Menuju konten utama

Buntut Pembunuhan Polisi di Papua, Indonesia dan OPM Saling Ancam

Pembunuhan terhadap polisi di Papua direspons keras oleh pemerintah Indonesia. Organisasi HAM ingatkan hak hidup warga sipil.

Buntut Pembunuhan Polisi di Papua, Indonesia dan OPM Saling Ancam
Ilustrasi Kekerasan bersenjata di Papua. tirto/Gerry

tirto.id - "Kami tetap lawan. Serang balik. TNI-Polri tidak tahu hutan kami,” kata Sebby Sambom yang mengklaim juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).

Pernyataan Sebby untuk membalas pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Kedua pejabat tinggi itu meminta pemerintah Indonesia menyerang balik pembunuh Briptu Heidar, anggota Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Papua. Personel Polri kelahiran Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, ini tewas ditembak oleh anggota kelompok bersenjata OPM pada awal pekan ini.

Sebby mengklaim Briptu Heidar dibunuh oleh pasukan Komando Panglima TPNPB-OPM di Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak. Perintah pembunuhan itu berasal dari Panglima Tinggi Goliath Tabuni dan Komandan Operasi Umum Lekagak Telenggen.

“Namanya musuh pasti target. Indonesia juga buat target terhadap TPNPB-OPM,” kata Sebby, yang pernah dihukum penjara pada 2008 hingga 2011 karena mendukung kemerdekaan Papua.

Sebby mengklaim tuntutan politik Papua tanpa jalur kekerasan bisa dilakukan pemerintah Indonesia lewat mediasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Karena pemerintah Indonesia memberangus tuntutan itu lewat jalur kekerasan dengan pengerahan tentara dan polisi, ujar Sebby, maka kelompoknya pun mengangkat senjata.

“Pemerintah Indonesia jangan korbankan prajuritnya,” kata warga Wamena ini.

Jusuf Kalla kesal atas penyanderaan dan pembunuhan Briptu Heidar. Kemarin di kantornya, Kalla yang dituding gagal paham mengenai hak asasi manusia, menyatakan pelaku pembunuhan harus “diserang balik”.

Sementara Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menilai TPNPB-OPM sebagai "pemberontak" sehingga pemerintah Indonesia harus menumpasnya.

"Adakan operasi," ujarnya. "Hajar betul."

"Kalau tidak bisa menyelesaikan, nanti saya ikut menyelesaikan," tambah Ryamizard, yang punya latar belakang buruk dalam penghargaan hak asasi manusia, termasuk menyebut anak buahnya sebagai "pahlawan" setelah membunuh Ketua Presidium Dewan Papua Theys Hiyo Eluay pada 10 November 2001.

Kronologi Pembunuhan versi Polisi

Kepala Bidang Humas Polda Papua Kombes AM Kamal mengaku mendapatkan informasi ihwal penyanderaan Briptu Heidar pada Senin kemarin pukul 11.00 waktu setempat.

Sementara Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo berkata kepada para wartawan di Jakarta bahwa Briptu Heidar saat itu tengah menyelidiki kasus pidana. Ada isu bahwa di daerah Kabupaten Puncak kelompok bersenjata OPM menganiaya, mengancam, dan memerkosa warga.

Briptu Heidar dan rekannya, Bripka Alfonso Wakum, mendatangi daerah itu dengan sepeda motor, melakukan penyamaran dan tidak membawa senjata.

Dalam perjalanan, di Kampung Usir, Briptu Heidar dipanggil rekannya. Ia mendekatinya, sementara Bripka Alfonso menunggu di sepeda motor. Saat mendekat, mendadak ada sekelompok orang yang menyergap Briptu Heidar. Bripka Alfonso melarikan diri.

"Briptu Heidar ditembak dari jarak sekian meter dari belakang, mengenai kepala," kata Dedi di Mabes Polri, Selasa kemarin.

Jenazah Briptu Heidar ditemukan pukul 17.30 oleh warga bernama Nius Tabuni yang melapor ke polisi. Lokasinya di Kampung Wako, Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak.

Sekitar pukul 17.40, 60 personel gabungan TNI-Polri yang dipimpin Kapolsek Ilaga Iptu M Sayori dan didampingi oleh AKBP Hotman Hutabarat mendatangi Kampung Wako.

Jenazah Briptu Heidar dalam posisi telentang, lalu dibawa ke Puskesmas Ilaga. Kemudian, jenazah dibawa ke Timika lalu Makassar, Sulawesi Selatan, untuk dimakamkan di kampung halamannya.

Versi TNPB-OPM: Membunuh untuk Balas Dendam

Sementara TPNPB-OPM memiliki versi berbeda dari polisi.

Sebby Sambom mengklaim Briptu Heidar ditembak oleh koleganya karena dia tengah memburu anggota TPNPB-OPM dari Guragi, Sinak, Yambi, sampai Ilaga—daerah-daerah di pegunungan tengah Papua, kawasan terpanas aksi kekerasan bersenjata di Papua.

Briptu Heidar ditembak anggota TNPB-OPM pada Senin pekan ini, sekitar pukul 10.25, klaim Sebby.

Informasi itu didapatkan Sebby dari Komandan Operasi Umum Lekagak Telenggen di Distrik Ilaga.

“Kami balas atas penangkapan dan pembunuhan anggota TPNPB-OPM kami atas nama Timenggur Telenggen,” klaimnya.

Usai membunuh, TPNPB-OPM mempersilakan TNI-Polri mengambil jenazah Briptu Heidar.

“Tapi, aturan perang tetap berlanjut,” tambahnya kepada Tirto.

'Jangan Korbankan Warga Sipil'

Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengingatkan jangan sampai mengorbankan warga sipil bila pemerintah Indonesia melakukan operasi perburuan terhadap pembunuh Briptu Heidar.

“Pastikan masyarakat sipil tidak menjadi korban konflik bersenjata. Sekaligus berusaha untuk memulihkan trauma-trauma dan ketakutan yang mungkin timbul,” kata Beka kepada Tirto.

Ekses operasi militer dapat memicu trauma, sebagaimana saat TNI-Polri menggelar pengejaran terhadap TPNPB-OPM pada Desember 2018 di Nduga.

Saat itu pimpinan TNI-Polri mengerahkan 269-an personel untuk mengejar para pelaku pembunuhan pekerja PT Istaka Karya. Dampaknya, empat warga meninggal dunia. Diduga mereka dibunuh oleh personel TNI.

Sementara Puri Kencana Putri dari Amnesty International Indonesia menilai kematian Briptu Heidar terjadi karena pemerintah Indonesia tidak mampu mengatasi konflik di Nduga, yang akhirnya malah berkepanjangan dan menjalar ke wilayah lain. Selain itu pendekatan pemerintah Indonesia di Papua bukan melalui penegakan HAM.

"Upaya merespons kematian Briptu Heidar tidak boleh dijadikan sarana balas dendam yang meluas sehingga berdampak menurunnya kualitas rasa aman di wilayah tempat kejadian perkara," ujar Puri kepada Tirto.

Puri menjelaskan polisi atau aparat negara lain yang ditugaskan harus punya keahlian pengaturan operasi keamanan. Selain itu lebih baik jika pendekatannya harus lewat pemerintah daerah. Tujuannya demi memulihkan kepercayaan sipil dan melibatkan aparat lokal guna memantau investigasi kematian Briptu Heidar.

"Agar tidak ada pembatasan hak-hak asasi manusia," ujarnya.

Kabupaten Puncak dan Puncak Jaya adalah dua titik terpanas kekerasan bersenjata di Papua selain di Mimika, Nduga, dan Paniai.

Dalam riset Tirto, setidaknya terjadi sepuluh kekerasan bersenjata di kedua kabupaten itu sepanjang 2014-2018. Setiap insiden itu berentet peristiwa kekerasan bersenjata lainnya.

Iklim demokrasi di Papua dan Papua Barat adalah terburuk di seluruh Indonesia.

Baca juga artikel terkait KONFLIK PAPUA atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Hukum
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam