Menuju konten utama

Bupati Bantul Cabut IMB Gereja yang Ditolak Warga

Pencabutan izin mendirikan bangunan (IMB) Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Sedayu Bantul dilakukan karena dinilai tidak memenuhi syarat.

Bupati Bantul Cabut IMB Gereja yang Ditolak Warga
Bupati Bantul Suharsono memberikan keterangan kepada wartawan di ruang kerjanya, Senin (29/7/2019). tirto.id/Irwan A. Syambudi

tirto.id - Bupati Bantul Suharsono mencabut izin mendirikan bangunan (IMB) Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Sedayu Bantul. Pencabutan izin dilakukan karena dinilai tidak memenuhi syarat.

"Jadi itu [IMB GPdI Sedayu] keputusan saya adalah saya cabut karena ada unsur yang tidak memenuhi secara hukum," kata Suharsono saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (29/7/2019).

Ia menjelaskan, keputusan mencabut IMB ini berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh tim dari pemerintah kabupaten. Hasilnya IMB tersebut tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Peraturan Bupati (Perbub) Nomor 98 Tahun 2016.

"Ada unsur-unsur yang tidak memenuhi sehingga izin tersebut kami cabut," kata Suharsono.

Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekretariat Daerah Kabupaten Bantul, Bambang Guritno yang mendampingi Bupati menjelaskan lebih jauh soal alasan dicabutnya IMB tersebut.

Awal mula penerbitan IMB itu kata dia adalah didasari Surat Keputusan Bersama Menteri (SKB) Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 9 tahun 2016 dan nomor 8 tahun 2006. Dari SKB kemudian bupati mengeluarkan Perbub Nomor 98 Tahun 2016.

Dalam Perbub tentang pendirian tempat ibadah itu mengatur tentang pemutihan IMB tempat ibadah yang berdiri sebelum 2006 dan nyata-nyata digunakan sebagai tempat ibadah secara terus menerus.

Dalam aturan itu kata Bambang untuk mengajukan IMB rumah ibadah harus mencakup empat unsur yakni,

1. Bangunan didirikan sebelum 2006;

2. Sudah digunakan untuk tempat ibadah secara terus menerus atau permanen;

3. Bercirikan tempat ibadah;

4. Memiliki nilai sejarah.

"Yang utama yang tidak dipenuhi [saat pengajuan IMB GPdI Sedayu] dari empat unsur tersebut salah satunya tidak dilakukan [ibadah] secara terus-menerus," kata dia.

Kalau bangunan kata Bambang memang sudah berdiri sejak 2006, tapi tidak digunakan sebagai tempat ibadah secara terus menerus. Sehingga hal itu tidak memenuhi kriteria IMB yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah.

Hal ini kata dia juga telah dilakukan klarifikasi dan verfikasi lapangan oleh tim yang dikoordinatori oleh Kemenag, bersama tim terpadu yang terdiri dari Kesbangpol, bagian hukum, DMPT, dan Satpol PP.

"Dapat dibuktikan secara fakta di lapangan menurut saksi masyarakat setempat lingkungan di situ. Termasuk Pak Sitorus [Pendeta GPDI Sedayu] secara lisan juga mengatakan tidak digunakan secara terus-menerus," kata dia.

Atas dasar itulah kata dia Bupati Suharsono kemudian mencabut IMB GPdI Sedayu. Hal ini tertuang dalam Keputusan Bupati Bantul Nomor 345 Tahun 2019 tantang Pembatalan Penetapan GPdI Sedayu sebagai Rumah Ibadah yang Mendapatkan Fasilitas Penerbitan IMB Rumah Ibadah.

Sebelumnya warga RT 34 Kampung Gunung Bulu, Dusun Bandut Lor, Desa Argorejo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta menolak berdirinya GPdI Sedayu yang semula diperuntukkan sebagai rumah tinggal atau rumah pribadi.

Ketua RT 34 Samsuri (52) mengatakan yang menjadi alasan warga menolak pendirian gereja itu karena pemilik tanah yakni Tigor Yunus Sitorus (49) telah menandatangani surat perjanjian yang menyatakan bahwa tanah itu hanya akan didirikan rumah tinggal bukan rumah ibadah.

"Ini cukup meresahkan karena Bapak Sitorus menjadikan itu rumah ibadah tanpa sepengetahuan kami," kata Samsuri saat mediasi di Kecamatan Sedayu, Selasa (9/7/2019).

Ia menjelaskan bahwa sejak 2003 Sitorus telah menandatangani surat yang menyatakan bahwa "rumah yang saya bangun di wilayah RT 35 Gunung Bulu, Badut Lor, Argorejo, Sedayu, Bantul hanya untuk tempat tinggal" seperti dikutip dari salinan surat pernyataan yang ditunjukkan Samsuri.

Kedua ia menyatakan "pembangunan akan saya lanjutkan setelah IMB selesai". Kemudian dalam penutup surat itu terdapat kalimat "apabila ada penyimpangan dikemudian hari dari pernyataan saya ini, saya bersedia dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku".

Surat pernyataan yang ditunjukkan Samsuri tersebut ditandatangani Sitorus pada 10 April 2003. Selian itu ada juga tanda tangan Ketua RT 34, Kepala Dukuh, Kepala Desa, Camat, Kapolsek, Danramil yang saat itu menjabat, lengkap dengan stampel dari instansi masing-masing.

Surat itulah yang menjadi dasar penolakan terhadap aktivitas ibadah yang beberapa bulan terakhir kata Samsuri intens dilakukan di rumah Sitorus.

"Menurut kami Bapak Sitorus mengkhianati perjanjian yang telah disepakati," ujarnya.

Oleh karena itu kata Samsuri warga ingin agar Sitorus kembali menaati surat pernyataan yang telah ia tanda tangani. Serta dalam rapat RT kata dia warga ingin rumah milik Sitorus tidak lagi digunakan sebagai tempat ibadah.

"Keinginan warga agar tempat tinggal Pak Sitorus tetap menjadi tempat tinggal. Itu yang dikekehi oleh masyarakat kami," ujarnya.

Salah seorang warga Kampung Gunung Bulu Sunardi (59) mengatakan bahwa warga merasa dihianati karena Sitorus telah melanggar surat pernyataan yang telah ia tandatangani.

"Kami tidak pernah melarang Pak Sitorus melaksanakan ibadah tapi kalau melakukannya di lingkungan Gunung Bulu kami masyarakat menolak," kata Sunardi.

Sitorus juga merupakan seorang pendeta mengatakan bahwa pada 2003 saat pertama kali membeli tanah seluas 335 meter persegi di Kampung Gunung Bulu itu memang hendak ia dirikan sebagai gereja. Namun niatnya itu mendapatkan penolakan warga.

"Tiba-tiba saat kami bangun itu [bangunan setengah jadi] dirobohkan. Saya tidak tahu siapa yang merobahkan. Kemudian saya mendapatkan panggilan dari kelurahan untuk pertemuan mediasi," kata dia.

Saat mediasi itulah kata Sitorus ia terpaksa menandatangani surat pernyataan yang berisi bahwa tanah miliknya tersebut tidak akan didirikan tempat ibadah.

"Kami berada dalam tekanan dan disuruh membuat pernyataan yang sebenarnya bukan saya yang membuat," kata dia.

Saat pertemuan itu kata Sitorus ia hanya diwawancarai tetapi tidak menyusun redaksi surat secara langsung. Baru beberapa hari setelahnya ia didatangi kepala dukuh untuk menandatangani surat pernyataan itu.

"Setelah tanda tangan saya tidak pernah mendapatkan salinan surat itu," kata Sitorus.

Seiring berjalannya waktu, Sitorus kemudian mendirikan bangunan untuk rumah tinggal. Namun setelah adanya kebijakan pemutihan IMB tempat ibadah ia mencoba mengajukan izin ke pemerintah Kabupaten Bantul.

Pengajuan izin pada 2017 itu didasari Perbub Kabupaten Bantul nomor 98 tahun 2016 tentang pedoman pendirian tempat ibadat.

Gayung bersambut, pengajuan Sitorus diterima pemerintah, ia kemudian mengantongi IMB per 15 Januari 2019. Sejak awal April 2019 lalu ia kemudian resmi menggunakan rumahnya menjadi Gereja Pantekosta di Indonesia Immanuel Sedayu untuk ibadah umat.

Baca juga artikel terkait GEREJA atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Nur Hidayah Perwitasari