Menuju konten utama
Daerah Penghasil Migas

Bupati Meranti & Bagaimana Mekanisme Dana bagi Hasil yang Ideal

Protes Bupati Kepulauan Meranti soal dana bagi hasil daerah menjadi momentum untuk mencari mekanisme DBH yang ideal.

Bupati Meranti & Bagaimana Mekanisme Dana bagi Hasil yang Ideal
Pelabuhan roll on roll off (roro) penyeberangan insit- pecah buyung di desa insit. ANTARA/Pemkab Keb Meranti

tirto.id - Publik ramai membicarakan langkah Bupati Kepulauan Meranti, Riau, Muhammad Adil. Semua berawal ketika Adil mengungkapkan kekecewaan tentang dana bagi hasil (DBH) yang diterima daerah yang dipimpinnya tidak sesuai dengan hasil produksi minyak yang diperoleh.

Pria yang juga politikus PDIP itu berujar, produksi minyak Meranti meningkat hingga 8.000 barel per hari. Pada 2023 mendatang akan ada 19 sumur bor baru dengan target produksi 9.000 barel per hari. Akan tetapi, angka pendapatan Kapupaten Kepulauan Meranti justru tidak sesuai ekspektasi.

“Untuk Pak Dirjen (Lucky Alfirman) ketahui jadi seandainya kami naik penghasilan besar dianggap penurunan, saya mengharapkan Pak Dirjen mengeluarkan surat untuk pemberhentian pengeboran minyak di Meranti. Jangan diambil lagi minyak di Meranti, enggak apa-apa kami masih bisa makan daripada uang kami dihisap sama pusat,” kata Adil dalam Rapat Koordinasi Pengelolaan Pendapatan Belanja Daerah yang disiarkan saluran Youtube Diskominfotik Provinsi Riau dikutip Senin (12/12/2022).

Adil menagih penjelasan dari Kementerian Keuangan soal DBH daerahnya. Ia juga meminta penjelasan langsung kepada Menteri Keuangan, Sri Mulyani soal DBH, tapi Kemenkeu malah meminta audiensi secara daring. Dalam audiensi tersebut, Kemenkeu baru menyampaikan patokan harga minyak berada pada 100 dolar AS per barel setelah didesak Adil.

Dalam acara tersebut, Adil menilai Kementerian Keuangan sebagai ‘iblis’ karena tidak puas dengan penjelasan Kemenkeu kala itu. “Sampai saya kejar ke Bandung, Kementerian Keuangan juga tidak dihadiri yang kompeten. Itu hadir, itu staf saya tahu lah. Sampai saya ngomong 'ini orang keuangan isinya iblis atau setan,’” tegas Adil.

Adil lantas menggunakan analogi agar Meranti pindah ke Malaysia atau mengangkat senjata demi mendapatkan hak mereka. Ia berdalih hal itu dilakukan agar Meranti bisa selesai dari masalah kemiskinan ekstrem.

“Makanya maksud saya kalau bapak tak mau ngurus kami, pusat tidak mau mengurus Meranti, kasihkan kami ke negeri sebelah. Kan, saya ngomong atau bapak tak paham juga omongan saya? atau begini, apa perlu Meranti mengangkat senjata? Kan, tak mungkin kan? Ini menyangkut masyarakat Meranti yang miskin ekstrem," tegas Adil.

Respons Kementerian Keuangan

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo menyayangkan pernyataan Adil. Ia mengatakan pernyataan Adil tidak akurat karena mereka menghitung berdasarkan data resmi Kementerian ESDM.

“Ini jelas ngawur dan menyesatkan karena Kemenkeu justru sesuai undang-undang telah menghitung dan menggunakan data resmi Kementerian ESDM dalam membagi DBH," kata Yustinus lewat video yang dibagikan via Twitter resminya @prastow.

Yustinus menilai, dana yang dipakai bukan untuk daerah penghasil, tetapi juga daerah sekitar agar merasakan kemajuan dan kemakmuran bersama-sama.

Pria yang sempat menjadi Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) ini menambahkan, pemerintah mengalokasikan anggaran transfer dana dan dana desa sebesar Rp872 miliar kepada Meranti pada 2022. Ia menilai angka tersebut setara 75 persen dari APBD Kabupaten Meranti atau 4 kali lipat dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) Meranti sebesar Rp222 miliar. Ia pun mendesak agar Adil meminta maaf soal pernyataannya kepada Kemenkeu.

Kementerian Dalam Negeri juga turun tangan dengan cara memanggil Adil karena pernyataannya yang viral. Sekjen Kemendagri, Suhajar Diantoro menilai, aksi Adil tidak diperlukan. Ia menilai pernyataan Adil tergolong kasar dan mencoreng citra pemerintah. Menurut Suhajar, keluhan Adil seharusnya bisa dikomunikasikan tanpa memicu kegaduhan.

“Apa yang menjadi kegelisahan dan harapan Bupati Kepulauan Meranti sebenarnya bisa dikomunikasikan dan diselesaikan secara baik-baik, sehingga tidak menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat,” kata Suhajar usai pertemuannya dengan Adil dalam keterangan pers, Senin (12/12/2022).

Suhajar pun menjamin Kemendagri melalui Dirjen Bina Keuangan Daerah bakal memfasilitasi pertemuan dan pembahasan lebih lanjut antara Pemkab Kepulauan Meranti, Kemenkeu, Kementerian ESDM, maupun pihak terkait lainnya dalam menyelesaikan masalah pembagian dana bagi hasil.

“Kami akan memfasilitasinya agar permasalahan mengenai DBH dapat terselesaikan dengan baik,” jelas Suhajar.

Dalam pertemuan tersebut, Mendagri Tito Karnavian ikut menegur sikap Adil. Akan tetapi, usai pertemuan, Adil mengaku akan menggugat Presiden Joko Widodo. Hal itu disampaikan Adil sehari setelah bertemu Tito di Kemendagri.

“Saya kemarin juga ketemu Pak Tito minta petunjuk pak. Saya mau gugat Pak Jokowi," kata dia dalam acara rapat koordinasi Pengelolaan Pendapatan Belanja Daerah di Pekanbaru, dikutip Selasa (13/12/2022).

Dia menuturkan, meski sebagai daerah miskin, Kepulauan Meranti sudah menghasilkan minyak dari 1973. Di mana terdapat 222 baru. Jumlah ini termasuk tambahan 13 sumur baru dan 19 sumur bor baru di 2023. Ia pun mengeluhkan DBH yang diterima hanya Rp114 miliar dan 2022 hanya Rp115 miliar padahal produksi naik.

“Bapak mau tahu, 113 sumur di Meranti sudah kering diambil pusat, tidak tahu saya untuk gimana, sekarang tinggal beberapa lagi,” kata dia.

Daerah Penghasil Migas, Dana Tak Banyak dari Pemerintah Pusat

Berdasarkan sejumlah data yang dihimpun Tirto, besaran DBH Meranti pada sektor migas berdasarkan rincian APBN 2023 berada pada angka Rp115.076.872. Angka ini lebih dari lima puluh persen total DBH sumber daya alam dan pajak yang mencapai Rp207.663.037.

Meranti juga mendapatkan Dana Alokasi Umum (DAU) dengan total Rp422.550.086 dan dana desa sebesar Rp96.027.040 sehingga total Rp726.240.163. Apabila dibandingkan dengan daerah lain di Riau, angka DBH Meranti lebih kecil daripada daerah lain di Riau. Sebut saja Kabupaten Kuantan Singigi yang Rp145.722.492 atau Indragiri Hulu yang mencapai Rp190.209.576.

Akan tetapi, total dana yang diterima Kepulauan Meranti dari pemerintah pusat memang lebih rendah daripada Kuantan Sigigi maupun Indragiri Hulu. Kuantan Sigigi menerima total uang sebesar Rp949.535.526, sementara Indragiri Hulu tembus Rp1.117.375.000.

Jika dibandingkan dengan daerah lain yang juga daerah penghasil minyak, angka DBH Meranti memang tidak kalah. Akan tetapi, total dana yang diberikan pusat kepada Meranti memang tidak banyak. Gresik misalnya. Sebagai salah satu daerah yang juga menjadi penghasil minyak di Jawa Timur, Gresik hanya menerima DBH Migas sebesar Rp42.711.775 dari total DBH mereka mencapai Rp148.289.874. Sementara itu, total dana yang diterima Gresik dari pemerintah pusat mencapai RP1.362.438.598.

Contoh lain adalah Blora. Daerah di Jawa Tengah itu menghasilkan DBH migas Rp160.639.754 dari total DBH Rp248.329.807. Sementara itu, total dana yang diterima Blora mencapai Rp1.411.505.772.

Sementara itu, jika dilihat dari angka kemiskinan, Meranti bukan daerah dengan golongan penduduk miskin. Mengutip data BPS, indeks persetase penduduk miskin berdasarkan kabupaten/kota, Meranti ada pada angka 23,84 pada 2022.

Angka tersebut lebih rendah daripada Meranti pada 2021 yang berada pada 25,68. Bila dibandingkan dengan daerah lain di Riau, angka Meranti memang tertinggi setelah Rokan Hulu yang berada di angka 9,95 pada 2022 dan 10,40 di tahun 2021.

Harus Ada Audit, Tidak Asal Klaim Eksplorasi Besar akan Menghasilkan

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, pernyataan Adil tidak bisa dibenarkan. Ia mengingatkan bahwa pembagian DBH harus berdasarkan hasil dari daerah. Hasil tersebut juga harus melewati audit sehingga tidak bisa asal klaim bahwa eksplorasi besar akan menghasilkan.

