Menuju konten utama

Candu Cinta Sama dengan Candu Obat-Obatan

Jika Anda terlampau menuntut kekasih dan sulit move on ketika putus, kemungkinan Anda mengalami candu cinta.

Candu Cinta Sama dengan Candu Obat-Obatan
Ilustrasi cyber stalking. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Though I battle blind

Love is a fate resigned

Memories mar my mind

Love is a fate resigned

Over futile odds

Laughed at by the gods

And now the final frame

Love is a losing game

Demikian cuplikan lirik lagu “Love is a Losing Game” yang dilantunkan Amy Winehouse. Tembang yang memenangi Ivor Novello Awards 2008 untuk kategori Best Song Musically and Lyrically itu memang terasa begitu personal bagi si penyanyi. Pengalaman cintanya tersirat dalam lirik lagu tersebut.

Winehouse disebut-sebut menulis lagu ini berdasarkan pengalamannya ditinggalkan Blake Fielder-Civil, mantan suami yang saat itu masih berstatus pacarnya. Saat menjalin intimasi dengan Winehouse, Civil sebenarnya sudah memiliki kekasih lain.

Civil merupakan orang yang memiliki pengaruh besar bagi kehidupan Winehouse. Dalam dokumenter bertajuk Amy (2015), tergambar betapa penyanyi yang mengakhiri nyawanya di usia 27 itu mencintai Civil, seolah tak ada hari yang ingin ia lewatkan tanpa kehadiran pasangannya.

Baca juga: Kutukan Meninggal di Usia 27

Ketika Civil memutuskan relasi dengan Winehouse untuk kembali ke kekasihnya yang terdahulu, sang penyanyi merasa begitu frustrasi. Tidak cukup sekali Winehouse mesti mengalami kegagalan cinta dengan Civil. Sekalipun mereka pada akhirnya menikah, kembali relasi Winehouse-Civil menemui jalan buntu. Tak pelak, perceraian dipilih dan meninggalkan depresi hebat bagi Winehouse.

Kendati cinta kerap kali dipandang sebagai hal yang positif, ada kalanya ia bersifat destruktif. Dalam kasus Winehouse, beberapa pihak menyebutnya mengalami candu cinta yang pada akhirnya membuatnya sulit melanjutkan hidup. Memang candu cinta ini tidak termasuk dalam kategori gangguan dalam DSM V—kitab suci pegangan para pakar psikologi. Meski demikian, candu cinta ini tetap dapat memicu perubahan perilaku yang mengganggu pola hidup sehari-hari.

Seorang pecandu cinta akan menghabiskan banyak waktu dan energi untuk orang yang disayanginya. Sering kali, mereka lebih mengutamakan pasangan dibanding dirinya sendiri sehingga macam-macam aspek dalam kehidupan mereka pun terbengkalai, demikian dikutip dari situs PsychCentral. Obsesi menjadi kata kunci dalam candu cinta ini.

Candu cinta tidak melulu ditujukan kepada pasangan. Bisa saja seseorang menjadi ketagihan mendapat cinta dari teman-temannya, anak-anaknya, figur panutan, atau bahkan bintang film yang tidak pernah mereka temui sekalipun.

Baca juga: Bahaya Erotomania dan Delusi Jatuh Cinta

Infografik Merindu mantan

Ada alasan mengapa seseorang menjadi pecandu cinta. Rekam jejak pernah ditinggalkan orangtua, misalnya. Bila seseorang pernah merasakan kekurangan kasih sayang orangtua saat masih kanak-kanak, bisa jadi hal tersebut membuatnya terus mencari validasi, cinta, dan koneksi yang tidak pernah dirasakannya dulu. Kurangnya kasih sayang pada masa perkembangan anak-anak bisa berdampak pada penilaian dirinya ketika dewasa.

Ketakutan akan ditinggalkan atau kengerian memiliki intimasi dengan orang lain adalah efek-efek lain dari pengalaman masa kecil tadi. Bagi seorang pecandu cinta, tidak jarang intensitas dalam hubungan dipahami secara salah kaprah sebagai intimasi karena saking besarnya keinginan mereka untuk divalidasi atau mempunyai koneksi.

Baca juga: Mengapa Kita Bisa Jatuh Cinta

Helen Fisher, antropolog biologi dan peneliti di The Kinsey Institute, menjelaskan gejala-gejala lain yang sering ditemukan pada pecandu cinta dalam Discover. Sikap kompulsif dalam mengontak pasangan, keinginan untuk mengorbankan diri, bahkan sampai melakukan hal-hal berisiko tinggi dan tidak pantas adalah beberapa di antaranya.

Jim Pfaus, profesor psikologi dari Concordia University, menyebut candu cinta tak ubahnya dengan candu obat-obatan. Seperti halnya pecandu obat-obatan, pecandu cinta pun bisa mengalami sakau ketika yang dicinta tak berperilaku sesuai harapannya. Fisher mengatakan frustrasi, cemas saat berpisah, menjadi cengeng, insomnia atau malah kelebihan tidur, kehilangan nafsu makan atau sebaliknya, mudah marah, serta selalu merasa kesepian adalah gejala-gejala pecandu cinta saat hasratnya tak dapat terlampiaskan.

Candu cinta kian parah ketika seseorang menemukan hal-hal terkait dengan pengalaman cintanya. Sebut saja acara, orang-orang, tempat, atau lagu tertentu yang mengingatkannya pada sang pujaan hati. Sekalipun hubungan telah lama berakhir, bukan berarti candu cinta berhenti begitu saja. Misalnya ketika seseorang bersua dengan mantan pacar tanpa sengaja, rasa candu itu bisa kembali muncul.

Ibarat pecandu alkohol yang sudah bertahun-tahun tak menyentuh vodka atau wiski, hasratnya bisa sekonyong-konyong menderas begitu sebotol minuman disuguhkan di depan matanya tanpa ada yang mengawasi, tanpa ada syarat apa pun. Cukup satu jabatan tangan, kontak mata, atau bahkan sekilas aroma tubuh sang mantan yang menyeruak dari balik kemejanya, rasa yang lama mati suri pun bisa bangkit lagi. Seseorang bisa kembali menjadi pecandu cinta.

Berkat kemajuan teknologi informasi saat ini, kondisi para pecandu cinta bisa menjadi kian buruk dengan dipermudahnya akses untuk mencari informasi pribadi orang-orang. Media sosial disebut sebagai salah satu hal yang membuat pecandu cinta sulit melepaskan obsesinya, khususnya dengan mantan kekasih.

Dalam studi Fisher et al. yang dipublikasikan di Journal of Neurophysiology tahun 2010, ditemukan bahwa partisipan menunjukkan aktivasi bagian otak yang berasosiasi dengan adiksi dan reward system ketika disuguhkan foto mantan pacar dan aktivitas otaknya dipindai. Unsur kimia di otak ini berhubungan dengan energi, fokus, dan perasaan senang.

Saat yang dicinta membalas perasaannya, suasana hati positif muncul. Namun, jika hal sebaliknya terjadi, dopamin akan mendorong orang untuk terus menerus mencari jalan memuaskan rasa cintanya dan membuatnya kembali bahagia sebagai reward. Inilah salah satu hal yang menjelaskan mengapa orang senang membuntuti atau stalking mantan pacar dan media sosial membuat mereka semakin mudah mendapatkan “reward-nya.

Begitu banyaknya orang yang menemukan hambatan dalam melupakan sang mantan, sebuah situs khusus pecandu mantan pun dibuat: Exaholics.com. Dilansir Time, situs tersebut memiliki 1.500 pengguna terdaftar dan 10.000 pengunjung per bulan. Di dalamnya terdapat fasilitas berbincang dengan pengguna lain dalam live chat room yang berfungsi sebagai ajang memberi dan menerima saran untuk melupakan mantan pacar.

Candu cinta bukan hanya bisa didasari alasan fisiologis. Terkait dengan paparan media saat ini, adalah hal yang sangat mungkin bila konstruksi sosial ambil andil dalam memperparah candu cinta. Kecenderungan untuk mengkomparasi dan mengafirmasi sekitar membuat orang merasa buruk bila tidak memiliki pasangan. Tengoklah cerita-cerita berakhir manis ala dongeng Disney dan komedi romantis Hollywood.

Atau bagaimana Instagram membuat gambaran pernikahan dirayakan beberapa level lebih tinggi dari masa sebelum media sosial ada. Bisa juga lirik bagaimana mayoritas masyarakat masih menanyakan “kapan menikah?” saban acara keluarga, reuni teman sekolah, atau acara-acara kasual lainnya digelar. Lajang menjadi suatu momok yang tak pelak, membuat sebagian orang selalu merasa butuh memiliki pasangan.

Baca juga:

Baik karena alasan fisiologis atau konstruksi sosial, kondisi candu cinta bukanlah hal yang tidak bisa dikendalikan oleh seseorang. Hati yang sudah kadung tertambat pada diri orang lain memang bisa menjadi perkara pelik. Namun, bukan berarti hal ini tak bisa ditanggulangi. Yang patut diingat, sebelum bisa mencinta yang lain dan memberi yang paling baik dari diri sendiri, seseorang perlu memenuhi dirinya sendiri dengan cinta yang tak kalah besar.

Bisa jadi Amy Winehouse alpa cara mencintai dirinya sehingga ia menjadi begitu tergantung terhadap Civil.

Baca juga artikel terkait CINTA atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani