Menuju konten utama

Butet Kartaredjasa, Kado "Uasuwoook" dari Yogya untuk Indonesia

Yogyakarta bukan cuma punya gudeg, Malioboro, atau klitih. Ia juga melahirkan Butet Kartaredjasa.

Butet Kartaredjasa, Kado
Seniman Butet Kartaredjasa membaca puisi berjudul Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana karya Alim Ulama KH Mustofa Bisri pada acara Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-44 PDI Perjuangan di JCC, Senayan, Jakarta, Selasa (10/1). ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/aww/17.

tirto.id - Yogyakarta bukan cuma punya gudeg, Malioboro, atau klitih. Ia juga melahirkan Butet Kartaredjasa – aktor, perupa, penulis, dan beberapa atribut lain. Pada November 2021 lalu, saat Butet genap 60 tahun, sejumlah teman menghadiahkan buku Urip Mung Mampir Ngguyu: 60 Tahun Butet Kartaredjasa.

Memegang buku lebih dari 530 halaman ini, dengan tampilan visual mengesankan, membuat saya disergap rasa penasaran. Apa saja yang dikisahkan para sahabat tentang sosok Butet? Tak kurang dari 50 tulisan tersaji, dari Mahfud MD sampai Happy Salma, dari Goenawan Mohamad sampai Rieke Diah Pitaloka. Agus Noor, Hairus Salim HS, dan Puthut EA menjadi “otak” di balik kehadiran tulisan-tulisan tersebut.

Menyusuri halaman demi halaman, saya menemukan sisi yang selama ini jarang terungkap dan tak banyak orang tahu: Butet sebagai manajer.

Agus Noor menyimpan cerita soal itu. Di Teater Gandrik, Butet membangun budaya profesionalisme dengan membagi peran dan tanggung jawab. Konon kesadaran tersebut tumbuh lantaran Butet belajar dari pengalaman saat mendirikan Teater Paku. Lakon pertama Teater Paku adalah Tamu Agung karya penulis Rusia, Nikolai Gogol. Di sana, Butet menjadi sutradara, aktor utama, sekaligus pimpinan produksi. Ia, entah sadar atau tidak, menjadikan dirinya sebagai “pusat otoritas.”

Pada kenyataannya Teater Paku hanya manggung satu kali. Ya, pertunjukan Tamu Agung itu. Butet, kata Agus, mulai menyadari kesalahannya. Ketika bergiat di Gandrik, tak ada lagi figur tunggal yang menentukan banyak hal. Pembagian peran dan tanggung jawab dilakukan. Semua anggota diberi ruang untuk berkembang. “Butet adalah pohon besar, tetapi ia bukanlah pohon besar yang menjulang sendirian dan membuat mati pohon-pohon yang tumbuh di sekelilingnya,” kata Agus Noor saat diwawancara untuk buku ini (hal 279).

Hamid Basyaib juga berbagi pengetahuan soal visi manajerial Butet. Gandrik menjalankan bisnis teater secara transparan, demokratis, dan egaliter. Segala hal menyangkut keuangan dan aturan perhonoran disepakati bersama. Aneka peran dan porsi pekerjaan dirumuskan dalam bentuk skoring, yang kemudian diterjemahkan menjadi nilai uang. Dengan cara begini, kesejahteraan seluruh pendukung teater relatif terjamin baik (hal 161).

Mereka pun membentuk semacam koperasi, dengan aturan ketat soal peminjaman dana kelompok. Maka selalu ada dana bagi yang sakit, tersedia tunjangan hari raya (THR) untuk semua. “Dengan semua itu, Teater Gandrik berhasil terhindar dari kelaziman yang membuat kelompok-kelompok serupa berwatak one man show (atau one family show),” tulis Hamid.

Seniman Jangan Sengsara

Ayah tiga anak itu menaruh kepedulian besar soal nasib seniman. “Butet menangis kalau ada seniman yang hidupnya sengsara. Butet akan mengatakan, itu patut ditolong,” kata komedian Yogya, Wisben Untoro (hal 415).

Alkisah, Butet misuh-misuh ketika mengetahui diri Wisben belum punya rumah, masih mengontrak. “Bajingan, seniman lawak terkenal kok omah isih ngontrak. Yo wes kowe melu aku sesuk,” kata Wisben menirukan Butet. Keesokan harinya Wisben sudah ikut ke Balikpapan, membuka pentas monolog Butet. Lalu diajak tampil di acara ulang tahun Metro TV. Rezekinya pun mulai mengalir.

Wisben tak pernah melupakan pelajaran hidup dari Butet soal sekoci kehidupan. Intinya, para seniman jangan melulu mengandalkan satu sumber pendapatan. Harus memiliki cadangan. Ia mengakui kebenaran petuah Butet saat pandemi Covid-19 menyerang. Banyak pekerjaan seni batal karena larangan berkerumun. Tiba-tiba dunia menjadi begitu muram. Sumber penghasilan lain niscaya bakal menjadi penyelamat.

Salah seorang personel Trio Guyonan ala Mataram (GAM), Marsudi atau Joened, yang ikut menyimak nasehat itu mengamalkan dengan membangun lapak penjualan lumpia di rumahnya. “Jadi harus benar-benar menikmati pentasnya juga. Sehingga fokus berkesenian, tidak mikirin dapur ngebul,” kata Joened (hal. 417).

Buat Butet, seniman tak elok jika bermental “kejar setoran” alias manggung sebanyak atau sesering mungkin demi mengejar rupiah karena besar kemungkinan kualitas akan ambruk. Nah, agar perekonomian tetap bergulir dan mutu kesenian terjaga, diversifikasi sumber penghasilan mesti diupayakan.

Melihat Butet, Menatap Yogya

Ini buku yang layak disimak. Alasan terpokoknya adalah karena berhasil menampilkan sosok Butet yang beraneka warna. Mungkin tinggal sedikit yang ingat bahwa anak Bagong Kussudiardja ini adalah esais yang asyik. Pada 2007-2009, ia rutin menulis kolom di harian Suara Merdeka, Semarang. Kolom-kolom itu punya sosok rekaan bernama Mas Celathu. Dalam Urip Mung Mampir Ngguyu ini, ada tulisan Jennifer Lindsay dan Mohammad Sobary yang membicarakan esai-esai tersebut.

Sayangnya, sampai cetakan kedua, sejumlah salah ketik masih menghuni. Hal kecil tapi lumayan mengganggu. Namun, pada saat bersamaan, berlimpah foto-foto perjalanan hidup dan karier Butet ditampilkan, dengan tata letak yang memanjakan mata. Kita seperti diajak mengarungi lorong waktu sampai awal 1970-an.

Seperti diungkapkan Puthut EA, antologi ini memuat kisah banyak peristiwa di Yogyakarta, bukan melulu perihal Butet. “Di beberapa tulisan, Pak Butet sebagai aktor utama. Tapi ada aktor-aktor lain yang perlu dicatat di sini….Buku ini, saya kira, salah satu buku penting, yang membuat orang bisa menyusun serpihan-sepihan di situ untuk lebih tahu tentang dunia kebudayaan di Yogya,” kata Puthut saat peluncuran buku di Sangkring Art Space, Bantul, Yogyakarta.

Puthut tak berlebihan. Simak, misalnya, tulisan Ketua Pengurus Yayasan Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK), Jeannie Park. Perempuan asal Amerika Serikat itu menceritakan pengalaman mengelola PSBK. Jeannie mengambil tanggung jawab pada 2007 ketika PSBK tengah limbung dan mesti ditata ulang. Ada masa ketika Butet “pergi” dari PSBK karena berkonflik dengan sang ayah. Ketika Bagong wafat, ia kembali dan mengurus segenap peninggalan, termasuk mengajak Jeannie untuk mengurus PSBK.

Buku ini hanya disiapkan selama dua bulan. Toh waktu bukan “setan” yang mustahil dilawan. Sebab, banyak individu yang merespons permintaan untuk menulis. “Itu menunjukkan bahwa bagi banyak orang, Pak Butet adalah tokoh yang sangat dihormati,” tulis Kepala Suku Mojok.co itu (hal 528).

Peluncurannya dihadiri banyak tokoh dan bukan hanya mereka yang berkiprah di Yogya. Tentu ini menggambarkan keluasan pergaulan Butet. Ada Kartika Affandi, Goenawan Mohamad, N Riantiarno, dan Sindhunata. Juga hadir Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono, Yenny Wahid, Triawan Munaf, mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, dan puluhan tokoh lain.

Kegiatan tersebut penuh tawa sekaligus keharuan. Sejak beberapa bulan sebelumnya, Butet sakit dan sulit bergerak. Menjelang ulang tahun ke-60, kondisinya mulai membaik. Meski menggunakan alat bantu, suami Rulyani Isfihana ini sudah bisa berjalan dan hadir di tempat peluncuran.

Saya kira, bukan hanya Yogya yang layak bangga memiliki figur yang selalu menuliskan “uasuwook” di ujung status-status Facebook-nya itu. Indonesia pun pantas bersuka cita punya Butet Kartaredjasa, sosok berdedikasi prima dalam melakoni kerja kebudayaan selama puluhan warsa. []

Baca juga artikel terkait BUTET atau tulisan lainnya dari Yus Ariyanto

tirto.id - Humaniora
Penulis: Yus Ariyanto
Editor: Nuran Wibisono