Menuju konten utama

Bupati Banjarnegara Tersangka: Klaim Gaji Kecil, Terjerat Rasuah

Bupati Banjarnegara pernah mengklaim menyesal maju jadi kepala daerah karena gaji kecil. Ia sebut pasti korupsi dan ternyata ia benar-benar korupsi.

Bupati Banjarnegara Tersangka: Klaim Gaji Kecil, Terjerat Rasuah
Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono mengenakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Jumat (3/9/2021). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/aww.

tirto.id - "Kalau tadinya saya tahu gajinya segini jadi bupati, saya nggak nyalon. Demi Allah saya nggak nyalon. Ngertinya saya antara Rp200 juta-150 juta."

Pernyataan Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono tentang gaji bupati kecil kembali ramai usai ia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Kala itu, Budhi mengeluh gaji dan tunjangan bupati hanya sekitar Rp5,9 juta. Dalam wawancara tersebut, Budhi sempat menyinggung kemungkinan kepala daerah korupsi akibat gaji yang terlampau kecil.

"Pasti, harus itu. Bukan potensi. Harus korupsi [... ] lama-lama kan jadi mikir. Kita punya partai, kita punya tim sukses, kita punya konstituen. Benar gak mas? Semua harus dirawat," kata Budhi dalam wawancara tersebut.

Hampir satu tahun kemudian, tepatnya pada Jumat (3/9/2021), Budhi akhirnya menggunakan rompi oranye. Ia menjadi tahanan KPK. Lembaga antirasuah menduga Budhi telah melakukan korupsi dengan cara meminta komitmen "fee" proyek sebesar 10 persen setelah menaikkan harga perkiraan sendiri (HPS) proyek pekerjaan di Banjarnegara sebesar 20 persen. KPK menduga, Budhi meraup uang korupsi hingga Rp2,1 miliar.

"Diduga BS telah menerima komitmen fee atas berbagai pekerjaan proyek infrastruktur di Kabupaten Banjarnegara, sekitar sejumlah Rp2,1 Miliar," kata Ketua KPK Firli Bahuri saat konferensi pers, Jumat (3/9/2021).

Usai diperiksa dan diumumkan sebagai tersangka, Budi membantah tuduhan KPK tersebut. Ia mengklaim tidak pernah korupsi.

"Saya tadi diduga menerima uang Rp2,1 miliar. Mohon untuk ditunjukkan yang memberi siapa? Kepada siapa? Silakan ditunjukkan dan pemberinya siapa yang memberikan ke saya. Insya Allah saya tidak pernah menerima pemberian dari para pemborong semua," kata Budhi di Gedung KPK.

Budhi bahkan menyebut perusahaan Bumi Redjo yang dikaitkan dengan modus korupsi tidak terlibat proyek. "Perusahaan Bumi Redjo itu milik orangtua saya, bukan milik saya. Tidak ikut [proyek]" kata Budhi sambil memastikan ikut dalam proses hukum KPK.

Gaji Kepala Daerah Pengaruhi Niat Korupsi?

Kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah di Indonesia tidaklah sedikit. Dinukil dari laman resmi KPK, penindakan terhadap kepala daerah baik gubernur dan bupati maupun wali kota tembus 121 kasus dari sejak KPK berdiri hingga 2018. KPK mencatat, 101 adalah bupati/wali kota dan 20 kasus adalah gubernur.

Sementara berdasarkan catatan Antara hingga Februari 2021, KPK telah menetapkan 126 kepala daerah sebagai tersangka yang terdiri dari 110 bupati/wali kota dan wakilnya serta 16 gubernur. Angka tersebut belum termasuk kasus Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah yang jadi tersangka pada 28 Februari 2021 serta kasus setelahnya.

KPK pun sudah memetakan modus korupsi kepala daerah demi mencari keuntungan seperti lewat pengadaan barang dan jasa, pengelolaan kas daerah, hibah dan bantuan sosial (bansos), pengelolaan aset hingga penempatan modal pemda di Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau pihak ketiga.

Selain metode tersebut, para kepala daerah juga melakukan korupsi pada sektor penerimaan daerah mulai dari pajak dan retribusi daerah maupun pendapatan daerah dari pusat, korupsi di sektor perizinan mulai dari pemberian rekomendasi hingga penerbitan perizinan, dan benturan kepentingan serta penyalahgunaan wewenang dalam proses lelang jabatan, rotasi, mutasi, dan promosi ASN di lingkungan pemerintahannya.

Kepala daerah yang bernasib seperti Budhi yang mencari untung lewat mark up proyek tidak sedikit. Bupati Indramayu Supendi contohnya. Ia ditangkap KPK pada 15 Oktober 2019 karena diduga menerima suap senilai Rp3,9 miliar dari para pengusaha terkait proyek.

Contoh lain adalah mantan Bupati Muara Enim Ahmad Yani. Ia divonis 5 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan karena terbukti menerima suap dari kontraktor terkait proyek di Muara Enim.

Pegiat antikorupsi sekaligus peneliti Transparency Internasional Indonesia (TII) Wawan Heru Suyatmiko menilai permasalahan gaji tidak bisa menjadi pemicu kepala daerah untuk korupsi. Apalagi, kata Wawan, kepala daerah punya tunjangan besar. Jika memang gaji dan tunjangan masih rendah, maka aneh bila seorang kepala daerah masih bertahan hanya dengan dalih gaji.

"Ya logikanya gini. Kalau lu gaji rendah mundur dong. Nyatanya juga nggak. Dia menikmati itu kok," kata Wawan saat dihubungi reporter Tirto, Senin (6/9/2021).

Wawan menilai, kepala daerah yang menggunakan alasan gaji kecil hanya sebagai upaya pembenaran saja. Ia beralasan, kepala daerah seharusnya sudah sadar sejak mereka masih calon kepala daerah bahwa ada situasi mahar politik, gaji rendah maupun potensi korupsi politik.

Ia tidak memungkiri hasil riset KPK bahwa 80 persen lebih kepala daerah akhirnya korupsi akibat berusaha mengembalikan uang sponsor saat hendak maju sebagai kepala daerah. Situasi tersebut berbeda dengan ASN yang korupsi karena memang akibat kebutuhan.

Oleh karena itu, Wawan melihat beberapa kepala daerah yang bekerja dengan baik justru tidak lanjut karena memitigasi masalah-masalah politik seperti soal mahar politik, korupsi politik serta masalah lain. Ia mencontohkan eks Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo maupun eks bupati lain yang akhirnya mundur atau tidak maju lagi.

"Kasus [bupati] Probolinggo, apa gaji kecil? Nggak lah. Kasusnya dinasti politik. Jadi dimensinya banyak. Dimensi korupsi banyak, bukan gaji kecil. Gaji kecil itu hanya alasan aja. Itu omong kosong," kata Wawan.

Wawan mengatakan tidak sedikit kepala daerah justru mengalami kenaikan harta saat menjadi kepala daerah maupun pejabat. Hal tersebut bisa dilihat dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

Sebagai catatan, laporan kekayaan Bupati Banjarnegara untuk pelaporan 2019 dalam pelaporan 2 April 2020 sebesar Rp19.756.271.453. Pelaporan berikutnya, yakni pelaporan harta kekayaan pada 25 Januari 2021 untuk tahun pelaporan 2020, harta Budhi menjadi Rp23.812.717.301 atau naik sekitar Rp4 miliar.

"Kalau ada kenaikan, gaji nggak masalah, wong harta kekayaan naik. Gak ada kok pengalaman kita, pengalaman di Indonesia LHKPN-nya turun, nggak ada. Juliari baru setahun saja [menjabat mensos] naik sekian kali lipat," kata Wawan.

Oleh karena itu, sudah banyak cara mencegah korupsi seperti penerapan single submission, transparansi proyek dan mencegah aksi politik uang sejak dini. Namun, kata Wawan, semua kembali kepada kepala daerah untuk korupsi atau tidak.

Sementara itu, dosen ilmu politik Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin tidak memungkiri pernyataan Budi tentang gaji kecil akan memicu korupsi. Namun, kata dia, ada hal yang bisa dikelola lebih besar demi kepentingan politik, yakni APBD.

"Gaji kecil itu salah satu pemicu korupsi kepala daerah. Karena kecil, maka akan cari uang dari APBD," kata Ujang.

Ujang mengingatkan, pendapatan kepala daerah besar daripada sekadar gaji. Para kepala daerah bisa mendapat fasilitas mewah dan dihormati sebagai "raja daerah." Selain itu, APBD bisa digunakan untuk kongkalikong dengan pengusaha sehingga muncul aksi ijon. Hal itu yang membuat pendapatan kepala daerah besar.

"Prestisenya jadi penguasa daerah. Gaji memang kecil, tapi pendapatan kan besar," kata Ujang.

Ujang pun mengatakan, masalah korupsi kembali kepada individu. Menurut Ujang, kepala daerah akan rakus dan korup bila tidak mengontrol diri agar hidup sederhana dan menjaga amanah publik.

"Idealnya, ya jangan korupsi berapapun gajinya. Buktinya gaji kecil pun mereka hidupmya mewah-mewah. Jaga amanah rakyat dengan baik. Karena walaupun gaji dinaikkan, jika sikap rakusnya besar, maka tetap akan korupsi," kata Ujang.

Baca juga artikel terkait KASUS KORUPSI BUPATI BANJARNEGARA atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz