Menuju konten utama

Cara Jokowi & Mahfud MD Tak Acuh HAM soal Pemulangan WNI Eks ISIS

Keputusan pemerintah soal WNI eks ISIS menuai kritik, bahkan Direktur ICJR Anggara Suwahju menyebut pemerintah membiarkan warganya kehilangan kewarganegaraan atau stateless.

Cara Jokowi & Mahfud MD Tak Acuh HAM soal Pemulangan WNI Eks ISIS
Presiden Joko Widodo memberikan arahan pada Rakornas Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan 2020 di Istana Negara, Jakarta, Kamis (6/2/2020). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww.

tirto.id - Pemerintah Indonesia memastikan tidak akan memulangkan sekitar 660 WNI eks ISIS yang diduga menjadi kombatan teroris lintas batas atau foreign terrorist fighters (FTF) di beberapa negara.

Hal itu diputuskan dalam rapat kabinet yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Kompleks Istana Bogor, Selasa (11/2/2020).

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan pemulangan WNI eks ISIS ke tanah air menjadi ancaman bagi masyarakat.

"Pemerintah dan negara harus memberi rasa aman dari ancaman terorisme dan virus-virus baru teroris terhadap 267 juta rakyat Indonesia," kata Mahfud usai rapat kabinet di Kompleks Istana Bogor.

Keputusan itu diambil saat pemerintah Indonesia belum punya data valid dan identitas ratusan WNI eks ISIS di Suriah. Mahfud tak tahu pasti berapa jumlah anak-anak dan perempuan yang berada di sana.

Sejauh ini, kata Mahfud, pemerintah hanya mendapatkan laporan dari pihak luar seperti CIA dan Komite Palang Merah Internasional (ICRC) soal keberadaan WNI di Suriah.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu mengklaim pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah mencari WNI yang berada di Suriah dan negara lain. Namun, pemerintah tidak pernah bertemu secara langsung.

"Hanya ketemu sumber-sumber otoritas resmi saja. Di situ ada ini [WNI] katanya, tapi orangnya enggak pernah menampakkan juga," jelas Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam, Rabu (12/2/2020), seperti dikutip dari Antara.

Selain itu, Mahfud membantah kabar yang menyebut bahwa kombatan ISIS asal Indonesia tersebut minta dipulangkan.

"Iya, mereka kan tidak pernah menampakkan diri. Paspornya dibakar. Itu kan hanya laporan. Bahwa ada itu. Lalu ada isu-isu mereka ingin pulang. Siapa, tidak ada," tegasnya.

Mahfud juga menyampaikan pemerintah tidak akan mengambil langkah hukum atau upaya lain terhadap WNI eks ISIS yang berada di Suriah.

"Wong mereka pergi dari sini mau diapain? Mereka kan tidak lapor, hanya ditemukan oleh orang luar," ujarnya.

Selain itu, Mahfud juga menyebut para WNI di sana sudah membakar paspor masing-masing, sehingga pemerintah sudah tidak bisa mengadili mereka. Dengan begitu, menurut Mahfud, secara tidak langsung mereka tidak mengakui dirinya sebagai WNI.

"Paspornya sudah dibakar, terus mau diapain? Kalau kamu jadi pemerintah, mau diapain kira-kira? Enggak bisa kan. Ya, dibiarin saja enggak bisa dipulangkan," tegas Mahfud.

Apa yang disampaikan Mahfud seperti mengamini pendapat pribadi Presiden Joko Widodo soal repatriasi WNI eks ISIS. Jokowi menyampaikan pendapat pribadinya satu pekan sebelum ada keputusan resmi melalui rapat kabinet.

"Kalau bertanya kepada saya, saya akan bilang tidak [memulangkan WNI eks ISIS ke Indonesia]. Tapi, masih dirataskan," kata Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (5/2/2020).

Jokowi mengatakan pemerintah akan mengalkulasi dampak baik maupun buruk akibat pemulangan eks WNI tersebut.

Negara Biarkan Warganya "Stateless"

Keputusan pemerintah tidak memulangkan WNI eks ISIS menuai sorotan dari pelbagai pihak. Salah satunya Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju yang menyebut pemerintah membiarkan warganya kehilangan kewarganegaraan atau stateless.

Anggara menilai perusakan paspor Indonesia oleh beberapa WNI eks ISIS tidak dapat serta merta diartikan mencabut kewarganegaraannya.

Dalam kerangka hukum Indonesia, kata dia, pencabutan kewarganegaraan diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan dan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Dua aturan itu menyebut kondisi di mana seorang WNI dapat kehilangan kewarganegaraannya, yaitu “Masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden” dan “secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada atau bagian dari negara asing tersebut.”

Anggara mengatakan permasalahan yang harus diperhatikan pemerintah adalah terkait status dari ISIS sebagai "tentara asing" atau "negara asing".

Hingga saat ini, kata Anggara, tidak ada satu negara pun di dunia yang bersedia menjalin hubungan diplomatik resmi dengan ISIS dan mengakuinya sebagai sebuah negara.

"Sehingga, pilihan untuk mencabut kewarganegaraan sebagai hukuman terhadap WNI eks ISIS dikhawatirkan justru memberikan legitimasi bagi keberadaan ISIS itu sendiri sebagai sebuah entitas politik," ujar Anggara lewat keterangan tertulis.

Diadili di Indonesia

Anggara juga mengkritik sikap pemerintah yang tidak akan mengambil langkah hukum atau upaya lain terhadap WNI eks ISIS yang berada di Suriah.

Anggara mengatakan pemerintah memiliki opsi terhadap WNI eks ISIS yang ingin kembali ke Indonesia, yaitu diadili secara hukum. Ia beralasan tindakan yang dilakukan oleh ISIS telah ditetapkan sebagai tindakan terorisme oleh Dewan Keamanan PBB.

"Para WNI eks ISIS tersebut dapat dijerat dengan hukum Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 UU Terorisme," kata dia.

Pasal tersebut menyebut peraturan ini berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana terorisme di dalam negeri maupun luar negeri, kata Anggara.

Anggara juga menyoroti perempuan dan anak-anak WNI eks ISIS yang berada di Suriah. Ia menyebut mereka umumnya hanya korban.

Atas dasar itu, ICJR mendorong pemerintah untuk melakukan penilaian agar dapat memetakan tindakan yang diperlukan untuk rehabilitasi dan reintegrasi.

Kritik juga disampaikan cendikiawan muslim, Ulil Abshar Abdalla. Ia menyoroti dalil pemerintah sehingga tidak memulangkan WNI eks ISIS di Suriah: mereka akan menularkan "virus" terorisme di Indonesia.

Menurut Ulil, pemulangan WNI eks ISIS tak ada hubungannya dengan munculnya ekstremis di Indonesia. Sebab, teroris bisa terkoneksi melalui jaringan internet.

"Meskipun anggota ISIS ini tidak diizinkan pulang ke negeri masing-masing, mereka tetap bisa melakukan rekrutmen anggota secara jarak jauh, secara on-line, sebagaimana berlangsung selama ini. Tidak memulangkan mereka tak seluruhnya merupakan solusi," kata Ulil dalam cuitannya di Twitter. Tirto dipersilahkan mengutip twit tersebut.

Baca juga artikel terkait WNI EKS ISIS atau tulisan lainnya dari Gilang Ramadhan

tirto.id - Politik
Penulis: Gilang Ramadhan
Editor: Abdul Aziz