“Nanti diperiksa dulu. Jadi kalau DAU yang lain, kan, dari perencanaan, tinggal distribusi. DBH itu beda dengan dana alokasi yang lain. Diperiksa dulu benar apa nggak, diverifikasi. Kan, laporannya belum tentu apa yang disampaikan betul-betul produksi segitu. Bisa lebih tinggi, bisa lebih rendah,” kata Tauhid kepada reporter Tirto.

Tauhid mengatakan, hasil audit kemudian dimasukkan dalam formula. Hal itu pun sudah diatur dalam undang-undang. Oleh karena itu, kata dia, angka DBH berbeda-beda.

Sebagai catatan, ketentuan DBH kini diatur dalam UU Nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah. Khusus untuk DBH sumber daya alam migas diatur dalam Pasal 116, di mana ada ketentuan pada jarak tertentu dan persentase pembagian antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah daerah.

Tauhid menilai, kejadian di Meranti bisa saja terjadi karena penghitungan DBH berdasarkan angka produksi. Oleh karena itu, wajar jika Meranti menerima DBH kecil dibandingkan daerah lain jika hasil eksplorasi hasil audit lebih tinggi daerah lain daripada Meranti.

Di sisi lain, Tauhid mengingatkan bahwa Kemenkeu harus menyampaikan informasi ke daerah secara tepat dan berkala agar permasalahan perbedaan harga seperti kasus Meranti tidak terulang.

“Saya nggak khawatir bahwa Kemenkeu itu melakukan itu secara transparan, tapi problemnya adalah timing. Kecepatan. Itu problem mungkin. Timing-nya harusnya bisa disampaikan nanti ada perubahan DBH dan sebagainya karena perubahan harga minyak, penetapan harga berapa. Itu jadi harus disampaikan sehingga para pimpinan daerah, bupati bisa memperkirakan mereka akan mengalokasikan itu untuk ke apa saja,” kata Tauhid.

Tauhid menilai, Kemenkeu sudah melakukan hal yang tepat sesuai perundang-undangan. Ia sebut, Kemenkeu bisa dikenakan masalah bila asal dalam penentuan harga.

Oleh karena itu, Tauhid menyarankan beberapa hal. Pertama, pemda harus tabayun dulu. Kedua, Kemenkeu harus menyampaikan informasi soal DBH secara reguler yang dibutuhkan oleh daerah, tetap harus disampaikan ke daerah.

“Ketiga adalah kalau ada keluhan dan sebagainya memang harus ada semacam task force atau semacam istilahnya media untuk menyampaikan keluhan-keluham tadi,” kata Tauhid.

Tauhid menambahkan, “Sebenarnya mungkin Kementerian Keuangan betul, tetapi mekanismenya yang mungkin harus sering lagi.”

Kasus DBH Kepulauan Meranti Perlu jadi Pelajaran

Peneliti Kebijakan dari Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP), Riko Noviantoro menilai, pernyataan Adil adalah bentuk aspirasi Meranti yang tidak mendapat perhatian pemerintah pusat. Ia sebut, klaim Adil harus diperhatikan pusat karena tidak sedikit daerah berpotensi mengalami hal serupa.

“Ini suara yang harus kita tanggapi secara serius mengingat memang banyak daerah-daerah kita sebetulnya yang punya potensi kekayaan luar biasa, tetapi memang secara nyata tidak mampu menghidupkan masyarakat lokalnya,” kata Riko.

Riko mengatakan UU 1/2022 adalah regulasi yang dibuat untuk menyelesaikan masalah ketidakadilan antara daerah dan pusat. Ia menilai, keberadaan UU 1/2022 atau UU HKPD ini bisa menjadi penyeimbang daerah yang berpenghasilan besar dan kecil. Ini juga sebagai respons pemerataan daerah dan mencegah kejadian Meranti terulang.

“Kita harap kasus serupa bisa membaik dengan UU HKPD, sekarang masih disusun PP dan peraturan pendukung. Semoga bisa lebih baik,” kata Riko.

Ia mengaku tidak paham secara teknis soal DBH. Akan tetapi, Riko menyarankan agar pemerintah membuat skenario tambahan berupa insentif agar daerah berpotensi pendapatan besar bisa mendapat uang lebih.

“Maka untuk itu saya usul agar pemerintah berikan insentif tambahan bagi daerah berpotensi pendapatan besar. Melalui program kemudahan pendidikan, peningkatan sarana penunjang dan sebagainya,” kata Riko.

“Tidak hanya dalam bentuk transfer bagi hasil saja. Namun juga ditambahkan kemudahan lainya,” kata dia.

Baca juga artikel terkait DANA BAGI HASIL atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz