Menuju konten utama
Cak Met:

"Bunyi Kendang Bisa Ditiru, Rasa Tidak"

Bermain kendang dan mengeksplorasi bunyi dan ketukan sejak belia, Cak Met termasuk salah satu jiwa dangdut koplo paling artikulatif saat ini.

Tracing Cak Met

tirto.id - Kemunculan dangdut koplo turut membawa pemain kendang ke lampu sorot. Di atas panggung dangdut koplo, pemain kendang adalah pusat dari segalanya. Ia menentukan ritme, mengatur kapan mesin joget digeber.

Dari sekian banyak pemain kendang, Slamet Rudi Hartono alias Cak Met, yang bergabung dengan New Pallapa sejak 1998, menjadi banyak jujugan pemain kendang lain. Penggemarnya membuat julukan luhur bagi Cak Met: Ky Ageng. Di Facebook, laman penggemarnya berisi sekitar 15 ribu anggota.

Gaya bermainnya yang santai (seringkali menaruh kaki di atas kendang, atau main sambil merokok), juga kegemarannya melakukan improvisasi pukulan serta eksplorasi kendang, membuat namanya disebut-sebut sebagai salah satu pelopor kendang koplo. Namun Cak Met menampik anggapan itu. Ia menilai tak akan bisa menyebut siapa penemu dangdut koplo, karena itu akan berujung saling klaim.

“Yang penting main saja, dan bikin orang senang,” ujarnya.

Saya bertamu ke rumahnya, di Gresik, Jawa Timur, untuk berbincang tentang masa kecilnya, perkenalannya dengan dangdut, bagaimana caranya menentukan set kendang, hingga bagaimana ia menyukai lagu-lagu Rhoma Irama.

Sejak kapan Cak Met belajar main kendang?

Aku belajar main kendang dari kecil. Kelas 5 SD sudah naik panggung. Umur 10 tahun sudah ngamen ke mana-mana. Keliling kampung-kampung. Bawa gerobak, isinya aki dan ampli. Pengamennya cowok-cowok semua. Enggak mikir apa-apa. Sampai sekolah enggak selesai, putus SMP kelas 1. Ya di kampung itulah. Nongkrong. Ada kendang, aku main. Ayahku pemain kendang Jawa, di wayang dan ludruk. Ibuku sinden.

Sebagai orang yang bermain koplo sejak awal kemunculannya, bisa dijelaskan seperti apa perbedaan kendang dangdut koplo dan dangdut biasa? Apakah ada perbedaan?

Beda. Beda jauh. Tapi mungkin bedanya masalah bunyi. Ketukannya sih sama. Yang membedakan adalah suara. Kalau dangdut ini banyak tabla. Cara mukulnya juga khas tabla. Selain itu banyak yang sekolah tabla juga. Kalau koplo, mau sekolah di mana? Wong enggak ada sekolahnya.

Ada pengaruh kendang Jawa itu di dangdutan koplo? Kalau di daerah Sidoarjo dan sekitarnya, apakah ada pengaruh dari Jaipong atau kendang Jawa?

Kalau aku, pengaruh dicampur aja. Udah enggak mikir pengaruh dari mana. Yang penting enak didengar. Apakah pas atau enggak. Kalau dipukul enak, ya udah. Sikat saja.

Menurut Cak Met, siapa sih yang menciptakan, atau yang pertama kali main kendang koplo?

Koplo ya muncul di Jarak. Kalau ngomong siapa pencipta, malah bakal jelek. Karena semua bakal mengklaim. Nanti si A bilang dia yang bikin, terus di B bilang dia yang bikin. Wah, ruwet. Sama-sama enggak tahu.

Jadi saya tidak bisa nyebut siapa yang pertama. Jadi kalau aku mikirnya gimana mainku bisa bikin orang joget. Dulu sih (musik koplo itu) dimainkan di kafe, ya mabuk-mabuk gitu. Pada mabuk semua mainnya. Kalau koplo itu memang enak buat joget.

Kalau koplo itu ada eco-nya, perasaan enak. Kalau dangdut, kalau sedih ya nangis. Kalau koplo, lagu sedih ya tetap joget. Sudah enggak mikir itu lagu sedih apa enggak. Tidak aneh-aneh.

Bagaimana seorang Cak Met menjelaskan teknik permainan kendangnya?

Kalau menurut aku pribadi, akan beda belajar kursus dengan otodidak. Kalau belajar dari kursus, ada kuncinya, ada pakemnya. Kalau aku, enggak mikir ke sana. Kalau aku tepuk enak, ya wis itu yang ditepuk. Enggak mikir kunci atau pakem. Paling ya kalau siang panas, kendangnya dilonggarkan. Kalau malam, dikencengin. Enggak pakai main tune ini atau itu. Semua sesenang hati.

Kalau anak lain kadang tanya, 'Cak ini tak-nya main di kunci A atau B atau C?' Aku enggak bisa jawab. Karena yang main ya hati. Tapi ya sebenarnya ada tekniknya. Tabla juga, ada cara mukulnya segala. Tapi kalau aku pribadi, enggak punya.

Di wilayah Surabaya ini ada buanyak yang bisa main kendang. Anak-anak kecil juga sudah jago main kendang, jago main tabla. Anak-anak kecil itu banyak yang pengin belajar. Kadang anakku bawa kendang, belajar main kendang sama temen-temennya.

Di sini berarti anak-anak kecil langsung belajar kendang koplo?

Iya koplo, pasti koplo. Soalnya sudah terpengaruh, ngedengerin koplo tiap hari. Akhirnya ya main bebas, seenak sendirinya aja. Koplo itu enggak ada pakemnya. Koplo itu yang penting satu: bisa bikin orang joget dan seneng. Tapi tetep enggak semudah yang dibayangkan.

Orkes koplo pertama ini siapa, sih? Katanya Palapa, Monata?

Enggak bisa mengamati gitu. Kalau di sini cara mengamatinya, musik koplo itu di Jarak. Di kafe-kafe. Semua main koplo. Tapi ya buat di sana saja. Kalau saya, coba niru dan mengembangkan. Kalau orang menerima, kan, artinya bagus. Dulu ya banyak yang enggak nerima. Saya sih cuma bagian pemasaran saja, enggak aneh-aneh (tertawa). Lewat VCD bajakan. Kalau enggak ada VCD bajakan itu, ya mungkin terkenal di area lokal saja.

Ramainya VCD bajakan itu sekitar 2000, ya?

Sebelum itu malah. Tapi ramainya ya 2002, 2003. Enggak keruan itu. Banyak label bikin VCD bajakan. Terserah, saking banyaknya.

Tapi waktu itu di Surabaya, Sidoarjo, Gresik, ada enggak sih label resmi yang bikin video koplo, misal di Banyuwangi ada Samudera Records?

Di sekitaran sini ya ada Perdana Records dan CHGB Record. Lainnya pasti mikir. Ini mereka resmi. Izin. Legalitasnya jelas. VCD bajakan itu ada untung ruginya sih. Untungnya, ya lagunya cepat terkenal. Tapi orang jiwa seni ini sebenarnya enggak mikir untung rugi. Rezeki itu punya jalannya sendiri, kadang enggak langsung.

Peredaran koplo itu awal-awal susah?

Iya. Abah Reso (menunjuk Reso yang duduk di sebelahnya, pemimpin OM Armega yang termasuk generasi OM awal di Jawa Timur) ini bikin CD koplo, awal-awal ya ditelepon, ditanya musik apaan ini. Kami disepelekan. Dianggap merusak musik (dangdut). Tapi aku mikirnya ya main sajalah. Kalau sore, santai main kendang sambil nongkrong.

Sekarang, setelah koplo populer, orang-orang itu bikin julukan macam-macam. Bikin julukan Ky Ageng, misalnya. Kadang bikin takut (di hati, takut sombong). Padahal aku ya enggak pengin aneh-aneh. Biasa ajalah harusnya. Aku sebenarnya penginnya biasa saja. Cuma ya terkadang orang-orang kayak gitu.

Aku ya berteman dengan banyak orang yang suka dangdut koplo. Aku bilang ke mereka, enggak usah nganggep aku sebagai artis atau apa. Aku malu. Mending biasa saja, jadi teman.

Di kendang itu ada rivalitas enggak sih, seperti dibanding-bandingkan?

Kalau pemain kendang dibanding-bandingin itu wajar. Aku enggak pernah mikir sih. Yang bandingin penonton. Karakter pemain kendang kan beda-beda. Tapi fokusku ya cuma siji: main.

Di YouTube, misalnya. Ada yang menulis judul, Cak Met versus siapa. Seolah-olah musuhan. Ngadu. Padahal ya pemain kendangnya santai wae, aku ya ngopi sama Cak Juri, ketawa-ketawa saja. Kalau Cak Juri berhalangan main untuk Monata, ya aku yang gantiin. Kadang ditelepon, Cak Juri lagi sakit dan aku diminta menggantikan. Ya aku main. Jadi kalau ada kayak gitu, mengadu, ya enggak usah dibaca. Kalau kepancing, ya pasti ribut. Enggak usah diurusi kayak gitu.

Kebanyakan pemain kendang yang terkenal ini otodidak?

Soalnya musik koplo enggak ada sekolahnya. Harus dengerin permainan orang lain.

Bagaimana proses memasukkan senggakan dalam lagu? Apakah ada semacam tanda atau momentum?

Itu terserah yang main kendang. Di tengah, bisa. Langsung dikoplo ya sikat wae. Kalau di New Pallapa ya enggak ada janjian. Semua langsung paham. Kadang di tengah, kadang di-koplo. Kadang kalau aku senang lagunya, dari awal langsung tak koplo. Paham semua.

Koplo ini ketukannya enggak selalu cepat?

Ya bisa juga. Gimana ya nyebutnya. Bingung aku. Kadang ikut tempo. Kadang ya dicepetin. Misal kecepatan 80, aku jadikan 160. Aku pernah rekaman lagu 3/4. Temponya lambat. Ya gimana ya, enggak enak buat joget.

Pemain kendang ini kunci ritme di koplo?

Iya, dangdut juga. Pokoknya kendang. Semua ngikutin apa kata pemain kendang, ketukannya ada di kendang. Semua yang megang kendali itu kendang. Makanya, di OM, kalau yang pegang kendali itu bukan kendang, pasti enggak jadi (amburadul).

Yang paling susah itu jangan bermain dengan mengandalkan ego masing-masing. Saling memasrahkan diri saja. Kalau mengunggulkan kemampuan sendiri-sendiri, ya enggak jadi. Kuncinya: saling menutupi kesalahan teman-teman. Memang susah, sih. Wong kadang band yang sudah besar saja masih bisa ribut perkara ego. Terus bubar. Aku juga banyak ganti musisi.

Biasanya di orkes koplo ini ada cadangan pemain kendang?

Ada. Kalau di New Pallapa, pemain cadangane adikku sendiri. Segala sesuatu, dari pendengaran, ya enggak munafik, pasti ada perbedaan. Tapi ya jangan sampailah. Aku pernah sakit seminggu, malam mau berangkat langsung kerasa sakit.

Itu kalau mendadak gimana latihannya?

Sudah biasa itu, sudah profesional. Sudah hafal, lagu ini seperti apa. Kalau sekarang, kalau ada lagu baru, belajar sendiri-sendiri di rumah. Baru latihan. Tetap harus latihan.

Dulu enggak gitu, lebih bebas. Kalau dulu dengar musik sendiri-sendiri, terus langsung dimainkan di panggung. Kalau sekarang enggak berani. Karena tiap lagu punya coraknya masing-masing. Lagu sama, kadang musiknya beda. Tapi ya ada lagu yang tetap eco, uenak. Kayak lagu-lagunya Rhoma Irama. Lagunya Rhoma itu gampang diinget, dibikin apa pun tetap enak. Kalau main lagu Rhoma, pasti enak dikoploin. Rasanya adem di hati.

Semua lagu itu bisa dijadikan koplo?

Semua lagu bisa. Asalkan tahu selanya. Ketukannya. Ada lagu yang tidak bisa dikoplo, misal 3/4, dibikin koplo. Beda, sih, ngganjal. Tapi kami harus pintar-pintar. Disiasati, misalkan melodi dipanjangin sedikit. Misalkan lagu "Menunggu" yang harusnya tidak bisa dikoplo, karena ketukan 3/4. Tapi akhirnya dikulik, dicari caranya. Ketukannya harus pas 4/4.

Kalau koplo itu pasti ketukannya 4/4?

Pasti. Sebenarnya koplo itu, kalau berani, 3/4 pun bisa juga. Cuma pukulannya akan jadi monoton. Variasinya enggak akan bisa banyak. Kalau banyak ya buyar. Aku sering mengubah lagu. Lagu kalem, aku speed. Modalku ya keberanian aja. Ya walaupun mungkin ada beberapa yang enggak terima musiknya diobrak-abrik gitu.

Pernah diprotes karena dianggap mengobrak-abrik lagu?

Pernah dulu. Awal-awal ya sering. Beberapa musisi (dangdut konvensional) juga pernah datang, istilahnya menertibkan. Juga minta royalti.

Tapi sekarang di YouTube, istilahnya menang. VCD dan kaset bajakan sudah enggak ada. Tapi ada YouTube. Sudah kadung meledak. Uangnya itu banyak. Kalau aku mau ngurusin (royalti), ya bisa kaya. Tapi aku enggak pernah ngurusin itu. Kadang-kadang ada yang ngirim pulsa. Aku enggak aneh-aneh. Kadang-kadang juga ada yang ngasih uang. Sebulan ngasih Rp2 juta, Rp3 juta. Kadang aku bingung, aku enggak kerja apa-apa tiba-tiba dikasih uang.

Kalau bikin lagu, Cak Met langsung pakai kendang?

Tetap pakai gitar sih. Saya bisa sedikit-sedikit main gitar, atau keyboard. Karena pengin ngerti gimana cara mainnya. Kadang waktu main, temenku bilang ini suaranya agak fals. Itu yang benar, saling mengingatkan. Aku juga selalu bilang ke temen-temen, kalau aku salah fill atau fals, tolong dibilangin, diingetkan. Sama-sama belajar.

Karena seenak-enaknya (permainan) manusia, pasti sesekali ada enggak enaknya. Enggak ada pemain yang sempurna. Jadi kadang kalau di panggung terus aku salah, ya ketawa-ketawa aja. Kalau dipikir sambil emosi, bikin pusing. Kadang, kan, lupa lagunya, jadinya ikut aja mainnya. Bondo nekat.

Sejak dangdut koplo makin populer di kalangan anak muda, apa pengaruh ke jadwal manggung jadi makin banyak?

Jadwal manggung itu bukan dari penyanyi. Tapi ya kadang ada gini, orang booking OM Sera, ada syarat harus ada Via Vallen, misalkan. Tapi pertanyaanku: si pengundang ini mau nanggap orkes atau penyanyi? Kalau mau nanggap orkes, ya ikut saja siapa penyanyi mereka. Kalau kamu nanggap penyanyi, ya silakan undang dia, lalu cari orkesnya.

Tapi memang patokan orkes ini penyanyi. Ada ikon. Misalkan Monata, ikonnya itu Sodiq. Kadang kalau ikonnya berhalangan hadir, honornya pasti turun. Kalau enggak ada ikon, ada pengundang yang enggak mau, membatalkan. Ada yang pernah membatalkan tiga kali, biar ikon ini jadwalnya pas.

Bayaran per manggung meningkat?

Diamati saja seluruh OM di Indonesia. Misalkan ya Sera, New Pallapa, Monata, Lagista. Masalah, mohon maaf, honor ya? Tergantung dari OM dan orangnya masing-masing. Tergantung individu. Jadi relatif.

Sistem bayarannya bagaimana, apakah honornya dibagi rata?

Ya beda. Tergantung pengalaman juga. Pasti ada beda dan selisihnya. Tapi enggak enak kalau nyebutin angka.

Tapi Cak Met boleh ya misalkan disewa OM lain? Ada kontrak enggak ?

Bebas. Justru kalau kontrak itu malah enggak enak. Aku dulu pernah dikontrak, tapi ya kurang enak. Asalkan enggak bentrok jadwal, bebas ikut OM mana saja.

Benar enggak sih ada semacam pembagian tak terlihat, misalkan: di kawasan Nganjuk, Madiun, sampai Sragen, itu wilayahnya Lagista atau Sagita. Kalau di kawasan Mojokerto, Sidoarjo, Gresik, tapal kuda, itu wilayahnya Monata, New Pallapa, Sera.

Itu ada benarnya. Seperti wilayah Kertosono, Nganjuk, Madiun, Ponorogo, Ngawi, bahkan Solo, Sragen, Boyolali, secara musik itu, kan, ada jaranannya. Seperti Lagista. Kalau New Pallapa enggak bisa nembus. Masalah wilayah. Jadi kalau manggung, susah. Ya mungkin juga soal harga. Bisa juga perbedaan musikal. Orang, kan, punya selera masing-masing.

Kenapa koplo itu kok tumbuh di Jawa Timur?

(Terdiam beberapa lama, berpikir) Aku sendiri enggak tahu jawabannya. Lahirnya memang di Jawa Timur. Itu pun tidak bisa didefinisikan. Gimana ya. Bingung. Merambat, sih. Pelan-pelan. Dari Jawa Timur, lalu sampai Jawa Tengah, kemudian ke Jakarta.

Jadi masih belum ada jawabannya. Kan ada yang bilang karena orang Jawa Timur ekspresif.

Kalau soal itu, kayaknya enggak juga. Tapi bisa juga ditanyakan kenapa kok banyak yang merujuk ke OM koplo Jawa Timur? Misalkan dulu, OM Moneta (bukan Monata) dari Surabaya yang tampil di TPI. Kenapa enggak ngundang OM dari Jakarta saja? Mungkin soal skill permainan. Bukan buat rekaman ya, skill di panggung. Kan, itu berbeda. Misalkan ada yang jago main di studio, main di panggung jelek. Kalau Moneta ini di panggung oke, di studio juga oke.

Settingan kendang Cak Met bagaimana?

Ada yang 7 kendang, ada yang 9. Isinya 8 tak, 1 dem. Aku kadang cuma sekadar pengin nyoba. Pakai 3 pun enak-enak saja. Kadang aku eksplorasi. Kadang aku sendiri getun, ngapain kok nambah-nambahi. Kadang dikasih tabla, aku pasang. Aku dapat lagi, aku pasang lagi. Mikrofonnya sendiri-sendiri, tukang sound-nya bingung (tertawa).

Tapi Cak Met paling nyaman main berapa kendang?

Main berapa aja, enggak ada cerita enggak nyaman. Sama saja, sih. Meski main dua ya bisa saja. Tapi kalau ada tambahan, kan ada seni barunya. Kendangku dari mana-mana, ada kendang dari Banyuwangi, Pati, Cirebon, Bandung. Ada semua. Jadi seninya koplo itu merangkum semua kendang. Jaipongan ada. Banyuwangian ada. Tapi ya kembali lagi selera saja. Kalau aku, aku campur aduk saja. Asal kedengarannya enak.

Aslinya pelajaran kendang itu, dipelajarin siapa saja bisa. Yang enggak bisa ditiru itu: rasanya. Eco-nya.

Bisa enggak sih kendang koplo diajarkan di sekolah-sekolah?

Mungkin saja, kalau gurunya berani, ya bisa. Kalau aku pribadi, enggak berani. Beberapa orang minta tolong aku buat ngajari. Aku enggak berani, aku bukan guru. Caraku ngajari ini bukan aku nyuruh murid untuk main seperti ini seperti itu. Tidak. Aku tidak bisa ngajari. Jadi aku suruh dia lihat saja. Meniru bunyi suara, atau cara memukul.

Jadi intinya adalah rasa. Itu paling sulit. Suatu pekerjaan apa pun kalau enggak main rasa, ya enggak akan jadi. Harus ada rasanya dulu. Kalau sudah ada rasa, nanti jadi. Banyak orang yang punya skill hebat, tapi kalau enggak pakai rasa, ya kering. Istilahnya, enggak ada rasa. enggak eco.

Baca juga artikel terkait DANGDUT KOPLO atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Fahri Salam