Menuju konten utama

Buta Politik dan Diperalat, Andi Azis pun Memberontak

Kapten Andi Azis yang buta politik akhirnya ikut arus dan pasukannya memberontak pada 5 April 1950 menentang kedatangan pasukan TNI dari Jawa. Pada 14 April 1950, dia ditangkap.

Buta Politik dan Diperalat, Andi Azis pun Memberontak
Pelabuhan Makasar diduduki oleh Pasukan Batalyon Worang. Foto/Ipphos

tirto.id - Malam 4 April 1950, Kapten APRIS Andi Abdul Azis dipanggil oleh Jaksa Agung Robert Soumokil untuk ke rumahnya. Beberapa serdadu KNIL Ambon sudah di sana. Mereka menyatakan siap tempur jika TNI dari Jawa datang.

Esoknya, Andi Azis, juga KNIL-KNIL Ambon tadi ambil bagian dalam sebuah aksi yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Andi Azis. Pagi 5 April 1950, Letnan Kolonel Ahmad Yunus Mokoginto, yang menjadi komisioner Komisi Militer di Indonesia Timur, sudah menjadi tahanan mereka.

Atas apa yang dilakukannya sebagai perwira Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS), Andi Azis tak bisa diterima petinggi militer dan pemerintah pusat. Pemerintah pusat mengultimatum Andi untuk datang ke Jakarta sebelum pukul 14.00 tanggal 9 April 1950. Karena dalam tempo yang ditentukan tidak muncul, ia kemudian dianggap pemberontak pada 13 April 1950.

Dia baru datang pada 14 April 1950 ke Jakarta dan dia ditangkap di sana. Sebelum berangkat ke Jakarta, Andi Azis sempat bertemu Christian Soumokil, pria yang kemudian mendirikan Republik Maluku Selatan (RMS)

“Jika ose mati beta akan berjuang sampai titik darah penghabisan,” kata Chris kepada Azis seperti ditulis Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil: La Petite Histoire Indonesia (2004).

Namun, ketika Andi Azis baru mendarat di bandara Kemayoran, Polisi Militer membekuknya. “Padahal, waktu itu saya hanya membawakan dua setel pakaian, karena saya pikir ia akan segera pulang,” aku Ny. Jabida Azis, istri Andi Azis kepada Tempo (11/02/1984).

Perkaranya baru disidangkan pada 25 Maret 1953. Mental perwiranya membuatnya Andi Azis mengaku bersalah dan bertanggung jawab sepenuhnya atas tindakannya. Andi Azis juga mengatakan dirinya “sama sekali buta politik.”

Mantan Panglima TNI di Indonesia Timur, Alex Kawilarang, juga sepakat Andi Azis buta politik dalam peristiwa 5 April 1950 itu. Menurut Alex Kawilarang dalam A.E. Kawilarang Untuk Sang Merah Putih (1988), ada segelintir oknum pejabat NIT ''membujuk dan meyakinkan Kapten Andi Azis untuk melaksanakan coup (peristiwa 5 April 1950).''

Pengadilan Tentara di Yogyakarta kemudian menjatuhkan hukuman penjara 14 tahun potong masa tahanan. Menurut buku terbitan militer Sejarah TNI AD (1945-1973) 2 Peranan TNI AD Menegakan Negara Kesatuan RI (1979), dia sempat dipenjara di Wirogunan, Yogyakarta selama tiga tahun, lalu dipindah ke Cimahi.

Di Cimahi, dia sempat memberontak dengan melucuti penjaga, tapi kemudian tertangkap lagi. Dari Cimahi, ia sempat dipindah ke Ambarawa. Andi Azis mengaku pernah didatangi oleh utusan Sukarno untuk diajak menjadi ajudannya, tapi ia menolak. Andi Azis memperoleh grasi dan pada 31 Agustus 1956 dibebaskan bersyarat.

Penolakannya menjadi ajudan Sukarno tentu menjauhkannya dari sial seperti yang diderita Maulwi Saelan atau ajudan terdekat lainnya yang dipenjara tanpa pengadilan. Andi Irvan Zulfikar, keponakan dari Andi Azis, pernah bercerita keluarga besarnya sempat berkumpul dan Andi Djuana tak mengizinkannya. Menurut pendapat keluarga, Andi Azis hanya tentara dan buta politik. Menjadi ajudan yang dekat dengan lingkaran politik tentu berbahaya.

Sejak remaja, menurut Sejarah TNI AD (1945-1973) 2 Peranan TNI AD Menegakan Negara Kesatuan RI (1979), Andi Azis memang ingin jadi tentara. Perang Eropa kemudian membuatnya harus jadi tentara. Putra bangsawan Bugis kelahiran 19 September 1924, di Simpangbinangal, kabupaten Barru, Sulawesi Selatan ini, sejak usia 11 tahun harus hidup di Negeri Belanda, jauh dari orangtuanya di Kabupaten Barru. Ia hidup dan disekolahkan di sana setelah seorang mantan Asisten Residen asal Belanda menjadikannya anak angkat.

Ketika Negeri Belanda diduduki Tentara Jerman, Andi Azis juga tergabung dalam gerakan bawah tanah melawan Jerman. Karena Tentara Jerman begitu kuat, Andi Azis dan kawan-kawannya kemudian menyeberang ke Inggris, temoat dia ikut latihan pasukan komando. Hasilnya tidak buruk. Pangkatnya sudah sersan pada 1945. Di bulan Agustus 1945, dia dikirim ke ke Colombo lalu Calcutta.

Pada 19 Januari 1946 bersama pasukan sekutu Inggris, dia mendarat di Jakarta. Lama jauh dari Indonesia membuatnya tak tahu kabar hingar-bingar soal Republik Indonesia yang baru berdiri dan belum punya taring. Dia menjadi bintara sekutu di Cilincing. Sempat pulang kampung sebentar, dia kembali lagi ke Jakarta dan sempat mengikuti latihan polisi di Menteng Pulo pada 1947.

Infografik Andi Azis

Menurut Benjamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit. De Indonesische officieren uit het KNIL 1900-1950 (1995), sejak akhir 1947 Andi Azis menjadi siswa angkatan kedua dari calon perwira di Sekolah Perwira Infanteri, School Reserve Officier en der Infenterie (SROI) di Bandung. Kebanyakan calon perwira di angkatan Azis itu adalah orang-orang Belanda, kecuali dia dan Josef Muskita—belakangan menjadi Letnan Jenderal TNI dan Duta Besar di Jerman.

Setelah lulus dan jadi perwira, menurut buku Sejarah TNI AD (1945-1973) 2 Peranan TNI AD Menegakan Negara Kesatuan RI (1979), di tahun 1948, dia sempat menjadi instruktur di sekolah terjun payung School tot Opleiding voor Parachusten di dekat Bandung. Dia sempat menjadi Ajudan muda Presiden NIT Sukowati.

Di Makassar, Andi Azis menjadi perwira KNIL pribumi yang cukup berpengaruh. Sebagai ajudan presiden, dia dikenal para pejabat NIT, termasuk Christian Soumokil. Sebelum 1950, Andi Azis menjadi komandan kompi dengan pangkat Letnan Satu dan membawahi 125 KNIL. Pasukannya tersebut termasuk pasukan KNIL yang disegani kemampuannya, yang belakangan juga masuk ke APRIS.

Menurut tulisan Amelia Yani, Ahmad Yani Profil Sang Prajurit (1990), bekas pasukan Andi Azis menjadi pasukan awal dari Banteng Raider yang dibentuk Ahmad Yani di Jawa Tengah ketika penumpasan DI/TII. Meski tangguh, pasukan-pasukan KNIL pada 1950 sulit diatur hingga dengan mudah diperalat politikus macam Soumokil.

Kepada Kawilarang, Andi Azis mengaku dirinya ketika itu sudah tidak bisa lagi mengendalikan emosi bawahan kompinya yang mantan KNIL itu, hingga mereka pun akhirnya memberontak. Sebagai komandan, dia yang harus bertanggungjawab dan masuk bui, sementara sebagian bekas anak buahnya tetap jadi tentara.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani