Menuju konten utama

Cara Legendaris ala Hatta Mengkritik Sukarno

Dulu jelas belum ada Twitter atau media sosial lain. Saat Mohammad Hatta, separuh dari dwitunggal itu, tak lagi di pemerintahan, ia mengkritik Sukarno lewat esai terkenalnya: Demokrasi Kita.

Cara Legendaris ala Hatta Mengkritik Sukarno
Soekarno dan Mohammad Hatta. FOTO/ANRI

tirto.id - Setelah pengunduran dirinya pada 1 Desember 1956, Hatta segera angkat kaki dari Istana Wakil Presiden di Merdeka Selatan. Dia pindah ke Jalan Diponegoro 57, memilih jadi orang biasa ketimbang terus menerus bersilang jalan dengan Sukarno.

Hatta kembali menggantungkan hidupnya dari menulis dan mengajar. Dengan gelar doktorandus dari Belanda dan doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada itu, ia juga akhirnya mengajar di Universitas Gadjah Mada dan beberapa kampus lain. Hatta menulis sebagai wahana kritik terhadap Sukarno.

“Pada tahun 1956 Wakil Presiden Mohammad Hatta tidak menyetujui politik Presiden Soekarno yang mulai merintis jalan ke arah demokrasi terpimpin dengan sokoguru Nasionalis Agama Komunis (Nasakom),” tulis Rosihan Anwar dalam In Memoriam: Mengenang Yang Wafat (2002).

Menurut Rosihan, Nasakom “berarti bekerja sama dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).” Beberapa tahun setelah Hatta mundur dari kursi Wakil Presiden, Demokrasi Liberal yang bercorak parlementer kemudian berganti menjadi Demokrasi Terpimpin dengan sistem presidensial setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Menurut Ahmad Syafii Maarif dalam Demokrasi dan Nasionalisme: Pengalaman Indonesia (1996), Hatta memilih mundur dari kursi wakil presiden karena Sukarno semakin otoriter. Pemikiran-pemikiran Hatta tidak sejalan dengan pemikiran Sukarno. Akhirnya, dwitunggal Soekarno-Hatta telah menjadi dwitanggal.

“Sejarah Indonesia sejak 10 tahun yang akhir ini banyak memperlihatkan pertentangan antara Idealisme dan Realita. Idealisme yang menciptakan suatu pemerintahan yang adil yang akan melaksanakan demokrasi yang sebaik-baiknya dan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Realitas dari pada pemerintahan, yang dalam perkembangannya kelihatan makin jauh dari demokrasi yang sebenarnya,” tulis Hatta dalam Demokrasi Kita, yang ditulisnya untuk mengkritisi Demokrasi Terpimpin yang dianggapnya otoriter.

Hatta bahkan menulis “pemerintah dibentuk dengan cara yang ganjil itu diterima saja oleh parlemen dengan tidak menyatakan keberatan yang prinsipil. Malahan ada yang membela tindakan Presiden dengan dalil keadaan darurat. Kemudian Presiden Soekarno membubarkan konstituante yang dipilih oleh rakyat...”

Hatta mengkritik kerja pemerintah soal kesejahteraan rakyat, seperti yang menjadi tujuan negara. “Dimana-mana orang merasa tak puas. Pembangunan dirasakan tidak berjalan sebagaimana mestinya, seperti yang diharapkan. Kemakmuran rakyat yang dicita-citakan masih jauh saja. Sedangkan nilai uang makin merosot. Rencana yang terlantar banyak sekali. Keruntuhan dan kehancuran barang-barang kapital tampak dimana-mana, seperti rusaknya jalan-jalan raya, irigasi, pelabuhan, berkembangnya irosi dan lain-lain.”

Hatta yang dinilai sebagai sosok politikus pendukung federalisme sangat peduli dengan masalah daerah. Pembangunan di daerah yang sangat tertinggal adalah salah satu penyebab munculnya gejolak. Tak lama setelah Hatta mundur sebagai Wakil Presiden, pergolakan daerah pun bertambah dengan adanya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi.

Menurut Hatta, pembangunan demokrasi terlantar karena percekcokan politik.

“Demokrasi bisa tertindas sementara, karena kesalahannya sendiri. Tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan keinsafan,” tulis Hatta, yang meyakini Demokrasi Terpimpin sebagai kesalahan Sukarno yang fatal dan akan berakhir dengan penyesalan. Demokrasi Terpimpin membuat Sukarno tak disukai mahasiswa Angkatan 1966, yang belakangan berperan aktif melengserkan Sukarno sebagai Presiden Seumur Hidup.

Demokrasi Kita pertama kali dimuat di majalah Pandji Masjarakat pimpinan Buya Hamka pada 1960. Tak lama, majalah itu pun kemudian dilarang.

“Penilaian politik yang dikemukakan oleh Bung Hatta ini mendapat perhatian penuh dari peminat-peminat politik, baik di dalam atau di luar negeri,” tulis Hamka dalam pengantar Demokrasi Kita yang diterbitkan Pustaka Antara pada Juni 1966.

Tebal Demokrasi Kita hanya 35 halaman, dengan foto Hatta di halaman-halaman depan. Ia terbit hampir bersamaan dengan serangan bertubi-tubi terhadap rezim Sukarno oleh angkatan 1966.

Infografik Mohammad Hatta

Setelah Sukarno tumbang dan Soeharto memimpin Orde Baru, Hatta yang menua pernah diberdayakan Soeharto. Hatta dijadikan Penasehat Presiden untuk pemberantasan korupsi dalam Komisi Empat. Komisi ini hanya bekerja sebentar setelah hanya mengawal dua kasus korupsi, karena dibubarkan Soeharto.

Di masa Orde Baru, sikap kritis Hatta tak begitu menonjol. Namun, Hatta terlibat dalam kehebohan memberi tandatangan dukungan terhadap Sawito Kartowibowo. Nama terakhir ini mengaku mendapat wangsit untuk menggantikan Soeharto sebagai penguasa pada 1976. Tak hanya Hatta, beberapa tokoh nasional lain seperti Tahi Bonar Simatupang, Buya Hamka, Kardinal Yustinus Darmoyuwono, dan lainnya, juga memberikan tandatangan. Kasus Sawito ini membikin heboh karena dianggap makar.

Belakangan, para penandatangan tersebut disebut khilaf dan terbujuk oleh Sawito.

“Bung Hatta tertipu,” kata Taufik Abdullah kepada Tempo (31/02/2001). “Bung Hatta sangat sakit hati kepada Sawito karena merasa dipermainkan,” kata Meuthia Hatta, juga kepada Tempo.

Lepas cerita soal Sawito, menjelang akhir hidupnya Hatta masih dikenal publik sebagai sosok yang hidup sederhana. Bahkan ia kesulitan membayar air PAM bulanan.

“Beliau mendapat kesulitan mengenai pembayaran (air) PAM.... Begitu sederhananya hidup pemimpin kita pada waktu itu," kata Ali Sadikin dalam biografinya yang ditulis Ramadhan KH, Bang Ali, Demi Jakarta 1966-1977 (1992). Akhirnya, Hatta dijadikan Warga Kota Jakarta Utama dan dibebaskan dari membayar uang listrik dan air PAM.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani