Menuju konten utama

Masih Relevankah RT/RW di Jakarta?

Melibatkan RT/RW sering bikin ribet, bukan memudahkan, dalam mengurus administrasi kependudukan warga.

Masih Relevankah RT/RW di Jakarta?
Kehadiran RT/RW di sebagian lingkungan Jakarta cuma jadi figuran dalam birokrasi pemerintahan. tirto/Teguh Sabit Purnomo

tirto.id - Pengalaman buruk bisa menjadi inspirasi seseorang dalam membuat kebijakan, termasuk yang dialami Basuki Tjahaja Purnama. Ia memiliki pengalaman kurang sedap dengan RT/RW yang sulit ditemui saat memperpanjang Kartu Tanda Penduduk.

Pria kelahiran Belitung Timur ini mengisahkan satu pagi ia mendatangi rumah RT/RW untuk meminta surat pengantar perpanjangan KTP, tapi hasilnya nihil. Ketua RT/RW belum bangun tidur. Sepulang kerja, ia kembali menghampiri rumah ketua RT/RW tetapi enggan dilayani dengan alasan sedang makan malam. Ahok akhirnya harus memakai jasa hansip atau perantara untuk mengurus perpanjangan KTP.

Saat ia berkantor di Balai Kota, Ahok menawarkan gagasan tidak melibatkan RT/RW dalam mengurus perkara administratif seperti KTP elektronik. "Sekarang kalau Anda mau nyambung KTP, asal terdapat semua data di e-KTP, enggak perlu lagi rekomendasi RT/RW. Kami potong semua," kata Ahok, pertengahan 2016.

Memanglah, semakin terintegrasi sistem birokrasi yang gemuk di Indonesia ke dalam basis data elektronik, peran ketua RT/RW tak bisa sama lagi seperti zaman Orde Baru. Berdasarkan surat Kementerian Dalam Negeri 471/1767/SJ pada 2016 tentang percepatan penerbitan KTP elektronik dan akta kelahiran, terdapat poin penghapusan surat rekomendasi dari RT/RW.

Salah satu poin dari surat Kemendagri itu menyebutkan bahwa "seiring semakin tertata database kependudukan di seluruh Indonesia ... dalam pelayanan perekaman, penerbitan, dan pengganti KTP elektronik yang rusak ... perlu penyederhanaan prosedur, yaitu cukup menunjukkan fotokopi kartu keluarga, tanpa surat pengantar dari RT, RW, dan kelurahan/kecamatan."

Setelah dipertegas aturan Kemendagri tahun 2016, Badan Penelitian dan Pengembangan melakukan riset, antara Maret hingga pertengahan Juni 2016, di beberapa wilayah termasuk di Kabupaten Bandung dan Purwakarta, Denpasar, Lombok, dan Balikpapan. Laporan riset setebal 168 halaman ini menyebut ada perbedaan cara pandang antara beberapa kebijakan Kemendagri dan petugas pelaksana Dinas Dukcapil kota dan aparat kelurahan/kecamatan. Sebagian besar petugas ini memandang aturan lama soal pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil masih berlaku.

Laporan ini menyebut secara substansi peran RT/RW dan kelurahan/kecamatan memberikan surat pengantar menangani kependudukan "tidak relevan" lagi.

Pelbagai regulasi terbaru mulai memangkas keterlibatan RT/RW menangani urusan administrasi penduduk seperti e-KTP, akta kelahiran, dan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK). Warga bisa langsung ke Pelayanan Terpadu Satu Pintu di kelurahan.

Selain itu warga punya akses melaporkan pelbagai masalah pelayanan publik lewat perangkat teknologi, misalnya aplikasi Qlue di Jakarta. Warga bisa menyampaikan keluhan soal lampu jalan yang rusak, got mampet, jalan berlubang, atau sampah yang menumpuk.

Praktik di Lapangan

Meski ada regulasi yang memangkas peran RT/RW untuk urusan kependudukan itu, toh dalam praktiknya warga tetap saja diminta untuk melampirkan surat keterangan atau pengantar dari RT/RW setempat. Misalnya Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Jakarta Barat yang mewajibkan warga menyertakan surat pengantar dari RT/RW, Kartu Keluarga, dan pas foto.

