilaku yang tidak dapat diterima, anak harus selalu tahu bahwa orangtua mencintai dan mendukungnya. Kepercayaan antara orangtua dan anak harus dipertahankan dan terus dibangun.”

Setidaknya ada sejumlah strategi disiplin dengan pendekatan yang sehat agar anak dapat belajar mengenai perilaku yang baik secara positif menurut AAP. Pertama, karena anak mencontoh apa yang dilakukan oleh orang yang lebih tua di sekitarnya, orangtua perlu menerapkan model perilaku yang dapat dicontoh anak di masa depan. Salah satu model perilaku tersebut adalah memberitahu anak mereka perilaku yang benar dan salah dengan kata-kata yang kalem dan contoh aksi secara langsung.

Orangtua juga dapat memberikan aturan dan batasan yang jelas dan konsisten mengenai apa yang dapat dilakukan dan tidak. Namun, penjelasan mengenai aturan dan batasan ini harus diterapkan dengan bahasa yang mudah dipahami anak sesuai usia mereka.

Selain itu, sangat penting untuk secara tegas dan tenang memberitahu setiap konsekuensi dari perilaku buruk anak-anak. Misalnya, menyita mainan anak ketika mereka tidak merapikan kembali mainan setelah digunakan.

AAP menyarankan agar orangtua sungguh-sungguh melaksanakan pernyataan mereka terkait konsekuensi tersebut dan jangan menyerah dengan mengembalikan barang sitaan hanya dalam beberapa menit. “Tapi ingat, jangan pernah mengambil sesuatu yang benar-benar dibutuhkan anak Anda, misalnya makanan,” jelas AAP.

Penting pula untuk mendengarkan dan memberikan anak perhatian yang mereka butuhkan. Pasalnya, terkadang perilaku buruk anak timbul dan membentuk pola, misalnya ketika mereka cemburu. Dalam kasus ini, berbicara dengan anak lebih penting daripada hanya memuji atau menghukum perilaku mereka.

Jika anak berperilaku baik, maka orangtua tidak boleh ragu memberikan pujian. Pujian ini sebaiknya ditujukan untuk hal yang spesifik, misalnya ketika mereka merapikan mainan atau mungkin menghabiskan sayur mayur yang disajikan pada makanan mereka.

Pada saat-saat tertentu, ada baiknya untuk mengacuhkan anak, terutama ketika mereka sedang berperilaku buruk. Misalnya ketika anak marah dan melempar mainan hingga rusak dan akhirnya tak lagi memiliki mainan. “Mengabaikan perilaku buruk juga dapat mengajar anak-anak konsekuensi alami dari tindakan mereka,” jelas AAP.

Orangtua juga sebaiknya membuat rencana jika anak diprediksi akan berperilaku buruk dalam situasi tertentu. Terkadang, anak-anak berperilaku buruk ketika bosan atau tidak tahu perilaku yang lebih baik. Pada saat itulah orangtua dapat mencarikan kegiatan alternatif untuk anak.

Infografik Membantu anak Belajar

Infografik Membantu anak Belajar

Terakhir, ada pula strategi time-out. Strategi ini, menurut AAP, akan sangat berguna ketika ada aturan-aturan tertentu yang dilanggar anak. Time-out berguna karena dapat memperingatkan anak akan mendapat sanksi jika tak berhenti berperilaku buruk.

“Strategi ini, selain dapat membantu anak belajar dan mempraktikkan keterampilan manajemen diri, juga bekerja dengan baik untuk anak yang lebih besar dan remaja,” sebut AAP.

Lewat serangkaian pendekatan di atas, anak dapat belajar mengatur perilaku, jauh dari bahaya (misalnya bermain pisau), meningkatkan kecerdasan sosio-emosional dan keterampilan fisik mereka, serta memperkuat pola perilaku yang diajarkan oleh orangtua ataupun pendidik mereka.

Namun perlu dicatat, ada sejumlah prinsip yang perlu dipraktikkan dalam menerapkan pendekatan-pendekatan tersebut. Agar efektif, tulis Canadian Paediatric Society, disiplin perlu memperhatikan rasa hormat dan keadilan, serta diterapkan secara konsisten.

Disiplin dengan cara memalukan di anak di depan umum, misalnya, akan membuat anak kehilangan rasa hormat dan kepercayaan mereka pada orangtua. Adil juga berarti bahwa konsekuensi tindakan yang mereka terima harus diakhiri apabila anak sudah membereskan kekacauan yang mereka lakukan.

“Jika Anda mengajar anak disiplin dengan rasa hormat, dan memastikannya konsisten dan adil, efek positif akan bertahan lama pada anak Anda,” jelas Canadian Paediatric Society.

Baca juga artikel terkait POLA ASUH ANAK atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Windu Jusuf