Menuju konten utama

Cara Jerman Mencegah Kebangkitan Nazi

“Masa lalu biarlah masa lalu” tampaknya tidak pas bila bicara soal Jerman.

Cara Jerman Mencegah Kebangkitan Nazi
Ilustrasi. Neo Nazi. Foto/Alexander Goldberg

tirto.id - Aris Setiawan berhasil menyabet juara favorit juri dalam gelaran Cosplay Live Action Show Hybrid (CLASH) 2017 Surabaya. Kostum Aris sederhana, bahkan bisa dibilang nyeleneh. Pada acara bertanggal 26 Maret 2017 itu Aris memeragakan persona Adolf Hitler.

Aris tampil lengkap dengan kumis pendek nan tebal di bawah hidung. Bernomor urut 100, Aris serasi berpose Hitlergruß dalam foto resmi yang dia setor ke panitia CLASH 2017. Gesture yang diperagakan Aris ini adalah cara memberi salam khas Nazi, yakni mengangkat tangan kanan lurus ke depan setinggi kepala disertai sautan "Heil Hitler!" (Jayalah Hitler!), "Heil, mein Führer!" (Jayalah Pemimpinku!), atau "Sieg Heil!" (Jayalah Kemenangan!).

Setelah acara beres, Aris juga mengunggah persona Hitlernya tersebut beberapa kali di akun instagram miliknya. Ada satu unggahan yang memperlihatkan Aris berpose Hitlergruß berbingkai 72 tahun Kemerdekaan Indonesia. Bahkan ada satu foto rekaan Adolf ‘Aris’ Hitler itu sedang berswafoto dengan Presiden Jokowi.

Baca juga: Membangun Konsep Diri Dengan Cosplay

Tindakan Aris bukannya tanpa kontroversi. South China Morning Post melaporkan beberapa pihak melancarkan kritik kepada panitia. Karena itu panitia juga menghapus semua gambar Aris dari situswebnya.

"Saya tidak mengharapkan kontroversi semacam itu. Ada banyak keributan di sekitarnya, sampai-sampai Facebook melarang foto-foto itu. Tapi masalahnya, yang saya lakukan itu tidak ilegal," ujar Aris seperti dilansir dari South China Morning Post.

Pemerintah Indonesia memang tidak memiliki aturan yang melarang penduduknya untuk memakai atau memajang simbol-simbol bertema Nazi. Sikap ini berlawanan dengan Jerman, negeri tempat Nazi lahir dan berkembang.

The Guardian melaporkan seorang wisatawan asal Amerika dipukuli di kota Dresden, Jerman, setelah berulang kali mengangkat tangannya dengan gaya hormat Nazi. Pihak kepolisian setempat menyebutkan sebelum melakukan hormat Nazi wisatawan itu keluar dari sebuah bar di daerah Neustadt dalam keadaan mabuk. Insiden yang terjadi pada hari Sabtu (13/7) pagi itu mengakibatkan wisatawan berusia 41 tahun tersebut cedera ringan.

"Seorang pejalan kaki yang tidak diketahui kemudian memukuli pria itu dan sedikit melukainya," sebut pernyataan polisi, seperti dilansir dari The Guardian.

Sepekan sebelumnya dua turis asal Tiongkok juga ditangkap pihak kepolisian Jerman karena melakukan salam Nazi di depan gedung Reichstag. Gedung ini sejatinya adalah gedung parlemen Jerman.

Pada tahun 2011, The Independent melaporkan seorang turis Kanada berusia 30 tahun ditangkap setelah tampak dalam potret tengah memberi salam Nazi di luar gedung parlemen Reichstag pula. Dia kemudian dikenai denda dan beberapa jam di tahanan polisi.

Baca juga: Industri yang Menghamba pada Nazi dan Hitler

Nazi, bagi sebagian besar masyarakat Jerman, adalah luka masa lalu. Adolf Hitler mulai berkuasa di Jerman pada 1933. Kala itu partai Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei (NSDAP; sebutan formal partai Nazi) yang dipimpin Hitler berhasil memenangi pemilihan umum parlemen Reichstag dengan suara 37,4 persen.

Sejak berkuasa Hitler menerapkan kebijakan diskriminatif dan rasis, terutama bagi penduduk etnis Yahudi. Berdasarkan data United States Holocaust Memorial Museum, tidak kurang dari 6 juta Yahudi dibunuh selama Nazi di puncak kuasa.

Kebijakan supremasi ras Arya yang dianut Nazi juga menjadi salah satu dalih mereka menginvasi wilayah negara-negara Eropa lainnya. Pada 1938 Nazi merebut Austria. Sedangkan pada 1939, Nazi menduduki Cekoslovakia. Pada 1940, mulai dari Denmark, Norwegia, Belanda, Belgia, Luksemburg, sampai Perancis dicaplok oleh Nazi.

Agar Nazi Tidak Bangkit Lagi

Suaranya pelan, tapi pasti. Melalui sambungan telepon, Aldi (27) mengisahkan kehidupannya selama menempuh kuliah di salah satu perguruan tinggi di kota Halle, Jerman.

Suatu hari saat sedang berada di ruang kelas, dosen Aldi meminta salah satu mahasiswa untuk membacakan beberapa paragraf yang terdapat buku. Aldi mengajukan diri, menyambut permintaan dosen tersebut. Sembari mengacungkan tangan kanannya, Aldi khidmat membaca kalimat demi kalimat.

Tiba-tiba sang dosen menegurnya. Menurutnya, tangan Aldi secara tidak sengaja sedang memeragakan salam Nazi.

“Dia bilang (tindakan saya) berbahaya. Bagi sebagian orang (salam Nazi) memang tabu, tetapi bagi sebagian orang lainnya, seperti fans-fans Nazi, skinhead, atau kelompok sayap kanan itu tidak masalah. Seperti di Indonesia saja, ada yang pro-Orba, ada yang anti-Orba,” ujar laki-laki yang menempuh studi di Jerman dari 2006 sampai 2009.

Baca juga: Pusaran Skandal Neo-Nazi di Tubuh Militer Jerman

Kejayaan Nazi luluh lantak pada 1945. Pada Perang Dunia II Sekutu yang dipimpin Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Soviet memukul mundur tentara Nazi. Pada April 1945 Hitler dikabarkan bunuh diri. Lalu, pada 2 Mei 1945 Jerman resmi pernyataan menyerah dari Jerman mengakhiri Perang Dunia II sekaligus era kejayaan Nazi.

Lantas, apakah masyarakat Jerman malu dengan kekalahan tersebut?

Berdasarkan survei yang dilakukan lembaga Forsa-Institut pada tahun 2015, hanya 9 persen masyarakat Jerman yang menganggap hal tersebut sebagai kekalahan. Forsa-Institut bahkan menemukan bahwa sebagian besar melihat jatuhnya Nazi sebagai pembebasan. Angka ini cukup mengejutkan. Pada 2005, ada 34 persen masyarakat yang menganggap itu sebagai kekalahan.

Selain itu peperangan tidak hanya penting secara historis bagi orang Jerman, namun juga memiliki dampak emosional pada banyak orang. Berdasarkan riset yang dilakukan YouGov untuk Deutsche Presse-Agentur (DPA), sebanyak 47 persen responden mengatakan bahwa mereka terpengaruh secara emosional oleh peristiwa yang terjadi sepanjang 1939-1945. Sedangkan 40 persen lainnya mengatakan bahwa perang hanya menyangkut kepentingan historis mereka.

Survei tersebut juga menunjukkan bahwa secara pribadi perang masih merupakan tema perbincangan bagi masyarakat Jerman. Hanya 9 persen responden yang mengatakan bahwa mereka tidak pernah membicarakan perang dengan keluarga mereka. Sementara 88 persen lainnya mengatakan biasa mendiskusikan nasib keluarga mereka, membicarakan rincian historis perang, atau memperdebatkan tanggung jawab sosial yang muncul dari peperangan.

Pemerintah Jerman juga memiliki aturan yang melarang siapapun untuk mengucapkan hal-hal maupun mengenakan simbol terkait dengan Hitler dan Nazi. Aturan ini diterapkan sesaat setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua.

"Ada upaya menyeluruh untuk menyingkirkan gerombolan Nazi dan pendukung Lost Cause," ujar sejarawan Gavriel Rosenfeld kepada Vox.

Pasal 86 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Jerman melarang propaganda Nasional-Sosialis yang mencoba merusak tatanan demokrasi. Dalam kitab yang sama, pasal 86a mengatur tentang larangan penggunaan simbol-simbol terkait Nazi seperti bendera Nazi, swastika, dan salam Nazi.

Sedangkan pasal 130 melarang ujaran kebencian, tindakan provokasi kekerasan, atau menyinggung, mengejek, mengumpat 'sebagian (kelompok) dari populasi' yang dapat mengganggu kedamaian publik.

Pemberian salam Nazi di Jerman bisa berujung pada hukuman penjara enam bulan. Bahkan penolakan terhadap genosida sistematis terhadap 6 juta orang Yahudi dan orang-orang dari berbagai kelompok etnis di Eropa oleh Nazi Jerman pada tahun 1930-an dan 1940-an adalah suatu hal ilegal di 16 negara Eropa.

infografik jerman melarang simbol nazi

Masih Menjadi Tantangan

Meski menjadi luka, pemerintah Jerman mengakui keberadaan Nazi dalam narasi sejarahnya. Pemerintah pun tidak mencoba menutup-nutupi borok tersebut dan bahkan berusaha mencegah munculnya kelompok-kelompok Nazi yang baru.

Monumen peringatan Holocaust pun didirikan di atas reruntuhan bangunan Nazi sebagai cara untuk mengajarkan generasi masa depan tentang dosa dan kengerian kekerasan yang disponsori oleh negara di masa lalu.

Namun, bukan berarti gagasan Nazi hilang begitu saja. Selama di Jerman, Aldi menemukan sekretariat kelompok-kelompok yang beraliran neo-Nazi. Di gedung tersebut ada logo-logo Swastika dan bahkan beberapa di antaranya memasang bendera sejenis Nazi di depan gedungnya.

Perlakuan rasis pun pernah menimpanya. Aldi pernah diteriaki “hey asia fuck you!”, dilempar botol bir, bahkan dikejar oleh pemuda-pemudi setempat. Kejadiannya biasanya malam hari.

“Kalau dulu kami (mahasiswa yang tinggal di Jerman) menyebutnya Palbot (kepala botak). Jadi kami tahu dan hati-hati. Saya sering dilempar botol bir. Saya dikejar, karena saya orang Asia. Selagi bisa saya hadang,” Aldi berkisah.

Peristiwa kelam yang disponsori pemerintah di masa lalu tidak hanya terjadi di Jerman. Indonesia juga tidak bebas dari tragedi kelam saat para perwira Angkatan Darat diculik dan dieksekusi di Lubang Buaya yang diikuti dengan eksekusi ratusan ribu anggota Partai Komunis Indonesia dan simpatisan gerakan kiri karena dianggap bertanggung jawab terhadap peristiwa di Lubang Buaya.

Sampai saat ini orang dilarang atau setidaknya akan mendapat perlakuan buruk, ketika memakai simbol-simbol berbau komunisme seperti palu-arit atau wajah Karl Marx. Diskusi atau buku-buku bertema peristiwa tersebut pun kerap dilarang. (Baca juga: 5 Jam Terjebak Pengepungan Gedung YLBHI )

Baca juga artikel terkait NAZI JERMAN atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Zen RS