Menuju konten utama

Cara Buzzer dan "Panasbung" Thailand Memburu Pengkritik Monarki

Di Indonesia Ada Buzzer, di Thailand “Pramuka Siber”, di Cina “Pasukan 50 Sen”.

Cara Buzzer dan
Pengunjuk rasa menyalakan lampu smartphone saat protes menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha, di jalan raya Pathum Thani, kota Bangkok, Thailand, Kamis (23/7/2020). (ANTARA FOTO/REUTERS/Jorge Silva/aww/cfo)

tirto.id - Media sosial memiliki potensi dalam memfasilitasi debat terbuka dan kritis. Para pengguna, terutama kalangan aktivis, menjadikan media sosial sebagai sarana utama untuk memperluas jangkauan gerakan. Di sisi lain, pemerintah di negara-negara otoriter menciptakan mekanisme untuk mengontrol dan membatasi debat publik di media sosial melalui sensor atau pengerahan buzzer (influencer/pendengung) untuk memengaruhi opini publik.

Tren ini meningkat secara global, baik di negara demokratis, otoriter, maupun yang berstatus hibrida. Di Thailand, istilah Cyber Scouts (Pengintai Siber) dan Cyber Witch Hunts (Perburuan Penyihir Siber) dibentuk pada 2010 untuk melindungi Monarki Thailand. Di Cina, istilah buzzer identik dengan nama Fifty-Cent Army (Tentara Lima Puluh Sen) yang didirikan pada 2004 untuk memperkuat propaganda Partai Komunis Cina.

Cyber Scouts dan Cyber Witch Hunts di Thailand

Program Cyber Scouts didirikan pada 2010 atas kerja sama Kementerian Kehakiman dan Kementerian Informasi, Komunikasi, dan Teknologi Thailand dalam masa pemerintahan Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva. Dalam artikel “The Village Scouts of Thailand” yang terbit di jurnal Asian Survey (1980), Marjorie A. Muecke menjelaskan istilah Cyber Scouts merujuk pada “village scout” alias “pramuka desa” pada kurun waktu 1970-an. Waktu itu, pramuka desa didirikan untuk melawan pengaruh ideologi komunisme. Abhisit mendirikan Cyber Scouts dengan dalih menjembatani kesenjangan digital antara masyarakat yang memiliki akses ke internet dengan mereka yang tidak. Menurutnya, inilah cara untuk mempromosikan “pengetahuan berbasis masyarakat”.

Namun, tujuan utama dari program tersebut tak lain adalah menciptakan jaringan relawan dengan merekrut pelajar dan kalangan anak muda untuk mengawasi konten daring yang dianggap menghina, mengancam keamanan nasional, dan menyudutkan keluarga Monarki Thailand, seperti yang dikutip Vice News. Cyber Scouts diciptakan untuk memaksimalkan kapasitas negara dalam mengawasi gerak-gerik masyarakat Thailand di dunia maya, terutama mereka yang anti-monarki Thailand.

Program tersebut berakhir sejalan dengan terpilihnya Yingluck Shinawatra pada 2011 dan muncul kembali setelah kudeta yang dilakukan Junta Militer Thailand di 2014. Saat ini, program Cyber Scouts dikelola Kementerian Informasi, Komunikasi, dan Teknologi di bawah pimpinan Perdana Menteri Thailand, Prayut Chan-o-cha, tulis Wolfram Schaffar dan Naruemon Thabchumpon dalam bab buku “Militant Far-Right Royalist Groups on Facebook in Thailand” (2019). Pada 2016, sebanyak 112 sekolah mendukung program Cyber Scouts. Pada tahun yang sama, lebih dari 120.000 anggota Cyber Scouts tersebar di seluruh wilayah Thailand, sebagaimana ditulis Janjira Sombatpoonsiri dalam “Conservative Civil Society in Thailand” di bab buku The Mobilization of Conservative Civil Society (2018, PDF).

Tidak berbeda jauh dengan Cyber Scouts di era Abhisit, Junta Militer Thailand di bawah pimpinan Prayut Chan-o-cha menggunakan dalih yang sama. Cyber Scouts digunakan meningkatkan kesadaran dalam menggunakan teknologi informasi secara bertanggung jawab. Akan tetapi, tujuan utama dari program tersebut adalah untuk mengawasi gerakan anti-kudeta dan anti-monarki di sosial media. Rezim Perdana Menteri Prayut mengubah sekolah-sekolah di seluruh penjuru Thailand menjadi unit pengawas yang melindungi monarki sekaligus menyuburkan ideologi pendukungnya.

Sama halnya dengan Cyber Scouts, Cyber Witch Hunts merupakan gerakan yang menyasar para pengguna di sosial media yang menentang Monarki Thailand. Media sosial utama yang digunakan oleh Cyber Witch Hunts adalah adalah Facebook. Pinkaew Laungaramsri dalam artikel “Mass Surveillance and the Militarization of Cyberspace in Post-Coup Thailand” di jurnal Austrian Journal of South-East Asian Studies (2016) memaparkan bagaimana Cyber Witch Hunts menyediakan pelatihan daring untuk mereka yang ingin bergabung secara profesional sebagai pemburu pengguna media sosial yang anti-monarki.

Janjira Sombatpoonsiri dalam artikel “Conservative Civil Society in Thailand” (2018) menjelaskan, mayoritas para pemimpin Cyber Witch Hunts memiliki asosiasi dengan militer, baik sebagai pensiunan militer atau pendukung kudeta terhadap Yingluck Shinawatra. Wolfram Schaffar dan Naruemon Thabchumpon dalam “Militant Far-Right Royalist Groups on Facebook in Thailand” (2019) memaparkan, salah satu Cyber Witch Hunts ternama dan paling aktif adalah Rubbish Collection Organisation (Organisasi Pengumpul Sampah) yang didirikan pada 2013 oleh Rienthong Nanna, seorang pensiunan militer, dokter, dan ultra-royalis monarki Thailand. Organisasi tersebut bergerak dengan mengkombinasikan gerakan aktivis dengan gaya organisasi militer profesional. Tujuan utama dari gerakan ini adalah untuk memburu “sampah masyarakat” di dunia maya dan melumpuhkan gerakan anti-monarki.

Anggota RCO menyasar para pengguna media sosial yang melawan lèse-majesté (hukum yang melarang penghinaan terhadap monarki) dan kemudian melaporkan temuan tersebut kepada pihak berwajib, seperti dilansir dari Bangkok Post. Apabila laporan polisi tidak ditindaklanjuti, para anggota RCO akan melakukan tindakan sistematis dengan melakukan serangan berupa ujaran kebencian, ancaman di sosial media, menyebarkan alamat pelaku, hingga memobilisasi para ultra-loyalis monarki menyerang kediaman pelaku.

Dilansir dari The Diplomat, momen puncak gerakan sistematis RCO terjadi ketika meninggalnya Raja Bhumibol Adulyadej. Waktu itu, kaum pendukung monarki Thailand memburu para pengguna media sosial yang tidak menunjukan rasa berkabung secara pantas. Para anggota RCO juga turut menyasar para pengguna media sosial yang berkomentar sinis (mensyukuri) kematian Raja Bhumibol. Para korban diburu dan menjadi target kekerasan baik secara verbal dan fisik. Kebanyakan insiden terjadi di bawah perlindungan pemerintah Junta Militer Prayut Chan-o-cha, sebagaimana dilansir BBC.

Tak hanya itu, pada 28 Juli 2020, ketua kelompok RCO, Rientong Nanna, mengumumkan agar para Cyber Witch Hunts menyusup ke dalam demonstrasi pro-demokrasi dan memotret para peserta. Ia mengklaim “akan mengakhiri masa depan pengunjuk rasa dengan membuat daftar hitam para peserta demonstran,” kata Rientong Nanna, seperti dikutip Prachatai. RCO, singkatnya, membuat daftar para demonstran yang harus dilarang oleh perusahaan, lembaga pemerintah, dan lembaga pendidikan untuk dipekerjakan, mendaftar untuk belajar dan menerima beasiswa.

Fifty-Cent Army di Cina

Dengan menurunnya kredibilitas propaganda negara, buzzer berpotensi memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas dan legitimasi rezim Partai Komunis Cina. Dalam artikel “Manufacturing Consent in Cyberspace: China’s Fifty-Cent Army” di jurnal Current Chinese Affairs (2015), Rongbin Han menjelaskan penggunaan buzzer di Cina diinisiasi oleh Partai Komunis Cina di Provinsi Hunan pada Oktober 2004. Berbeda dengan sistem propaganda lama yang mengandalkan kontrol koersif atas arus informasi, buzzer menggunakan identitas dan kekuatan retoris untuk mempengaruhi opini publik melalui media daring. Menurut Guobin Yang dalam buku The Power of the Internet in China: Citizen Activism Online (2009), para buzzer dipekerjakan dengan gaji bulanan sekitar 7.000 yuan dan bonus 50 sen untuk setiap unggahan.

Para buzzer yang dikenal dengan Fifty-Cent Army merujuk pada bonus 50 sen yang didapat. Mereka bekerja secara penuh atau paruh waktu untuk media pemerintah. Mayoritas para anggota Fifty-Cent Army bekerja seperti reporter atau kolumnis di media tradisional. Mereka dikerahkan secara anonim untuk memanipulasi opini publik di media daring. Secara umum, penggunaan buzzer bukanlah kebijakan yang terkoordinasi secara terpusat, tetapi merupakan inisiatif dari berbagai lembaga negara di tingkat dan sektor berbeda, seperti dilaporkan oleh The Atlantic.

Para buzzer juga direkrut langsung dari dalam sistem propaganda atau lembaga pemerintah atau semi-pemerintah lainnya. Rongbin Han dalam artikel “Manufacturing Consent in Cyberspace: China’s Fifty-Cent Army” (2015), memaparkankriteria utama untuk menjadi anggota Fifty-Cent Army antara lain adalah kesetiaan kepada negara dan keterampilan komunikasi daring. Seorang Fifty-Cent Army harus memperjuangkan kepemimpinan Partai Komunis Cina, menjunjung tinggi arah, prinsip, dan kebijakan partai. Anggota Fifty-Cent Army juga diwajibkan memahami teori dan bahasa siber. Dengan cakupan pengetahuan dan keterampilan menulis yang luas, mahir menggunakan perangkat lunak dan aplikasi internet yang relevan, serta menerima bimbingan dari Partai Komunis Cina.

Anggota Fifty-Cent Army sering kali menerima beberapa pelatihan sebelum memulai pekerjaan mereka. Pelatihan mengambil format yang beragam, tapi fokus pada aspek teknis, terutama keterampilan menulis dan komputer. Pada sesi pelatihan yang diselenggarakan oleh Kementerian Kebudayaan, para anggota bertukar pengalaman dalam pengaturan kelompok dan menghadiri seminar dengan tema seperti Komunikasi Daring dan Web 2.0, Komunikasi Daring dan Manajemen Krisis, Memandu Opini Publik di Media Daring, Karakteristik Komunikasi Daring dan Penulisan Konten Internet, tulis Rongbin Han dalam artikelnya “Manufacturing Consent in Cyberspace: China’s Fifty-Cent Army” (2015).

Fifty-Cent Army memiliki berbagai tanggung jawab, di antaranya mengumpulkan, menganalisis, melaporkan opini daring, memandu opini publik dengan terlibat dalam diskusi, melacak penanganan masalah publik, dan berkoordinasi dengan lembaga pemerintah untuk memberikan tanggapan tepat waktu kepada warganet, seperti yang diberitakan Henry Farrell untuk Washington Post. Tidak hanya itu, mereka diwajibkan membuat unggahan positif untuk mempromosikan program utama komite partai dan pemerintah, menafsirkan kebijakan dan tindakan yang diambil oleh partai dan pemerintah, sekaligus membendung emosi warganet dalam situasi krisis di media daring, tulis Joyce Lau di Voa News.

========

Muchamad Zaenal Arifin adalah Director of Research Development pada

Sanglah Institute, Bali-Indonesia

Baca juga artikel terkait INDUSTRI BUZZER atau tulisan lainnya dari Muchamad Zaenal Arifin

tirto.id - Politik
Penulis: Muchamad Zaenal Arifin
Editor: Windu Jusuf