Menuju konten utama

Buramnya Hak Berekspresi bagi Orang Papua di Dunia Nyata dan Maya

Kasus Riki, yang divonis karena dituduh menyebar SARA hanya karena mengunggah foto Bintang Kejora di media sosial, jadi bukti bahwa orang Papua sulit berekspresi baik di dunia nyata maupun maya.

Buramnya Hak Berekspresi bagi Orang Papua di Dunia Nyata dan Maya
Dokumen foto pengibaran bendera bergambar bintang kejora di Papua. ANTARA/Husyen Abdillah

tirto.id - Riki Karel Yakarmilena menggambar bendera Bintang Kejora besar, kira-kira empat meter, di tembok rumahnya sendiri, Distrik Jayapura Selatan, Kota Jayapura, pada 16 November 2019 tengah malam hingga jelang dini hari. Waktu itu dia pakai celana tiga per empat warna kuning, jaket gelap, dan topi. Rampung mengecat, ia unggah hasil karyanya itu ke Facebook.

Beberapa hari kemudian ada anggota Polsek Jayapura Selatan menyambangi rumahnya. Mereka meminta pemuda 25 tahun itu ikut ke kantor polisi guna pemeriksaan. Apa yang diperiksa? Ternyata soal unggahan Bintang Kejora. Aparat ternyata terusik dengan lambang kultural orang Papua tersebut.

Setelah pemeriksaan cukup panjang, sehari kemudian Riki menandatangani surat perjanjian tak bakal mengulangi perbuatan serupa. Ia pun diperkenankan pulang. Namun ternyata masalah belum selesai. Tepat di depan gerbang, datang personel Siber Polda Papua. “Dia ditangkap dan dibawa ke polda,” kata Kuasa Hukum Riki, Emanuel Gobay, kepada reporter Tirto, Selasa (21/7/2020).

Polisi menjeratnya dengan Pasal 45 ayat (2) juncto Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). “Riki ditetapkan jadi tersangka,” kata Emanuel.

Di Kompleks Parlemen, Jakarta, 20 November tahun lalu, Kapolda Papua Irjen Paulus Waterpauw mengatakan Riki ditangkap karena “mengedarkan berita ke mana-mana tentang ajakan mogok sipil nasional” di Papua jelang 1 Desember. Tanggal tersebut kerap diklaim secara sepihak oleh otoritas Indonesia sebagai: Hari Ulang Tahun Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Waktu itu dia bilang Riki ditetapkan sebagai tersangka makar, tapi berdasarkan dokumen pengadilan, pasal yang dikenakan adalah ITE.

Emanuel mengatakan penangkapan dan penetapan tersangka kliennya janggal karena surat penangkapan dimiliki oleh Polres Jayapura Selatan, bukan Polda Papua. Tapi toh kasus Riki berlanjut hingga pengadilan.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jayapura memvonis Riki pidana penjara selama 10 bulan dan denda Rp50 juta serta membebani bayar biaya perkara Rp5 ribu. Jika denda tidak dibayar dapat diganti pidana kurungan selama tiga bulan.

Menurut laman sipp.pn-jayapura.go.id, Riki dinyatakan “terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).”

Jaksa tidak puas dengan putusan dan dan mengajukan banding. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jayapura menerimanya atau dengan kata lain menguatkan putusan PN Jayapura Nomor 16/Pid.Sus/2020/PN.Jap tanggal 29 April 2020. Putusan dibacakan pada 14 Juli lalu.

Emanuel menegaskan tak semestinya kliennya dipenjara karena apa yang dia lakukan adalah berekspresi, yang tidak lain adalah hak semua warga dan “dijamin dalam Pasal 28E ayat (2).” “Ini menunjukkan negara melalui aparat keamanan sudah membungkam kebebasan berekspresi dalam dunia maya,” katanya.

Ekspresi Dibatasi

Jhon Gobay, Ketua Aliansi Mahasiswa Papua, menegaskan “apa yang diperbuat Riki itu bentuk ekspresi” yang sama sekali tidak membahayakan negara.

Kepada reporter Tirto, ia mengatakan “yang dilakukan terhadap korban itu wujud bagaimana negara memperlakukan orang Papua.” Sebab, alih-alih menggunakan hukum untuk menegakkan keadilan, aparat justru memanfaatkan itu untuk mengkriminalisasi dan membungkam ekspresi politik orang-orang Papua.

Apa yang terjadi kepada Riki juga tak bisa dilepaskan dari upaya sistematis dari negara membungkam orang-orang Papua, kata advokat dari Perkumpulan Advokasi Hak Asasi Manusia Papua, Gustaf Kawer, kepada reporter Tirto. “Ini cara pembungkaman yang dilakukan terus,” kata Gustaf.

Ia lantas membandingkan apa yang terjadi dengan orang-orang Papua dengan aparat yang jelas-jelas melanggar hukum.

Laporan Amnesty International Indonesia bertajuk Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati: Pembunuhan dan Impunitas di Papua menyebut pada Januari 2010 hingga Februari 2018 terdapat 69 pembunuhan di luar hukum di Papua--atau dalam istilah hukum internasional disebut 'unlawful killing'. Laporan menyebut tak ada satu kasus pun diproses lewat mekanisme penyelidikan atau penyidikan independen.

“Pelaku pembuat pelanggaran [seperti] aparat negara tidak diproses, sedangkan pengkritik diproses,” kata Gustaf.

Aktivis HAM Veronica Koman menegaskan kepada reporter Tirto kalau “Riki Karel masuk kategori tahanan politik” sebagaimana The Jakarta Six dan The Balikpapan Seven. Ia mengatakan sebelum kasus Riki para tapol biasanya dikenakan pasal makar. Kini, setidaknya satu tahun terakhir, semakin banyak yang dikriminalisasi dengan UU ITE--peraturan karet yang telah menelan banyak korban.

Beberapa kasus penangkapan karena berekspresi maupun mengkritik negara di media sosial antara lain dialami aktivis mahasiswa Septinus Meidodga pada 18 September 2019; dua aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Timika pada 29 Mei 2020; mahasiswa di Jayapura, GM, pada 21 Mei 2020; dan Melianus Duwitau yang ditangkap Polres Nabire pada 26 Januari 2020.

“Di dunia nyata tidak ada kebebasan berekspresi bagi orang Papua, sekarang dunia maya juga mau dirambah oleh aparat,” kata Veronica.

Baca juga artikel terkait TAPOL PAPUA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino