Menuju konten utama

Cara agar Film Indonesia Berkualitas dan Laris di Bioskop?

Film Indonesia butuh riset dan ide-de baru untuk menghasilkan karya berkualitas.

Cara agar Film Indonesia Berkualitas dan Laris di Bioskop?
ilustrasi nonton bioskop. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Film merupakan salah satu Industri hiburan yang sangat diminati. Industri perfilman sendiri juga mengalami perubahan seiringnya kemajuan jaman.

Thomas Alva Edison (1847-1931) adalah seorang ilmuwan Amerika Serikat yang merupakan penemu lampu listrik dan fonograf (piringan hitam), pada tahun 1887. Ia pun terinspirasi untuk membuat alat untuk merekam dan membuat (memproduksi) gambar. Teknologi inilah yang menjadi awal pembuatan film.

Temuan ini makin lengkap setelah George Eastman pada 1884 menemukan pita film (seluloid) yang terbuat dari plastik tembus pandang. Berikutnya pada 1891 Eastman dibantu Hannibal Goodwin memperkenalkan satu rol film yang dapat dimasukkan ke dalam kamera pada siang hari.

Setelah itu alat tersebut dikembangkan oleh Lumiere bersaudara, menjadi sebuah alat bernama “sinematograf”. Pada awal penemuannya yang sederhana sinematograf berhasil merekam adegan adegan singkat. Seperti anak-anak berlarian, orang-orang berjalan dan hal-hal di sekeliling.

Pada perkembangannya, 28 Desember 1895, produksi film pertama kali ditampilkan ke publik berjudul Grand Cafe Boulevard dCapucines, Paris, Perancis. Peristiwa ini sekaligus menandai lahirnya bioskop. Perkembangan-perkembangan film berlanjut ke seluruh dunia. Alat-alat semakin diperbaharui membuat Industri perfilman menjadi sangat maju dan diminati publik.

Di era kekinian, pembuatan film sendiri memiliki teknis khusus sekaligus kreativitas yang tinggi untuk dapat mengolah sebuah gerakan-gerakan, mimik wajah serta faktor-faktor pendukung lainnya seperti sound, wardrobe agar membuat film semakin nyata dan menghipnotis penonton.

Film Indonesia Penuh Paradoks

Perkembangan film ini juga merambah ke Indonesia. Pada 1926 ketika Indonesia masih di bawah Hindia Belanda, muncul film pertama yakni "Loetong Kasaroeng", film ini menceritakan tentang legenda Sunda. Film bisu ini diproduksi oleh NV Java Company. Belakangan diproduksi ulang sebanyak 2 kali pada 1952 dan1983. Setelah itu film mulai mengalami permasalahan dan bergejolak hingga orde baru dan pasca reformasi (1998-2015).

Elvy Maria Manurung, dosen Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga punya perhatian lebih soal perkembangan film Indonesia ini. Dalam jurnalnya “ Creativity and Paradox: How The Indonesia movie Industry Can Survive “, Ely menyampaikan bahwa film-film produksi Indonesia menghasilkan paradoks kreativitas.

Paradok kreativitas menurut Elvy adalah kondisi saat film dianggap gagal ketika tidak menghasilkan keuntungan tinggi. Masalah ini dipicu oleh biaya produksi film yang tinggi, sehingga sebuah film "diharuskan" menghasilkan keuntungan. Jika tidak menguntungkan, maka film dianggap gagal. Elvy mencontohkan ada film-film berkualitas yang justru gagal secara komersiil, salah satunya adalah film berjudul "Siti".

Film ini merupakan salah satu film yang gagal distribusi secara komersial di Indonesia namun malah memperoleh penghargaan di kancah Internasional seperti Penghargan Arte di film Busan Film Festival, penghargaan bergengsi dari salah satu Rumah produksi di Prancis dan dinominasikan dalam Telluride Festival di Amerika Serikat.

Film itu hanya satu di antara 1.468 film yang menjadi obyek kajian dalam tahapan pertama penelitian Elvy. Dari keseluruhan film diambilah 20 film tahun 2015 hingga 2017 dengan syarat memiliki data lengkap untuk dimasukan ke kuadran pengelompokan.

Terdapat 4 kuadran; kuadran 1 menunjukan film yang sangat kreatif namun dari segi penonton tidak terlalu menguntungkan. Kuadran 2 dinilai cukup baik dan kreatif juga diterima di pasaran. Film di kuadran 3 menunjukkan film yang kurang kreatif dan juga tidak laku di pasaran. Kuadran 4 merupakan kategori film kurang kreatif namun berhasil menembusi pasar perfilman Indonesia.

Lalu tahapan kedua dalam penelitiannya, Elvy mewawancarai 253 penonton di 8 kota berbeda, mewawancarai pembuat film seperti sutradara, scripwritter, perancang seni dan beberapa aktor/ aktris serta dua pemilik bioskop XXI dan CGV. Setelah itu tahap ketiga adalah melakukan diskusi 2 kelompok organisasi yang berpengalaman dalam budaya dan film di Bandung. Tahap keempat meninjau kembali beberapa individu seperti sutradara, scripwritter untuk validasi data.

Dalam wawancara dengan beberapa produksi film, para ahli, penonton dan pemilik bioskop, Elvy menemukan bahwa keadaan film pasca reformasi kebanyakan telah mengatasi paradoks kreativitas. Film-film yang diproduksi di periode ini telah mengalami penetrasi pasar. Alhasil, film-film Indonesia pasca reformasi lebih cenderung untuk memenuhi selera pasar daripada mengedepankan kreativitas.

Padahal jika ingin menghasilkan film-film berkualitas harus berawal dari riset yang memadai. Kesimpulan ini didapatkan Elvy ketika melakukan wawancara bersama para sineas seperti Sheila Timoty, Joko Anwar, Riri Riza, Garin Nugroho, dan Chand Parwez.

Selain itu sebenarnya keterbatasan anggaran sebenarnya bukan alasan utama untuk menyurutkan para pembuat film dalam industri ini untuk berhenti berkreasi “ Kalau membuat film itu tidak boleh tanggung,-tanggung harus totalitas," ujar Elvy.

Ibu Elvy juga menambahkan berdasarkan hasil penelitiannya terdapat 6 faktor kunci utama untuk meminimalisir paradoks kreativitas yaitu;

1. Membuat alur cerita yang baru

2. Alur yang tepat, script dan story telling yang menarik

3. Penelitian atau research lapangan yang memadai

4. Sinematografi yang berkualitas tinggi

5. Strategi pemasaran yang efektif

6. Penggunaan aktor dan akrtis terkenal.

Oleh karena itu memproduksi sebuah film tidak selalu merupakan sebuah permainan, dengan kata lain produser dapat mengelola paradoks kreativitasnya secara efektif agar menghasilkan sebuah film yang memiliki nilai kreativitas tinggi namun juga berhasil menembus pasar perindustrian film.

“Film sendiri pastinya membutuhkan kreativitas, yang berarti out of the box menciptakan suatu yang baru, banyak film yang mengikuti alur dari film luar, memakai soundtrack dari luar itu dinamakan tidak kreatif” kata Elvy.

Baca juga artikel terkait SUPPLEMENT CONTENT atau tulisan lainnya dari Olivia Dona Putri

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Olivia Dona Putri
Editor: Addi M Idhom