Menuju konten utama

Cacat Prosedur, Apa Beda Vaksin Terawan dengan Praktik Dukun?

Vaksin Nusantara unggulan Terawan: berbuih klaim, cacat prosedur.

Ilustrasi Dukun Santet. foto/Istockphoto

tirto.id - Pada awal 1990-an, sekelompok kecil orang yang tergabung dalam "penyangkal AIDS", terang-terangan menentang konsensus ilmuwan yang menyatakan bahwa Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrom (AIDS). Para penyangkal itu enggan mengaitkan AIDS dengan HIV lantaran, merujuk publikasi paling awal kemunculan penyakit ini (termuat dalam buletin kesehatan berjudul Morbidity and Mortality Weekly Report, Juli 1981), AIDS dianggap sebagai bagian dari penyakit Pneumonia pneumocystis, varian pneumonia yang disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii, jamur yang umum ditemukan sehingga dinilai wajar menjangkiti manusia. Orang yang terinfeksi akan baik-baik saja jika punya sistem imun yang baik.

Masalahnya, buletin yang menjadi rujukan kaum penyangkal HIV adalah publikasi usang. Sebagaimana ditulis Carl Zimmer dalam A Planet of Viruses (2011), pada awal dekade 1980-an ilmuwan memang belum mengetahui secara pasti apa itu AIDS dan penyebabnya. Namun, ilmuwan yakin bahwa AIDS sangat tidak masuk akal jika hanya dikaitkan dengan P. jirovecii karena penyakit ini lebih berbahaya dibandingkan pneumonia. Barulah pada 1983, melalui kerja ilmiah ilmuwan-ilmuwan Perancis, AIDS diketahui bukan disebabkan oleh P. jirovecii, melainkan HIV.

Nahas, merujuk buku The Death of Exepertise: The Campaign against Established Knowledge and Why It Matters (2017) yang ditulis Tom Nichols, teori ngawur soal AIDS dan HIV menyebar secara massif. Thabo Mbeki, mantan presiden Afrika Selatan, bahkan percaya teori ini. Bagi Mbeki, AIDS tidaklah disebabkan oleh virus melainkan "faktor-faktor lain" seperti kurang gizi dan rekam jejak kondisi kesehatan. Walhasil, tatkala AIDS menyebar di Afrika Selatan, Mbeki menolak bantuan obat-obatan guna memerangi HIV. Hasilnya: nyawa 300.000 penduduk melayang.

Mbeki, bagi Nichols, adalah contoh sosok paling menggelikan dari kecenderungan yang kini semakin menguat di tengah masyarakat: ramai-ramai menyangkal sains dan ilmuwan.

Gagah-gagahan Vaksin Nusantara

Sains tentu saja berbeda dengan agama. Pada dasarnya, agama berangkat dari kepercayaan atau imam. Sains sebaliknya: ia berdiri di atas keraguan.

Yang wajib diingat, keraguan dalam sains tidak bisa mentah-mentah didefinisikan sebagai "tidak percaya" atau sikap "menentang" tanpa bukti. Sebagaimana ditulis Paul Thagard dalam studi berjudul "What is Doubt and When is it Reasonable" (Canadian Journal of Philosophy Vol. 30 2014), "keraguan bukan soal ketidakpercayaan alih-alih pemantik upaya mencapai keyakinan". Sains, singkat kata, merupakan kerja-kerja untuk mencari bukti yang dilakukan oleh ilmuwan dalam bidangnya masing-masing guna mengungkap kebenaran (evidence-based). Hasil dari proses pencarian bukti ini perlu disebarluaskan melalui publikasi ilmiah untuk memperoleh "keraguan lanjutan" dari komunitas ilmuwan. Hasil penelitian bisa diperkuat oleh penelitian lain, digugurkan, atau malah membuka area riset baru.

Jauh sebelum SARS-CoV-2 merebak, misalnya, selama bertahun-tahun tim ilmuwan dari Cina menjelajahi Asia Selatan untuk mencari kelelawar. Kala itu, sebagaimana ditulis Joby Warrick untuk Washington Post, pencarian kelelawar tersebut bertujuan membuktikan kelelawar sebagai biang keladi Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Dan melalui publikasi yang dimuat dalam jurnal Science edisi 310 (2005) berjudul “Bats Are Natural Reservoirs of SARS-Like Coronaviruses", ilmuwan Cina menyatakan bahwa kelelawar memang menjadi penampung alami berbagai penyakit zoonosis (penyakit yang menular dari hewan ke manusia). Kelelawar ladam (Rhinolophidae), yang tinggal di gua-gua di Provinsi Yunnan, Cina, merupakan aktor di balik kemunculan SARS.

Vaksin, sebagai buah dari kerja sains, juga melalui proses ini.

Tatkala SARS-CoV-2 muncul dan sukses memporak-porandakan dunia, para ilmuwan bergegas menemukan vaksin untuk menghentikannya. Proses pencarian vaksin COVID-19 dimulai dengan keberhasilan Cina pada 11-12 Januari 2020 memetakan genome virus SARS-CoV-2. Sebagaimana kerja para peneliti SARS, Cina lantas menyebarluaskan temuannya hingga ilmuwan Perancis pada Institut Pasteur mengkonfirmasi temuan tersebut tepat 17 hari berselang. Melalui Global Initiative on Sharing All Influenza Data (GISAID), genome tersebut disebarluaskan.

Hingga akhir 2020 lalu ada lebih dari 200 kandidat vaksin SARS-CoV-2. Dari 200 kandidat vaksin ini dihasilkan lebih dari 50 kandidat yang akhirnya memasuki tahap uji klinis pada manusia. Akhirnya Pfizer/BioNTech, Gamaleya, Moderna, AstraZeneca, Sinopharm, dan Sinovac mengumumkan bahwa mereka telah berhasil menemukan vaksin. Lagi-lagi, sebagaimana kerja pencarian aktor SARS ataupun genome SARS-CoV-2, klaim keberhasilan lembaga-lembaga tersebut pun dipublikasikan. Pfizer/BioNTech, misalnya, melalui "Safety and Efficacy of the BNT162b2 mRNA Covid-19 Vaccine" (publikasi tentang uji klinis tahap ke-3 dan terbit pada The New England Journal of Medicine, 31 Desember 2020), menyatakan bahwa vaksin Corona buatan mereka memiliki efikasi sebesar 95 persen--lengkap dengan deskripsi mendalam tentang vaksin ini.

INFOGRAFIK Tanggapan Terawan Terkait Corona

INFOGRAFIK Tanggapan Terawan Terkait Corona

Ya, hingga saat ini vaksin-vaksin SARS-CoV-2 yang diproduksi lembaga-lembaga asal Cina memang belum mempublikasikan hasil uji klinis tahap ke-3 yang berguna untuk diperiksa para ahli di seluruh dunia untuk mencapai "kebenaran mutlak" vaksin ini. Namun, vaksin asal Cina telah mempublikasikan uji klinis tahap ke-2, dan merujuk laporan yang ditulis Chris Baraniuk, publikasi tersebut memberikan gambaran bagaimana vaksin "made in China" bekerja. CoronaVac, nama vaksin yang dibuat Sinovac dan telah disebarluaskan di Indonesia, misalnya, diciptakan melalui virus SARS-CoV-2 yang telah dikerdilkan--proses tradisional dalam pembuatan vaksin--yang berbeda dengan bagaimana Pfizer/BioNTech membuat vaksin, yakni dengan memodifikasi RNA milik SARS-CoV-2.

Hasil uji klinis tahap ketiga vaksin-vaksin Cina masih berada di tahap klaim negara-negara yang menggunakannya. Turki, Brazil, dan Indonesia--negara-negara yang menggunakan vaksin CoronaVac--misalnya, menyebut bahwa CoronaVac memiliki efikasi sebesar 91,25 persen, 78 persen (lalu diubah menjadi 50,4 persen), dan 65 persen.

Meskipun ketiadaan hasil uji klinis tahap ketiga sangat disayangkan, vaksin-vaksin asal Cina dapat digunakan dalam kondisi genting karena proses penciptaannya tak melanggar prosedur sains. Studi penemuan genome hingga hasil uji klinis tahap kedua dapat dibaca siapapun--artinya, ia terbuka untuk dikembangkan lebih lanjut atau malah disanggah dan ditunjukkan kesalahannya. Terlebih, Sinovac telah memiliki reputasi cukup baik dalam riset pembuatan vaksin.

Ironisnya, di tengah banyaknya pilihan vaksin untuk menghentikan SARS-CoV-2 saat ini, ada saja kalangan yang gagah-gagahan menciptakan vaksin dengan melangkahi proses-proses pembuktian ilmiah. "Vaksin Nusantara" yang digagas Terawan Agus Putranto, menteri pecatan Presiden Joko Widodo, adalah biang kerok semua gagah-gagahan ini.

Digagas ketika Terawan menjabat Menteri Kesehatan, Vaksin Nusantara dibuat berdasarkan"resep" bernama AV-COVID-19 yang dikembangkan AIVITA Biomedical, sebuah perusahaan farmasi AS. Cara kerja AV-COVID-19 berbeda dari CoronaVac atapun Pfizer/BioNTech. Alih-alih menggunakan teknik tradisional seperti CoronaVac ataupun memodifikasi RNA ala Pfizer/BioNTech, AV-COVID-19 diyakini dapat membasmi SARS-CoV-2 dengan memanipulasi sel dendritik--sel penyaji antigen (juga dikenal sebagai sel aksesori) dari sistem kekebalan mamalia. Proses manipulasi sel dendritik ini dilakukan dengan mengambil 50 mililiter darah dari orang yang hendak divaksin, di mana unsur monosit (bagian dari sel darah putih) kemudiaan diisolasi dan diinkubasi dengan protein S milik SARS-CoV-2 guna menghasilkan 9 hingga 25 urutan peptida asam amino (amino acid peptide). Usai diproses ini dilakukan, darah pun disuntikkan kembali.

Tidak ada rincian lebih jauh tentang AV-COVID-19 karena situs resmi pengembang vaksin ini, AIVITA, tak bisa diakses. Dalam pencarian di Google Scholar, tidak ada informasi menggembirakan tentang vaksin ini.

Melalui surat Keputusan Menkes nomor HK.01.07/MENKES/11176/2020 tentang Tim Penelitian Uji Klinis Vaksin Sel Dendritik SARS-CoV-2 pada 18 Desember 2020 yang ditandatangani Terawan empat hari sebelum dipecat, RSUP Dr. Kariadi, RSUP Dr. Sardjito, dan RSUD Dr. Moewardi, serta Fakultas Kedokteran pada Universitas Gadjah Mada, Universitas Diponegoro, dan Universitas Sebelas Maret ditunjuk untuk melakukan uji klinis AV-COVID-19 alias vaksin Nusantara.

Dalam informasi yang dimuat ClinicalTrial.gov, situs di bawah kendali U.S. National Library of Medicine (catatan: pemerintah AS tidak bertanggungjawab atas informasi apapun di situs ini), uji klinis tahap pertama AV-COVID-19 hanya dilakukan di Indonesia dan dimulai pada 7 Desember 2020 lalu dengan mengikutsertakan 27 partisipan. Masalahnya, meskipun mengklaim bahwa uji klinis telah berakhir pada 15 Januari lalu, tidak ada studi yang dipublikasikan.

Uji klinis Vaksin Nusantara a.k.a. AV-COVID-19 menunjukkan hasil yang simpang-siur. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan perbedaan data hasil uji klinis (anak buah Terawan menyajikan data berbeda-beda, untuk BPOM dan untuk DPR RI). Masalah perbedaan data juga diiringi oleh fakta bahwa rumah sakit/kampus yang ditunjuk Terawan mengundurkan diri--atau menyatakan namanya dicatut--dari eksperimen Vaksin Nusantara. Dengan semua ketidakjelasan itu, AV-COVID-19 atau Vaksin Nusantara lebih pas dianggap sebagai proyek gagah-gagahan semata.

Kita sangat familiar dengan praktik medis yang diterapkan tanpa melalui uji ilmiah alih-alih mengandalkan kesaksian orang-orang yang konon berhasil sembuh. Istilah halus dari praktik itu adalah "pengobatan alternatif". Orang Inggris menyebutnya "quackery". Anda bisa menyebut para praktisinya "tukang obat", "snake oil salesman" dan seterusnya.

Dalam jenjang bahasa Indonesia yang dapat dimengerti anak usia sekolah dasar hingga lansia: perdukunan.

Baca juga artikel terkait VAKSIN NUSANTARA atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Windu Jusuf