Nurdayat, Ketua RT 01/RW 07 Kelurahan Sukabumi Utara, Jakarta Barat, menyebutkan warga harus meminta surat pengantar jika mengurus e-KTP untuk menjamin warga tersebut adalah "orang baik."

Surat pengantar itu, katanya, untuk mengantisipasi "ada teroris."

Ketua RT lain yang saya temui di Kelurahan Jati padang, Rawa Barat, dan Sukabumi Utara pun menerapkan prinsip serupa. Jika ada warga yang mengabaikan surat pengantar, kelurahan bakal menolak pembuatan e-KTP, mereka berkata.

Infografik HL RT RW Jakarta

Namun melibatkan peran RT/RW kerapkali bikin ribet, bukan memudahkan, di sebuah kota sebesar dan sesibuk Jakarta. Sangat sulit untuk bertemu dengan RT/RW. Hambatan dan alasannya macam-macam, dari ketua RT/RW sedang pergi ke kantor atau pasar, waktunya tidak pas karena sedang tidur siang atau mereka tengah mengantar anak sekolah atau kerja. Ini saya alami ketika pengin bertemu dengan ketua RT/RW di Kelurahan Rawa Barat (Kebayoran Baru), Kelurahan Sukabumi Utara (Kebon Jeruk), dan Kelurahan Jati Padang (Pasar Minggu).

Mau tak mau, lantaran sama-sama sibuk pada saat hari kerja atau malas karena macet, misalnya, orang memakai perantara untuk mengurus administrasi kependudukan.

Imam, Ketua RT 03/RW07 Kelurahan Sukabumi Utara, mengatakan bila ada warga tak sempat mengurus surat-surat administrasi di kelurahan, ia bisa membantunya asalkan ada imbalan "uang transportasi seikhlasnya".

"Masak RT jalan ke kelurahan enggak ada uang transport?" katanya. Ini praktik lumrah, ia menambahkan.

"Praktik lumrah" macam itulah yang disebut Ahok, saat menjabat gubernur sejak 2015, disebut "pungutan liar". Ahok juga mengklaim sering mendengar pengaduan warga terhadap perilaku "oknum RT/RW". Contohnya, kata Ahok, "oknum RT/RW di Jakarta Barat" meminta uang Rp1 juta kepada PKL. Ada juga yang meminta uang saat ada warga mau buka izin usaha toko dan uang parkiran.

"Ini bukan cerita omong kosong," tambah Ahok.

Masih Relevankah RT/RW di Jakarta?

Sebagai representasi pemerintahan provinsi di tengah-tengah masyarakat, para ketua RT/RW punya peran seperti pemeliharaan keamanan, ketertiban dan kerukunan antarwarga, serta penggerak gotong royong dan partisipasi masyarakat.

Namun, pada sebagian lingkungan di Jakarta, peran RT/RW seperti itu sangat mungkin tumpul. Misalnya, pemeliharaan keamanan saat krisis moneter 1997-1998 di Kebayoran Baru, sebuah lingkungan elite dan lama di Jakarta Selatan. Evie Sitompul, Ketua RT 01/RW 03, Kelurahan Rawa Barat, menceritakan saat itu adik kandungnya, yang menjadi ketua RT, dipanggil tentara dan diminta menjaga keamanan di wilayah kompleks masing-masing.

"Warga diminta ikut siskamling tetapi enggak ada yang datang, cuma kirim satpam. Di sini langka kalau acara begitu," kata Evie.

"Saya sebagai Ketua RT enggak pernah kerja bakti. Mana mau orang sini kerja bakti? Krismon saja dikirim satpam, apalagi sekarang," katanya.

Endang Kosasih, Ketua RT 07/RW 05 Kelurahan Jati Padang, berkata mayoritas warga di lingkungannya berpendidikan tinggi dan bekerja. Saat rapat RT, mereka sulit dikumpulkan.

Begitupun cerita Habsari Kupsurwahati, Ketua RT 03/RW 03 Kelurahan Rawa Barat, yang mengatakan di lingkungannya cuma ada ada rapat RW, sehingga "tidak heran" bila antar-tetangga pun tidak saling kenal.

"Saya terserah kalau RT/RW dihapus, enggak masalah. Malah lebih enak. Masalahnya, bisa enggak kelurahan melayani warga?" ujar Habsari.

Baca juga artikel terkait DANA OPERASIONAL RTRW atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Politik
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam