Menuju konten utama

Calon Independen Pilkada 2020: Antara Kuda Hitam atau Boneka

Ada puluhan calon independen di Pilkada 2020. Mereka bisa saja jadi representasi masyarakat melawan oligarki; tapi sebaliknya, bisa juga dianggap boneka.

Petugas kepolisian berjaga di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (3/9/2020). ANTARA FOTO/Abriawan Abhe/aww.

tirto.id - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 tak hanya bakal diwarnai kandidat yang diusung partai politik. Puluhan kandidat berstatus perseorangan atau maju dari jalur independen.

Menurut laman Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebanyak 68 calon kepala daerah telah mendaftarkan diri melalui jalur independen. Salah satunya Faida, Bupati Jember, Jawa Timur. Meski pada Pilkada 2016 lalu Faida sebenarnya didukung Partai Nasdem, PDIP, Hanura, dan PAN, tetapi ia kini maju bersama pengusaha Dwi Arya Nugraha.

Calon kepala daerah independen juga terdapat di Solo Jawa Tengah, yakni Bagyo Wahyono-FX Supardjo (Bajo). Mereka hadir untuk menantang Gibran Rakabuming Raka dan Teguh Prakosa yang diusung PDIP.

Menurut pendiri lembaga survei KedaiKOPI Hendri Satrio, semua calon independen bisa menjadi 'kuda hitam'--tidak diperhitungkan tapi bukan tak mungkin bisa memenangkan kompetisi atau setidaknya membuat kejutan.

"Semua calon independen bisa menjadi kuda hitam. Mereka hadir sebagai pilihan dari rakyat. Maka tergantung bagaimana usaha mereka kerja keras untuk meyakinkan hati rakyat," kata dia kepada reporter Tirto, Selasa (8/9/2020).

Menurutnya, calon independen berpeluang untuk itu karena ia dapat memikat hati masyarakat yang barangkali muak dengan petahana atau calon lain yang diusung partai politik, yang kerap kali kepentingannya bertolak belakang dengan masyarakat. Ia bisa jadi representasi mereka yang muak terhadap oligarki.

Status independen memungkinkan mereka untuk tidak bertransaksi dengan partai, baik bagi-bagi jabatan, uang, dan sejenisnya. "Calon independen terbebas dari bohir dan rente," katanya.

Di sisi lain, ini juga bisa membuat parpol di daerah pemilihan memperbaiki diri mengapa tak mendapatkan kepercayaan.

Kemenangan calon independen pernah terjadi di Pilkada Bukittinggi tahun 2015. Pasangan Ramlan Nurmatias dan Irwandi terpilih sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota setelah berhasil mengalahkan calon petahana Ismet Amzis-Zulbahri.

Tentu saja melawan koalisi partai yang punya jaringan hingga tingkat terendah tidak mudah. Bahkan dalam kasus Bupati Jember Faida, dia dimakzulkan oleh seluruh DPRD Kabupaten Jember--yang merupakan kader partai-partai--melalui sidang paripurna Hak Menyatakan Pendapat (HMP), Rabu (22/7/2020), setelah memutuskan untuk maju sebagai calon independen.

Calon independen Bagyo-Supardjo di Solo juga harus melawan Gibran-Teguh yang didukung oleh mayoritas partai pemilik kursi di DPRD.

Hendri mengatakan fenomena koalisi gemuk seperti ini memang sering terjadi, termasuk untuk melawan calon independen yang di atas kertas sebenarnya tidak terlalu diuntungkan.

Dia menilai koalisi gemuk membuktikan partai politik tidak memiliki kader untuk diusung menjadi kepala daerah. Partai politik juga memperhitungkan untung rugi jika mengusung kader sendiri. Apabila diperkirakan akan kalah, lebih baik berkoalisi dengan partai yang jagoannya berpotensi menjadi pemenang.

"Jadi parpol mencari aman, profit. Daripada kalah, mending gue ikut saja yang menang. Susah kalau parpol tidak punya jiwa petarung," katanya.

Boneka?

Bertolak belakang dengan semua kelebihannya, calon independen juga bisa saja hanya dianggap 'boneka' oleh masyarakat. Boneka di sini maksudnya adalah mereka sengaja 'dimajukan' tanpa niat menang sama sekali dan sebatas agar kandidat yang diusung oleh koalisi partai tidak melawan kotak kosong.

"Maka calon independen harus bekerja keras untuk membuktikan bahwa mereka bukan boneka," katanya.

Hendri bilang kepentingan 'memajukan' calon independen boneka adalah karena mereka lebih gampang dilawan ketimbang kotak kosong. 'Kemenangan' kotak kosong pernah terjadi di Pilkada Kota Makassar. Kotak kosong menang atas pasangan Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu).

Tudingan tersebut sempat dialamatkan kepada calon independen di Solo, yang segera disanggah Bagyo Wahyono. "Bajo bisa dipastikan bukan hasil setting-an dan boneka," kata Bagyo, dikutip dari Antara, Senin (7/9/2020).

Menurutnya, tak mungkin mereka hanya boneka karena jelas-jelas berupaya keras sampai pada tahap ini. Bajo telah mengumpulkan KTP-elektronik dan verifikasi faktual pertama dan kedua kurang lebih satu tahun.

Baca juga artikel terkait CALON INDEPENDEN atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Politik
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino