Menuju konten utama
4 Januari 2010

Burj Khalifa dan Obsesi Manusia pada Bangunan Tinggi

Burj Khalifa dibangun dengan ambisi serba superlatif. Ia mengingatkan kisah dalam Alkitab tentang Menara Babel.

Burj Khalifa dan Obsesi Manusia pada Bangunan Tinggi
Burj Khalifa. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Pada 4 Januari 2010, tepat hari ini 9 tahun lalu, di tengah keterpurukan bisnis properti Dubai, Burj Khalifa diresmikan. Menara tertinggi di dunia ini semula bernama Burj Dubai. Namun, untuk menghormati Presiden Uni Emirat Arab Syekh Khalifa bin Zayid al-Nahyan, namanya diganti menjadi Burj Khalifa.

Desainnya merupakan abstraksi dari bunga Hymenocallis, salah satu jenis bunga bakung atau Amaryllidaceae. Menaranya meruncing ke atas, kelopaknya mengupas beberapa bagian, dan akhirnya benang sari baja tunggal menjulang.

Burj Khalifa juga dirancang dengan pengaruh Timur Tengah, menggambarkan pola-pola dan arsitektur tradisional, seperti kisi-kisi jendela mashrabiya yang menyaring sinar matahari gurun.

Ketinggian bangunan yang dikerjakan selama 6 tahun ini lebih dari 828 meter dan memiliki lebih dari 160 lantai. Burj Khalifa dirancang oleh Chicago Skidmore, Owings & Merrill LLP (SOM) dan Adrian Smith FAIA serta Royal Institute of British Architects (RIBA).

Kemegahan Superlatif

Saking tingginya, Burj Khalifa mempunyai tiga waktu buka puasa. Pertama, waktu buka puasa normal sesuai dengan yang berlaku di Dubai, yakni dari lantai dasar sampai lantai 80. Kedua, dari lantai 81 hingga lantai 150, dengan penambahan waktu 2 menit. Dan ketiga dari lantai 151 ke atas, penambahan waktunya tiga menit dari waktu buka puasa normal.

Ini karena setiap ketinggian bertambah 100 meter, waktu magrib juga bertambah 1 menit. Dalam posisi yang semakin tinggi, ufuk terlihat semakin rendah.

Selain memiliki tiga waktu buka puasa yang berbeda, Burj Khalifa menjadi bangunan serba “paling” di dunia: bangunan tertinggi, struktur berdiri bebas tertinggi, lantai yang ditempati tertinggi, dek observasi luar ruang tertinggi, dan lift dengan jarak perjalanan terpanjang.

Pada 5 Oktober 2013, New York Times memuat pengalaman Lauren Arnold dan Mike Arnold, pemukim yang tinggal di Burj Khalifa sejak 2011, saat mereka naik ke lantai 123.

“Seolah-olah kami adalah benda tanpa bobot yang mudah diangkat ke udara. Telinga kami menyesuaikan beberapa kali saat melaju dengan kecepatan hampir 60 kaki per detik,” tulis mereka.

Dari lantai 123, saat hari begitu cerah, lewat panel kaca raksasa pemandangan yang terhampar mencapai pantai Iran, Selat Hormuz, dan pergunungan berbatu Oman. Pada sisi lain, terlihat juga Teluk Persia.

Menurut mereka, sangat sulit bagi banyak pengunjung untuk memahami Dubai. Seseorang mesti melihat masa kini dan melampauinya untuk menghargai seperti apa masa depannya.

“Orang perlu memahami dampak nyata dari kota ini untuk mendefinisikan kembali citra diri pribadi dan kolektif orang Emirat, orang Arab, dan penduduk internasional,” imbuhnya.

Burj Khalifa yang menampilkan kemegahan yang serba superlatif seolah-olah menjadi tonggak masa depan dan masa lalu sekaligus. Ia juga memegang sejumlah rekor yang belum mampu dilampaui bangunan apapun di dunia. Karena itu, menjadi tantangan bagi siapa saja di masa depan untuk melampaui capaiannya.

Keangkuhan Menara Babel

Jika ditarik ke masa lalu, Burj Khalifa mengingatkan kembali pada cerita tentang obsesi manusia terhadap ketinggian. Salah satunya adalah kisah dalam Alkitab tentang Menara Babel.

Peter Atkinson dalam Encyclopedia of The Bible (2011) menyebutkan, kisah menara Babel terdapat dalam Kitab Kejadian tentang orang-orang yang memutuskan untuk membangun sebuah menara yang tinggi sampai ke langit sebagai simbol kekuatan dan kebanggaan.

“Tetapi Allah mengacaubalaukan bahasa mereka sehingga orang-orang tidak dapat lagi mengerti apa yang mereka katakan satu sama lain. Mereka tercerai-berai dalam kebingungan dan hidup di bagian-bagian berbeda dari dunia ini dengan bahasa yang berbeda-beda pula,” imbuhnya.

Kisah ini disebut-sebut sebagai penjelasan tentang asal mula perbedaan bahasa manusia di dunia. Bahkan sekarang, tambah Atkinson, perbedaan bahasa adalah rintangan terbesar bagi orang-orang untuk saling memahami dan hidup bersama dalam damai.

“Dulu semua orang bersatu dan berbahasa yang sama, sekarang tidak. Orang-orang membangun sebuah kota dalam menara, lalu Yahwe (Tuhan) menghukum mereka,” terang Dianne Bergant dan Robert J. Karis dalam Tafsir Alkitab Perjanjian Lama (2002).

Dalam sebuah pameran di British Museum bertajuk “Babylon: Myth and Reality” yang berlangsung pada November 2008-Maret 2009, Menara Babel dihadirkan dalam pelbagai bentuk karya seni.

“[Pameran] Babylon menunjukkan bagaimana kekuatan abadi reputasi kota [Babilonia] dengan semua kekayaannya telah mengilhami karya seni dan imajinasi yang hebat,” tulis siaran pers pameran tersebut.

Infografik Mozaik Atap Langit Burj Khalifa

Infografik Mozaik Atap Langit Burj Khalifa

Jonathan Jones menulis di Guardian bahwa pameran itu menghadirkan Babilonia dalam benaknya sebagai tempat untuk menginspirasi mimpi, kota yang menakutkan sekaligus memesona.

Tentang Menara Babel yang hadir dalam sejumlah karya seni pada pameran tersebut, ia menyebutnya sebagai “menarik untuk melukiskan kisah terhebat yang pernah diceritakan tentang sebuah bangunan”.

Mengutip dari Alkitab, ia menerangkan, keturunan Nuh yang selamat setelah banjir besar memutuskan untuk membangun sebuah kota dan menara yang sangat tinggi, yang puncaknya mencapai “surga”.

Tuhan tidak senang, imbuhnya, karena jika orang dapat melakukan itu, “tidak ada yang dapat ditahan dari mereka”. Tuhan kemudian menghantam keangkuhan mereka, menceraiberaikan dan mengacaukan bahasa mereka.

“Kisah Menara Babel bersemayam di hati tentang bagaimana kita membayangkan arsitektur. Mitos ini melayang di tiap bangunan tinggi. Di balik semua kritik terhadap gedung pencakar langit, mengintai momok Babel, memukul keangkuhannya,” tulis Jones.

Kita belum tahu, apakah momok Babel juga akan memukul keangkuhan Burj Khalifa.

Baca juga artikel terkait BURJ KHALIFA atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Ivan Aulia Ahsan