Menuju konten utama

Cara Indonesia Memperlakukan Perempuan

Di Indonesia, kesenjangan gaji yang diterima perempuan dan laki-laki masih tinggi. Jika dirata-ratakan, perempuan cuma mendapat 68 persen dari gaji yang didapat laki-laki.

Cara Indonesia Memperlakukan Perempuan
Aktivis yang tergabung dalam Jaringan Perempuan Yogyakarta menarikan tarian gugat jampi saat aksi damai memperingati Hari Perempuan Internasional di Titik Nol Kilometer, Yogyakarta, Rabu (8/3). ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko

tirto.id - Ratna baru pindah dari Jakarta ke pinggiran Bogor. Ayahnya ada urusan kerja ke luar negeri, jadi selama setahun ke depan Ratna dititipkan di rumah tantenya. Ia sendiri sebenarnya enggan. Ia akan lebih memilih tinggal sendirian di Jakarta ketimbang di daerah pinggiran, belum lagi harus adaptasi di sekolah yang baru. Namun, Ratna tak tahu kalau ada tikungan takdir di Bogor yang akan mempertemukannya dengan Galih, sang pujaan hati.

Kisah ini memang dikutip dari Galih dan Ratna karya sutradara Lucky Suwandi yang rilis 9 Maret lalu. Ini adalah karya daur ulang dari Gita Cinta dari SMA, film yang dibintangi Rano Karno dan Yessi Gusman pada 1979. Versi daur ulang ini disebut-sebut Lucky sendiri menjadi kisah cinta Galih dan Ratna versi milenial. Jadi, segala masalah yang dihadapi kedua tokoh utama ini pasti akan berbeda dari versi sebelumnya.

Secara kasat mata, polemik-polemiknya memang berbeda. Galih dan Ratna milenial tak lagi ditentang orangtua karena masalah beda suku, tapi perkara idealisme yang diserempetkan sedikit dengan masalah kaya-miskin. Galih anak tukang katering yang sekolahnya saja mesti dibiayai beasiswa. Sementara, seperti deskripsi pembuka, Ratna adalah keturunan pebisnis kaya. Namun, kalau dilihat lebih cermat, sebenarnya masalah hidup pasangan ikonik Indonesia ini tak berubah-berubah amat.

Terutama tentang stigma-stigma yang dihadapi tokoh Ratna sebagai tokoh utama perempuan.

Pada hari pertama di sekolah, kaus kaki Ratna milenial yang diperankan Sheryl Sheinafia sudah kena protes guru yang menyambut di gerbang. Untuk seorang perempuan berkulit mulus, Ratna harusnya pakai kaus kaki sampai lutut, kata sang guru. Galih, pacar Ratna rupanya juga tipikal pria yang harga dirinya tergores jika dibayarin perempuan. Ratna dan teman-teman perempuannya juga dicap sebagai para penggila belanja karena mereka adalah perempuan.

Ratna yang diperankan Yessi Gusman memang punya masalah-masalah lebih berat. Cara berpakaiannya saja mesti diatur orangtua dan lingkungan secara eksplisit. Namun, apakah jarak 38 tahun antara Ratna yang dulu dan Ratna milenial membuktikan kehidupan perempuan di Indonesia memang berubah semakin baik?

Hidup Perempuan Indonesia vs Hidup Perempuan di Negeri Lain

Tanggal 4 Maret lalu, sekitar 700 orang berkumpul di Istana Negara dalam aksi bertajuk Jakarta Women’s March memperingati Hari Wanita Internasional yang biasanya dirayakan tiap 8 Maret. Aksi itu sekaligus ingin mengingatkan rakyat Indonesia kalau bangsa perempuannya masih berjuang menghadapi diskriminasi dan perlakuan tak adil di berbagai sektor.

Tania Meliala memang tak ikut aksi ratusan perempuan hari itu. Sebab ia tinggal di Medan, dan masih berkutat di kantor, menyelesaikan majalahnya yang kena tenggat. Tapi ia setuju kalau perempuan di Indonesia masih diperlakukan tak adil. Bukti paling konkret yang dirasanya adalah perihal cuti hamil. Tania yang hamil pada 2015 lalu hanya mendapat jatah cuti melahirkan 2 bulan dari kantornya, sebuah majalah gaya hidup di Medan.

Bahkan sejak tespek menunjukkan ia positif hamil sampai melahirkan anak pertamanya, Tania tak ada cuti sehari pun. Bukan tak diizinkan kantor, tapi jatah cuti untuk perempuan hamil/melahirkan di kantornya memang cuma 2 bulan. Tania akhirnya memilih mengambil risiko tetap bekerja selama hamil dan baru mengambil cuti setelah melahirkan. Sebab ia ingin benar-benar memulihkan diri dari luka persalinan.

“Teman-teman PNS biasanya juga cuma tiga bulan,” kata Tania.

Baginya, cuti bagi perempuan hamil itu sangat penting. Secara biologis tubuhnya akan menuntut waktu istirahat lebih banyak. Pergolakan hormon yang tak stabil juga membuat Tania harus pandai-pandai mengontrol emosi selama bekerja saat hamil.

Di Indonesia, aturan cuti bagi perempuan ini diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Ada ketentuan hak beristirahat sebelum dan sesudah melahirkan (masing-masing 1,5 bulan sehingga total 3 bulan), hak cuti haid, cuti melahirkan, cuti keguguran, kesempatan untuk menyusui, dan layanan antar-jemput bagi karyawan perempuan yang bekerja di atas pukul 23.00 hingga 05.00.

Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat itu juga "berhak mendapat upah penuh." Beruntung, cuti dua bulan Tania dibayar sesuai gajinya seperti biasa. “Tapi di kantor abang [suaminya yang juga pekerja swasta], kawan-kawannya yang cuti hamil cuma dikasih gaji pokok tanpa uang makan dan transportasi,” katanya.

Infografik Cara Indonesia Memperlakukan Perempuan

Kondisi ini benar-benar berbeda dari sejumlah negara yang sadar pentingnya kesehatan ibu-ibu hamil. Menurut data dari Huffington Post Canada, negara paling baik dalam regulasi untuk ibu hamil adalah Swedia. Perempuan di Swedia boleh cuti hamil dan melahirkan selama 480 hari (1 tahun lebih), dan tetap digaji hingga 80 persen. Negara lain seperti Kroasia, Denmark, dan Serbia bahkan memberikan gaji seratus persen bagi perempuan pekerja yang cuti hamil, meski lamanya tak seperti yang ditawarkan Swedia.

Cara melihat bagaimana perlakuan Indonesia pada perempuan juga bisa dilihat dari kesenjangan gaji yang ada di negeri ini. Menurut data World Economic Forum, Indonesia berada di peringkat 51 dari 141 negara yang dikaji. Selisih gaji berdasarkan gender di Indonesia sampai angka 0,68. Artinya perempuan cuma digaji 68 persen dari gaji laki-laki untuk pekerjaan yang sama.

Sementara di Rwanda, negara dengan selisih gaji perempuan dan laki-laki paling sedikit di dunia, perempuan digaji 88 persen dari 1 dolar yang dibayarkan untuk laki-laki dengan pekerjaan yang sama. Sebab, angka kesenjangannya mencapai 0,88.

Rwanda ini juga negara dengan keterwakilan perempuan peringkat pertama di dunia. Ia adalah salah satu dari dua negara di dunia yang jumlah perempuan di parlemennya lebih banyak dibanding laki-laki, mencapai 61,3 persen. Sementara, Indonesia berada di peringkat 99, cuma 19,8 persen.

Secara keseluruhan, perlakuan Indonesia pada perempuan berada di peringkat 88. Jauh ketinggalan dari sejumlah negara-negara ASEAN lainnya, seperti Filipina di peringkat 7, Singapura di peringkat 55, Vietnam di peringkat 65, dan Thailand di peringkat 71. Hanya lebih tinggi dari Malaysia di peringkat 106, dan Timor Leste di peringkat 125.

Angka kesenjangan gender antara perempuan dan laki-laki di Indonesia mencapai 0,628. Angkanya turun dari peringkat ke-68 pada 2006 silam dengan capaian 0,654.

Angka-angka ini diperoleh dari tingkat pendidikan, kemampuan ekonomi, partisipasi politik, dan kesehatan warga yang ada di 144 negara yang disurvei. Melalui survei ini, perempuan masih terlihat sebagai warga kelas dua, yang hak dan kebutuhannya masih belum bisa sepenuhnya diakomodasi Indonesia sebagai negara.

Maka tak heran, jarak 38 tahun antara Yessi Gusman dan Sherly Sheinafia yang memerankan Ratna—si tokoh ikonik lambang perempuan Indonesia—tak terlalu kentara. Apakah perubahan perlakuan itu ada dan lebih baik? Tentu jawabannya, iya. Tapi jika pertanyaannya apakah perjuangan agar hidup setara itu sudah selesai? Maka jawabannya, jangan!

Baca juga artikel terkait KESENJANGAN GENDER atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Maulida Sri Handayani