Menuju konten utama

Buzzer Ahok Kewalahan Hadapi Isu 'Al-Maidah'

Para pendukung Ahok di media sosial terpukul oleh gencarnya isu penodaan agama yang menjegal sang gubernur petahana Jakarta.

Buzzer Ahok Kewalahan Hadapi Isu 'Al-Maidah'
Puluhan ribu massa dari Front Pembela Islam (FPI) dan sejumlah massa dari berbagai ormas lainnya menggelar aksi menolak Ahok di ruas di sekitar Balaikota Jakarta, Jum'at, (14/10). TIRTO/Andrey Gromico

tirto.id - Dian Paramita sesenggukan di kamarnya. Pandangannya tidak lepas dari layar iPhone yang memutar video pidato kekalahan Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama. Tangisnya mereda sebentar setelah video usai, lalu kembali mendera ketika membaca berita kekalahan sang jagoan di Pilkada DKI Jakarta. Dalam hasil cepat lembaga-lembaga survei, Ahok terpaut jauh dengan pesaingnya, Anies Baswedan, selisihnya di atas 5 persen.

“Kemarin itu itu langit gelap, hujan deras, sendiri juga di apartemen, jadi perpaduan yang pas, menangislah aku semalaman,” kata Paramita kepada saya, Kamis lalu.

Mimit, sapaan Dian Paramita, adalah pendukung Ahok yang punya pengaruh di media sosial. Dalam Pilkada yang berjalan selama enam bulan terakhir, ia kerapkali mengampanyekan hasil kerja Ahok di Jakarta. Ia pernah seharian mengikuti kegiatan Ahok dan menulis pengalaman itu di blognya. Tak lupa diselipi swafoto makan bareng Ahok.

Aktivitas Mimit mengampanyekan Ahok di media sosial bermula dari pertemuan pertama mereka dalam satu jamuan makan malam di kediaman Ahok, Maret 2016. “Pertemuan itu hanya ngobrol saja, Pak Ahok tidak minta didukung. Ini kesadaran saya sendiri mendukung, karena saya tahu Pak Ahok itu orang baik, yang lebih memilih bekerja sebagai cara kampanye."

Sejak itu, ia mulai rajin melawan balik isu-isu tak sedap tentang Ahok yang muncul di media sosial. Mimit pun harus mempelajari soal penggusuran, reklamasi, hingga penistaan agama, lalu menyiapkan serangan balik di media sosial.

Hal macam ini tidak hanya dilakukan oleh Mimit. Ada banyak influencer yang juga melakukannya. Namun mereka, termasuk Mimit, menolak disebut buzzer, meski sejatinya mereka melakukan kerja-kerja buzzer.

“Kalau buzzer itu dibayar, kami itu sukarela,” kata Mimit yang punya akun Twitter @dianparamita (34,1 ribu pengikut per 21 April).

Joko Anwar, sutradara film yang juga punya pengaruh di media sosial, turut bergerak sebagaimana Mimit. Lewat akun twitternya @jokoanwar (1,29 juta pengikut per 21 April), ia sering mempromosikan Ahok sebagai calon gubernur DKI Jakarta yang ia bilang sudah terbukti bekerja nyata.

Contohnya, pada 16 April lalu, ia mencuit: “Udah terdaftar buat nyoblos? Cek yok sekarang, temen-temen. Biar bisa nyoblos Ahok Djarot. Pertahankan keberagaman.”

Pada 18 April, Joko Anwar mengajak warga Jakarta untuk menggunakan hak pilihnya. “Asaaall kita semua ke TPS. Amiinn... #BesokGueAhok”

Joko juga kerap meretwit informasi dari akun-akun pendukung Ahok lain seperti Teman Ahok dan media center Ahok-Djarot. “Itu cara yang secara pribadi bisa saya lakukan di tengah kesibukan pekerjaan saya,” kata Joko kepada saya.

Pasukan Siber Jasmev

Selain influencer seperti Mimit dan Joko, Tim Ahok-Djarot juga memiliki pasukan khusus yang bekerja di dunia maya. Pasukan itu dinamai Jakarta Ahok Social Media Volunteers (Jasmev). (Baca: Adu Strategi Pasukan Medsos Cagub DKI Jakarta)

Hariadhi, penggiat Jasmev, mengklaim sampai pencoblosan putaran kedua, mereka memiliki 200 ribu pasukan sukarela yang gentayangan di dunia maya.

Para sukarelawan ini ditampung dalam grup-grup WhatsApp berdasarkan wilayah. Di dalam grup ini mereka saling berbagi informasi dan berdiskusi bagaimana mengatur materi kampanye di media sosial, baik Facebook maupun Twitter.

Model kampanye yang sering mereka lakukan adalah menunjukkan klaim hasil kerja nyata Ahok melalui foto, video, dan cerita. “Contohnya sungai, kita foto before dan after. Dulu kotor, setelah Ahok jadi gubernur, bersih,” ujarnya.

Cara lain dengan mengenalkan program-program Ahok kepada masyarakat lewat sentuhan poster digital dengan desain menarik dan mudah dipahami. Mereka bekerja dengan bebas memilih isu yang dianggap menarik.

Namun, mereka juga melawan balik isu-isu yang menyudutkan Ahok. Misalnya isu penggusuran di Kalijodo, lokasi prostitusi di Jakarta Barat, Jasmev melawan isu itu dengan mengunggah foto dan video pemandangan Kalijodo yang rapi dan bersih sesudah digusur.

Pasukan Jasmev bekerja lebih massif ketimbang pasukan siber bentukan Anies-Sandi. Tim operator media sosial Anies-Sandiaga hanya 25 orang, menurut Reiza Patters yang punya akun Twitter dengan 11,5 ribu pengikut (per 21 April). Di kubu paslon 3 ini pun ada komedian tunggal Pandji Pragiwaksono (1,02 juta pengikut per 21 April).

“Dua puluh lima orang itu khusus operator saja. Kalau riset data, isu, dan desain sama foto video sudah ada sendiri. Selebihnya organik,” ujar Reiza kepada saya, Kamis kemarin.

Meski dari jumlah kalah jauh, bukan berarti tim Anies kalah. Mereka justru mendapatkan kemenangan karena para buzzer Ahok kelimpungan menghadapi isu penistaan agama yang diduga dilakukan oleh Ahok.

“Kami tidak pernah menggunakan isu SARA, kalaupun ada itu adalah pendukung Anies di luar tim yang tidak bisa kami kendalikan. Kami hanya fokus di program kerja Anies dan mengkritisi program serta kinerja Ahok,” ujar Reiza.

Kekalahan para buzzer Ahok itu terlihat dari hasil exit poll Indikator Politik Indonesia pada 19 April kemarin. Di sana terbaca lebih banyak pemilih Anies Baswedan berdasarkan akses media ketimbang pendukung Ahok.

Pemilih Anies-Sandiaga yang mengakses media sosial setiap hari sebanyak 47 persen, sering mengakses 43 persen, dan jarang mengakses 48 persen. Sebaliknya pemilih Ahok-Djarot yang mengakses media sosial setiap hari sebanyak 42 persen, sering mengakses 41 persen, dan jarang mengakses 36 persen.

INFOGRAFIK HL; Kekalahan AHOK

Kampanye Negatif Al-Maidah 51

Gencarnya gelombang protes apa yang disebut Aksi Bela Islam bermula dari ucapan Ahok mengutip Surat Al-Maidah ayat 51 di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada 27 September 2016. Ahok mengatakan bahwa lawan-lawan politiknya memakai salah satu ayat dalam Alquran ini buat menyerang dirinya karena identitas ganda sebagai Kristen dan Tionghoa. Di hari yang sama, orang yang bernama Buni Yani mengunggah sebagian rekaman video Ahok di Pulau Pramuka lewat akun Facebook. (Baca: Misalkan Buni Yani Masuk Bui)

Pada 4 November, gelombang protes besar terkonsentrasi di pusat ibukota, dengan tokoh politik dari PKS maupun Gerindra—partai pengusung pasangan Anies-Sandiaga—seperti Fahri Hamzah dan Fadli Zon serta tokoh massa agama seperti Rizieq Shihab, Imam Besar Front Pembela Islam. (Baca: Komoditas 'Al-Maidah')

Aksi jalanan yang disebut "411" ini menuntut Ahok dipidanakan dan dipenjara karena dituduh telah melakukan penistaan agama. Ia membawa Ahok ditetapkan tersangka oleh Kepolisian Republik Indonesia pada 16 November dan, hingga kemarin, dalam persidangan Ahok, tuntutan jaksa terhadapnya adalah setahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.

Perjalanan kasus Ahok tersebut membuat para buzzer Ahok kelimpungan, klaim mereka. Serangan di media sosial kepada Ahok karena kasus itu menjadi bagian yang sulit ditangkal dengan taktik menunjukkan kinerja Ahok.

Itu diakui oleh Joko Anwar, Dian Paramita, dan Hariadhi, yang kerap menerima tudingan kafir. Mimit, misalnya, pernah diserang dengan tudingan ia beragama Kristen yang tidak suka dengan Islam.

“Al-Maidah itu paling susah, karena itu sudah bicara soal keyakinan orang, kepercayaan. Jadi levelnya meyakinkan mereka itu seperti mengajak orang pindah agama,” ujar Mimit.

Joko dan Hariadhi mengakuinya. Mereka berkata, saban kali mereka bisa meredakan tuduhan-tuduhan anti-Islam, di lapangan justu sebaliknya: demonstrasi terus digelar buat menyerang Ahok dan imbasnya menguatkan kembali tensi di media sosial. Tuduhan jagoan mereka sebagai "penista agama Islam" makin menguntungkan tim Anies-Sandiaga di putaran kedua yang telah menyisihkan pasangan Agus Harimurti-Sylviana Murni.

“Sudah sehalus mungkin gimana caranya agar orang mau mendengar dulu, setelah itu baru ikut. Tapi faktanya enggak, ada kebencian yang disulut,” kata Joko.

Jasmev mengalami kesulitan membalasnya, klaim Hariadhi. “Kita enggak menggunakan cara yang sama seperti yang dilakukan mereka kepada Ahok,” ujarnya.

Bagian pembingkaian agama ini yang membuat Joko Anwar agak tidak ikhlas dengan hasil Pilkada. Kemenangan Anies dengan kampanye brutal, katanya, membuat kekalahan Ahok menjadi terasa lebih pahit.

“Saya ikhlas menerima Anies sebagai gubernur Jakarta, tapi bagian yang menyakitkan kemenangan itu dilakukan dengan cara yang seperti itu,” ujar Joko.

Sementara bagi Mimit, pertempuran di Pilkada menyisakan dua kesedihan. Pertama, kekalahan Ahok yang dinilainya hanya karena masalah agama serta ras; kedua perselisihan antara dia dan teman-teman seprofesi yang beda kubu, seperti Pandji.

Tulisan saya terakhir untuk Pandji itu berat sekali. Saya harus melawan orang yang selama ini saya sayangi, yang dulu pernah bersama-sama berjuang untuk keberagaman,” tuturnya.

[Catatan: buat pembanding klaim pendukung Ahok, sila baca "Mayoritas Warga Miskin Memilih Anies-Sandiaga"]

Sesudah Kekalahan Ahok

Meski Pilkada telah usai, tetapi bukan berarti para buzzer sukarela menyarungkan perhatian mereka yang sifatnya lebih personal, yang lebih berperan secara psikologis menautkan mereka dengan Ahok

Joko Anwar, misalnya, punya pandangan berbasis ketakutan kalau masyarakat Indonesia akan lebih intoleran, dengan contoh gerakan 'Al-Maidah' mampu menjegal Ahok. Dengan jualan yang sama, katanya, intoleransi bisa merembet ke daerah-daerah dan tidak menutup peluang pesan rasisme dalam demonstrasi anti-Ahok bisa direplikasi di pesta demokrasi lain.

“Saya tentu tidak akan mengganggu Anies, saya akan dukung," kata Joko. "Tapi saya tidak percaya lagi sama Anies dan Sandi karena mereka sudah menggunakan isu intoleransi dalam politik. Tidak bisa diharapkan. Tapi saya tetap akan pantau ini, memastikan tidak merembet."

Jasmev, usai kekalahan calon yang diusungnya, secara struktur sudah pasti membubarkan diri setelah Pilkada. Namun, Hariadhi mengatakan tidak menutup kemungkinan ada relawan yang masih terus mengawal Ahok sampai akhir masa jabatan pada Oktober mendatang.

“Saya akan kembali kerja seperti biasa, tapi tetap sebagai warga Jakarta ingin kota Jakarta maju. Karena itu mengawasi pemimpin baru tetap harus dilakukan,” ujarnya.

Sementara bagi Mimit; ia bertekad mengampanyekan kerja-kerja Ahok hingga akhir masa jabatan. Dalam waktu sisa enam bulan ini, ia akan berupaya membuat warga Jakarta menyesal karena menyingkirkan Ahok.

“Saya mau bikin mereka menyesal tidak memilih Ahok,” tandasnya.

Baca juga artikel terkait PILGUB DKI JAKARTA 2017 atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Politik
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam