Menuju konten utama

Cara Anak Buah Jokowi Lepas Tangan soal Pasal 170 RUU Cipta Kerja

Pemerintah gagal membaca ulang draf RUU Cipta Kerja sehingga meloloskan Pasal 170.

Cara Anak Buah Jokowi Lepas Tangan soal Pasal 170 RUU Cipta Kerja
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto didampingi Menteri BPN Sofyan Djalil, Menkum HAM Yasonna Laoly, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyerahkan surat presiden (surpres) tentang RUU Cipta Kerja kepada pimpinan DPR Puan Maharani di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (12/2/2020). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/ama.

tirto.id - RUU Cipta Kerja (sebelumnya Cipta Lapangan Kerja atau Cilaka) masih belum usai menuai keributan. Kali ini Pasal 170 yang menjadi pangkal polemiknya. Substansi pasal ini memungkinkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk mengubah Undang-Undang (UU).

Ribut-ribut soal pasal itu justru ditanggapi enteng oleh pemerintah. Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly misalnya yang mengakui adanya salah ketik pada Pasal 170 RUU Cilaka ini.

Padahal, dalam hierarkinya, PP ada di bawah undang-undang. Yasonna mengatakan bila kata undang-undang dalam pasal tersebut salah ketik, di mana seharusnya yang tertulis adalah kata perundang-undangan.

"Ya [salah ketik] enggak bisa dong PP melawan undang-undang. Peraturan perundang-undangan itu," kata Yasonna usai rapat di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (17/2/2020).

Yasonna mengatakan peraturan perundang-undangan tidak bisa mencabut peraturan daerah. Sebab, Indonesia sudah tidak mengenal lagi konsep executive review.

Dalam konteks ini, gubernur bisa membatalkan peraturan daerah di level kabupaten/kota, sementara Kementerian Dalam Negeri bisa membatalkan peraturan daerah. Hal tersebut diatur dalam UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Namun, kewenangan tersebut dihapus setelah terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 137/PUU-XIII/2015 dan 56/PUU-XIV/2016 tentang pencabutan kewenangan pemerintah untuk membatalkan (executive review) peraturan daerah (Perda).

Yasonna berpandangan, perda merupakan produk undang-undang. Di atas perda, ada peraturan presiden kemudian peraturan pemerintah. Menurut politikus PDIP ini, sebuah undang-undang hanya bisa dibatalkan lewat peraturan di atasnya.

Selain itu, Yasonna mengingatkan kalau daerah mendapat mandat dari presiden akibat konsep desentralisasi. Oleh karena itu, presiden sebagai pemegang mandat tertinggi berhak untuk membatalkan aturan bila dianggap bermasalah lewat undang-undang yang lebih tinggi daripada daerahnya.

"Jadi dalam hal ini juga peraturan daerah tidak boleh melawan peraturan presiden atau peraturan pemerintah. Kalau tidak sesuai, itu bisa dibatalin melalui perundang-undangan itu juga," kata Yasonna.

Ia mencontohkan seperti Omnibus Law. Saat ini, Omnibus Law membatalkan beberapa perundang-undangan. Hal itu sah dalam pandangan Yasonna. Menurutnya tidak perlu ada revisi draf RUU Cipta Kerja, karena akan diperbaiki saat pembahasan undang-undang antara pemerintah dan DPR.

"Itu enggak perlu. Nanti kan di DPR nanti akan diperbaiki. Mereka buat DIM itu. Itu teknis," kata Yasonna.

Senada dengan Yasonna, Menkopolhukam Mahfud MD juga menegaskan bahwa undang-undang tidak bisa diubah ataupun diganti menggunakan Peraturan Pemerintah (PP).

"Kalau lewat Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) bahwa undang-undang diganti dengan Perpu sejak dulu bisa, sejak dulu sampai kapanpun bisa. Tapi isi undang-undang diganti dengan PP, diganti dengan Perpres (Peraturan Presiden) itu tidak bisa," ujar Mahfud, di Depok, Jawa Barat, Senin (17/2/2020) seperti dilansir dari Antara.

Mahfud mengatakan Peraturan Pemerintah tidak bisa digunakan untuk mengganti ketentuan dalam undang-undang. Mahfud justru menduga adanya kesalahan ketik di RUU Cipta Kerja.

"Mungkin itu keliru ketik atau mungkin kalimatnya tidak begitu. Saya tidak tahu kalau ada begitu. Oleh sebab itu kalau ada yang seperti itu nanti disampaikan ke DPR dalam proses pembahasan," ujarnya.

Salah Tafsir Pasal

Sementara itu, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto tak mau mengaku adanya salah ketik, seperti yang disampaikan Yasonna dan Mahfud MD.

Airlangga berdalih isi Pasal 170 itu ada salah pengertian, bukan salah ketik. "Bukan [salah ketik]. Memang itu ada salah pengertian di sana bahwa PP itu tidak bisa menggantikan undang-undang," kata Airlangga di kompleks Istana Kepresidenan.

Airlangga memahami undang-undang memiliki hierarki. Undang-undang berada di peringkat teratas kemudian diikuti peraturan pemerintah, peraturan menteri dan peraturan di bawahnya.

Menurut dia, peraturan pemerintah tidak bisa menggantikan undang-undang, namun ia bersikukuh tidak ada kesalahan ketik dalam pasal 170. "Tidak ada. Bacanya aja yang belum pas," kata Airlangga.

Dalam Pasal 170 ayat (1) disebutkan Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam undang-undang.

Pasal 170 ayat (1) berbunyi "Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini."

Pasal 170 ayat (2) berbunyi "Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah." Pasal 170 ayat (3) berbunyi "Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia."

Kendati demikian, Airlangga tak menjelaskan lebih lanjut tafsir sesungguhnya mengenai pasal tersebut.

Lempar Bola ke Penyusun Draf

Staf Khusus Presiden Jokowi Bidang Hukum, Dini Purwono justru berkata sebaliknya. Ia menilai tidak ada tipo dalam draf Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau dikenal RUU Cilaka.

"Kalau maksudnya salah ketik berarti artinya tipo, kan misalnya 'jika' jadi 'jiki', besok jadi 'besik'. Gitu kan. Nah ini kami enggak melihat tipo itu," kata Dini di kompleks Setneg, Jakarta Pusat, Jumat (21/2/2020).

Menurut Dini, hierarki aturan sudah menyatakan bahwa undang-undang berada di atas peraturan pemerintah. Hal tersebut merupakan ilmu dasar dalam penyusunan undang-undang.

Ia menduga salah satu pembuat rancangan undang-undang tersebut miskomunikasi karena sepengetahuan Dini cukup banyak penyusun undang-undang.

"Mungkin drafter yang kebagian pasal itu, yang saya bilang mungkin dia agak misunderstood instruction. Pasal itu berbicara mengenai apa, kemudian dia nulisnya seperti itu gitu. Itu kan sebenarnya hal yang sangat basic untuk sarjana hukum," kata Dini.

Dini juga menegaskan, kesalahan pengetikan bukan berarti pemerintah ingin bersikap otoriter. Berdasarkan keterangan Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, pasal tersebut tidak berencana untuk membuat negara berkuasa penuh atas hajat hidup rakyat.

"Saya menduga itu ada miskomunikasi atau instruksi yg mungkin kurang dipahami dengan benar. Mungkin, gimana bisa jadi satu pasal, kalimatnya rapi. Ya itu saya enggak bisa menjelaskan. Enggak tahu apa yang terjadi dibelakang layar, sehingga ada itu. Tapi Pak Menko bilang enggak ada bermaksud seperti itu, bahwa kesannya presiden mau otoriter. Sama sekali enggak ada," kata Dini.

Lempar Tanggung Jawab

Ketidaksinkronan pernyataan antar-instansi pemerintah terkait Pasal 170 RUU Cipta Kerja ini semakin menimbulkan kegaduhan dan memperjelas adanya cacat konstitusi dalam penyusunan RUU tersebut.

RUU Cipta Kerja merupakan rancangan undang-undang yang diusulkan pemerintah demi memangkas 79 Undang-Undang dan 1.244 pasal yang disebut pemerintah sebagai “terobosan regulasi untuk menjaga keseimbangan antara perluasan lapangan kerja dan perlindungan pekerja”.

Artinya, pemerintahlah yang menyusun naskah akademik tersebut, dalam hal RUU Cipta Kerja yakni Kementerian Koordinator Perekonomian.

Naskah akademik yang sudah disusun Kemenkoperek kemudian disebar ke kementerian terkait untuk dilakukan harmonisasi. Setelah harmonisasi rampung, naskah akademik itu dibaca oleh presiden sebelum akhirnya diserahkan kepada DPR.

Jika demikian, Presiden Jokowi sebenarnya masih punya cukup waktu dan otoritas untuk mengecek kembali draf RUU tersebut. Sayangnya, saat ditanya apakah presiden sudah membaca ulang draf terutama pasal bermasalah tersebut, Dini Purwono justru mengembalikan lagi ke Kemenkoperek.

“Kemenkoperek dalam hal ini sudah bekerja profesional ya. Mungkin karena keterbatasan waktu jadinya ada human error. Tapi ini yang terbaik yang sudah dilakukan Kemenkoperek sampai titik ini, yang mana memang belum final,” pungkas Dini.

Baca juga artikel terkait RUU CILAKA atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Abdul Aziz