Menuju konten utama
Periksa Data

Cara Jokowi Memilih 'Prestasi' Indonesia Mengatasi COVID-19

Presiden menyebutkan sejumlah data dan fakta terkait penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia. Sayangnya, ada beberapa data krusial yang tidak ia sebutkan.

Cara Jokowi Memilih 'Prestasi' Indonesia Mengatasi COVID-19
Header Periksa Data Cherry-Picking Pidato Presiden tentang Tujuh Bulanan COVID-19. tirto.id/Quita

tirto.id - Pada 4 Oktober 2020, akun Facebook Presiden Joko Widodo mengunggah sebuah video berdurasi 7:49 menit. Dalam video berlatar belakang hitam tersebut, ia duduk di sebuah kursi. Sempat mengenakan masker yang lalu dilepas, Presiden bicara banyak terkait situasi COVID-19 di Indonesia.

Presiden terlihat lelah; kantung matanya tampak dan raut wajahnya seolah menyiratkan ia kurang beristirahat. Sejumlah data mengenai tujuh bulanan Pandemi COVID-19 di Indonesia ia sorot dalam video tersebut.

PANDEMI: FAKTA DAN DATA, BUKAN KIRA-KIRA: Tujuh bulan sudah kita menghadapi pandemi ini. Begitu banyak tantangan, namun kita tidak berpangku tangan. Banyak yang sudah kita kerjakan. Maka, mari kita bicara fakta dan data, bukan kira-kira.”

Secara singkat, Presiden menyampaikan strategi pemerintah yang tengah mencari titik keseimbangan antara penanganan COVID-19 dan pemeliharaan kondisi ekonomi. Baginya, kesehatan publik tetap prioritas, tapi bukan berarti mengorbankan ekonomi. Mengorbankan ekonomi, lanjut beliau, sama saja dengan mengorbankan kehidupan puluhan juta orang.

"Tidak perlu sok-sokan," sebut Presiden.

Presiden lalu menjelaskan soal opsi lockdown provinsi, kabupaten, atau kota yang akan mengorbankan kehidupan masyarakat. Ia juga menyebutkan banyak upaya yang dilakukan pemerintah agar penyebaran virus tak meluas.

Presiden menyebut, persentase kesembuhan COVID-19 per 2 Oktober 2020 mencapai 74,9%, lebih tinggi dibanding persentase kesembuhan dunia yang berada di 74,43%.

Ia melanjutkan, peringkat Indonesia di posisi 23 dengan jumlah kasus sebesar 295.499 kasus. Posisi ini, menurutnya, masih lebih baik dibanding negara-negara besar seperti Amerika Serikat (7.495.136 kasus), India (6.397.896 kasus), Brazil (4.849.229 kasus), Rusia (1.194.643 kasus), dan Kolombia (835.339 kasus).

Menurut Presiden, memang seharusnya kita membandingkan dengan negara-negara besar tersebut, dan bukan negara-negara kecil. "Sebaiknya kalau membandingkan, ya, seperti itu," jelas Presiden.

Di masa awal pandemi, Presiden mengatakan bahwa masyarakat Indonesia tidak perlu takut secara berlebihan dengan virus corona. Karena menurut data yang ia terima, 94% pasien bisa disembuhkan. Catatan pentingnya, Indonesia baru mencatatkan dua kasus COVID-19 kala itu. Per 2 Oktober 2020, ada 295.499 kasus COVID-19 dengan 74.109 pasien aktif dan 10.972 orang dinyatakan meninggal.

Kemudian, Presiden juga membandingkan kasus COVID-19 dengan negara-negara besar seperti AS, Brazil, India, Meksiko, dan Kolombia. Ia mengatakan, jika dibandingkan di negara-negara tersebut, penanganan COVID-19 di Indonesia "tidak buruk."

Padahal, perlu diperhatikan bahwa rasio tes Indonesia masih paling sedikit dibanding negara-negara tersebut. Amerika Serikat memiliki rasio tes paling banyak, yakni 339,3 per 1.000 penduduk. Dilanjutkan dengan Brazil (84,0), Kolombia (77,0), India (58,5), Meksiko (15,4), dan Indonesia (12,8).

Presiden tak luput membahas perekonomian negara. Menurutnya, tidak ada negara yang tidak turun ekonominya. Bahkan, ada banyak negara lain yang memikul beban ekonomi yang jauh lebih parah. Video lalu menampilkan pertumbuhan ekonomi beberapa negara di ASEAN pada kuartal II/2020: Malaysia (-17,1%), Filipina (-16,5%), Singapura (-13,2%), Thailand (-12,2%), dan Indonesia (-5,3%).

Menurut Presiden, hal ini harus diambil hikmahnya, agar Indonesia tidak kehilangan harapan.

Perekonomian Indonesia pada kuartal pertama tahun ini tumbuh sebesar 2,97 persen (year-on-year/y-o-y). Pada kuartal kedua, pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 5,32 persen (y-o-y).

Catatan minus ini lebih buruk dibandingkan prediksi Kementerian Keuangan di angka minus 5,1 persen. Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat realisasi kuartal kedua ini merupakan yang terburuk sejak 1999.

Presiden memang membandingkan perekonomian Indonesia dengan beberapa negara di ASEAN. Namun, entah sengaja ataupun tidak, Presiden tidak menyebutkan Vietnam yang tumbuh paling tinggi pada kuartal I/2020, yakni 3,82% (y-o-y).

Negara ini juga mengalami penurunan yang tak buruk-buruk amat pada kuartal II/2020, yakni 0,36% (y-o-y) dalam konteks pandemi. Kemudian, pada kuartal III/2020, pertumbuhan ekonomi Vietnam kembali naik hingga mencapai 2,62% (y-o-y)

Yang menarik dan penting di sini adalah Vietnam merupakan negara di ASEAN yang dinilai paling berhasil mengatasi pandemi COVID-19. Negara ini memiliki hanya 1.097 kasus per 6 Oktober 2020 dengan 40 kasus aktif, dan 35 orang meninggal. Kemudian, negara ini juga melakukan tes yang cukup besar, yakni 10,3 ribu tes per 1 juta penduduk (Populasi Vietnam sebesar 97.568.899 jiwa).

Selain melakukan tes yang agresif, negara ini juga gencar melakukan contact tracing. Buat Vietnam, pelacakan dilakukan kepada mereka yang melakukan kontak selama 30 menit atau lebih dengan pasien positif COVID-19.

Pelacakan pun dilakukan dalam tiga tingkatan; pasien positif pertama (disebut Index Case/F0), mereka yang melakukan kontak dengan F0 (First Degree/F1), dan orang-orang yang berkontak dengan F1 (disebut Second Degree/F3).

Keseriusan inilah yang membuat Vietnam cuma mencatat 1,097 kasus setelah tujuh bulan pandemi COVID-19, dan tentunya membuat mereka bisa berfokus pada hal lainnya, yakni menumbuhkan ekonomi.

Tidak dapat dipungkiri, Presiden memang menyampaikan fakta dan data terkait tujuh bulanan COVID-19 di Indonesia. Namun, terdapat sejumlah data yang tidak ia sampaikan sehingga mengaburkan posisi Indonesia sesungguhnya dalam rapor penanganan pandemi COVID-19.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Irma Garnesia

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Irma Garnesia
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara