Menuju konten utama

Can You Ever Forgive Me? Kisah Lee Israel dari Penulis Jadi Pemalsu

Lee Israel yang sempat terkenal, tapi kemudian memalsukan surat dan menjualnya untuk kepentingan pribadi.

Can You Ever Forgive Me? Kisah Lee Israel dari Penulis Jadi Pemalsu
Film can you ever forgive me. FOTO/imdb

tirto.id - Can You Ever Forgive Me? masuk dalam nominasi Best Adapted Screenplay (Film Adaptasi Terbaik) di Oscar 2019. Film ini mengisahkan tentang penulis Lee Israel yang sempat terkenal, tapi kemudian memalsukan surat dan menjualnya untuk kepentingan pribadi.

Lee Israel pernah meraih kesuksesan sebelumnya, melalui karya biografi tentang aktris Tallulah Bankhead pada 1972 dan jurnalis Dorothy Kilgallen pada 1979. Bukunya tentang Kilgallen masuk dalam daftar New York Times Best-Seller tahun 1980.

Selanjutnya, Israel menulis tentang biografi Estee Lauder pada saat bersamaan dengan Lauder yang mengeluarkan tulisan biografinya sendiri, sehingga membuat penjualan buku Israel menurun drastis. Keberhasilan Israel tampaknya tidak kembali lagi setelah buku terakhir tersebut.

Pecandu alkohol yang gagal ini berusaha memenuhi kebutuhan hidup dengan kerja serabutan, sampai kucing kesayangannya membutuhkan perawatan kesehatan, mendorong Israel ke aksi kriminal yang pertama.

Dikutip dari NPR, Israel mencari surat-surat berharga di perpustakaan dan membuat salinan dari surat-surat tersebut. Israel mengambil beberapa surat dari para artis dan penulis terkenal.

“[Kejahatan itu] terjadi secara bertahap, seperti kebanyakan kejahatan. Saya pergi ke perpustakaan dan ada banyak surat, yang harusnya tidak diletakkan di tempat yang minim pengawasan,” kata Israel pada NPR.

Tergoda dengan kesempatan, Israel mengambil beberapa surat dari komedian Fanny Brice ke dalam sepatunya dan keluar dari perpustakaan.

Dia menjual surat-surat tersebut dengan harga murah meriah pada masa itu, sebesar 40 dolar AS per lembar. Namun, harga itu cukup memenuhi sedikit kebutuhan mendesaknya, dan yang paling penting menginspirasinya untuk terus melakukan aksi tersebut untuk bertahan hidup.

“Ada sisa ruang yang cukup luas di bawah bagian ‘Salam, Fanny Brice’. Aku, dengan mesin ketikku menulis beberapa kalimat panas untuk meningkatkan isi pesan dan menaikkan harga,” katanya seperti dikutip Town and Country Magazine.

*Spoiler Alert*

Kemampuan menulis Israel dan menirukan gaya tulisan dan bahasa orang lain membuatnya dari hanya sekedar pengutil menjadi pemalsu. Pada kemudian hari, dia merobek kertas-kertas lawas dari koleksi buku tua di perpustakaan dan mengetikkan surat di atasnya dengan meniru gaya bahasa orang-orang yang hendak ia palsukan suratnya.

Israel banyak mencari sumber-sumber yang mengutip atau menerbitkan surat dari subjek-subjeknya. Dengan begitu, peniruannya hampir mendekati asli dan banyak agensi yang tidak menyadari hal tersebut.

Dia menirukan tanda tangan orang-orang terkenal tersebut. Masih menurut Town and Country Magazine, surat-suratnya sangat meyakinkan sampai-sampai dua dari surat-surat tersebut ditampilkan dalam The Letters of Noël Coward yang diterbitkan Alfred A. Knopf pada 2007, 10 tahun setelah Israel diputuskan bersalah karena tindak kriminalnya.

Dia menyebutkan saat menjual surat-surat palsunya tersebut, dia mengaku memiliki sepupu kolektor yang telah meninggal dan seluruh koleksi-koleksi berharganya terbengkalai dan Israel menjualnya agar bisa dirawat.

Tidak satupun dari penerbit-penerbit tersebut curiga akan keaslian surat-suratnya. Usahanya ini membuahkan hasil, dengan 50 sampai 100 dolar AS, yang hampir dalam setiap suratnya terdapat anekdot dan pendapat pribadi, menjadi sangat menarik di mata kolektor.

Lee Israel menyadari, menjual karya palsu akan sangat berisiko. Alih-alih menghentikan aksinya, dia justru pergi ke perpustakaan dan melihat arsip-arsip surat dari perpustakaan terkemuka, mempelajari surat-surat tersebut dan belajar membuat tiruan yang sempurna.

Kemudian dia pulang ke rumah, membuat replika. Setelah itu, dia mencuri versi asli suratnya dan meletakkan surat replikanya ke perpustakaan tersebut.

Salah seorang temannya menjual surat-surat asli tersebut secara rahasia kepada kolektor yang membayar mahal.

Akhirnya, melalui penyelidikan yang dilakukan oleh FBI, tindak kriminal Israel yang mencuri dan memalsukan surat-surat tersebut ketahuan dan dia dinyatakan bersalah karena konspirasi dan mengedarkan properti curian dalam penjualan antarnegara bagian pada 1993. Dia dijatuhi hukuman 6 bulan tahanan rumah dan 5 tahun masa percobaan.

Pada tahun 2008, Israel menerbitkan sebuah buku berjudul, “Can You Ever Forgive Me?” (Bisakah kau memaafkanku?) sebuah buku memoar mengenai hidupnya.

The Guardian menyebut untuk tidak terkecoh dengan judul buku tersebut, yang dianggap sebagai permohonan maaf Israel atas kejahatannya (dalam film, Israel diceritakan sebagai seorang yang tidak pernah mengucapkan maaf, terima kasih, dan tolong kepada siapapun).

Kutipan kalimat tersebut adalah penggalan kalimat yang dikarangnya untuk surat palsu Dorothy Parker. Baik Dorothy Parker maupun Lee Israel, keduanya dikenal tidak pernah mengucapkan kata ‘maaf’. Ungkapan tersebut dianggap begitu berani, untuk keduanya.

Era pra-komputer 1990-an adalah era di mana surat-surat pribadi dari orang-orang terkenal menjadi komoditi dan koleksi prestisius, yang akhirnya membuat Israel mengembangkan ide memalsukan surat-surat tersebut.

Dalam memoarnya, Israel menyebut pemalsuan surat-suratnya adalah karya terbaiknya sepanjang masa. Bahkan, ketika divonis bersalah dia menyampaikan argumen, pemalsuannya cukup bagus sehingga orang-orang percaya, lalu dimana bahayanya hal itu? Pada beberapa kesempatan, dia menyampaikan karyanya lebih baik daripada barang asli.

“Ini adalah pengecut yang lebih baik daripada ‘pengecut’. Pengecut tidak harus jadi [hanya] pengecut, tapi 1,5 kali lebih baik daripada pengecut."

Kisah hidup Lee Israel dalam memoar tersebut diabadikan dalam film dengan judul yang sama. Kedua versi tersebut dibuka dengan surat palsu Dorothy Parker-nya.

Mellisa McCarthy memerankan Lee Israel dan Richard E. Grant sebagai Jack Hock, teman minum Israel yang akhirnya jadi partner kriminalnya yang membantu Israel menjual karya palsunya.

Dalam memoar, Israel jarang sekali menceritakan temannya, ataupun manusia lainnya. dia mengisahkan hidupnya adalah seputar dirinya, karyanya, dan kucingnya. Israel biasa bekerja serabutan untuk waktu yang lama sampai kucingnya sakit serius dan butuh perawatan.

Dalam film juga dikisahkan bagaimana dilema seorang Israel ketika kucing kesayangannya sakit yang kemudian mendorongnya melakukan tindak kriminal.

Setelah divonis hukum, namanya dicantumkan dalam setiap surat palsunya, yang bisa menambah nilai barang tersebut.

“Menarik bahwa beberapa surat itu beredar di pasaran sebagai pemalsuan Lee Israel,” katanya kepada NPR. “Karyaku mendapatkan perhatian dan ulasan hebat, orang-orang suka dengan surat-surat itu. Lagipula, [surat-surat itu] dapat dijual, nampaknya."

Baca juga artikel terkait OSCAR 2019 atau tulisan lainnya dari Anggit Setiani Dayana

tirto.id - Film
Penulis: Anggit Setiani Dayana
Editor: Dipna Videlia Putsanra