Menuju konten utama
7 Oktober 1981

Bung Tomo: "Persetan, Ora Dadi Jenderal Yo Ora Patheken!"

Sepenggal kisah tentang pemuda gondrong yang membakar Surabaya di masa revolusi.

Bung Tomo:
Ilustrasi Mozaik Bung Tomo. tirto.id/Sabit

tirto.id - Bung Tomo dikenal sebagai pengobar semangat tempur dalam Peristiwa 10 November 1945. Selain itu, dia juga salah satu pemimpin laskar yang sangat legendaris yang kemudian ditarik ke Kementerian Pertahanan.

Dia bukan pria berkepala cepak atau botak ala serdadu Jepang. Juga bukan lulusan Akademi Militer macam Napoleon. Pengobar pertempuran Surabaya ini adalah pemuda gondrong ala Arung Palakka yang bersenjatakan mikrofon.

Bung Tomo bukan pemuda yang sekadar bermodal nekat, tapi seorang yang pakai otak. Sebagai pemuda yang pernah makan bangku sekolah kolonial, dia tahu teknologi bernama radio. Lewat mikrofon dan pancaran Radio Pemberontakan milik Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) tersiar pidato-pidatonya yang menjaga moral arek-arek Suroboyo.

Pidato-pidatonya lazim dibuka dengan “Bismillahirahmanirahim” dan pasti selalu dibumbui pekik: “Merdeka!” Tak lupa juga, di tengah rasa curiga terhadap orang-orang Ambon dan Sulawesi Utara yang dicap pro Belanda, dalam pidatonya ia malah mengatakan “Pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku, pemuda-pemuda yang berasal dari Sulawesi” terlebih dahulu sebelum menyebutkan daerah lainnya. Pidato terkenal ini lalu ditutup dengan: “Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!”

Intinya, pemuda gondrong ini mengamini sikap pantang menyerah terhadap Sekutu. Tujuan semua ucapannya sama: memantik keberanian melawan tentara asing yang di atas kertas jauh lebih kuat.

Menurut catatan William H. Fredrick dalam artikel pendeknya In Memoriam: Sutomo di jurnal Indonesia (April 1982) terbitan Universitas Cornell, Bung Tomo disebut pernah ikut organisasi pandu nasionalis era kolonial yaitu Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Sekitar tahun 1927, dia termasuk segelintir orang Indonesia yang meraih Scout Eagle. Di zaman pendudukan Jepang, anak Kartawan Tjiptowidjojo ini pernah menjadi anggota Gerakan Rakyat Baru pada 1944.

Sebelum Revolusi pecah, menurut Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI-AD (1989), sejak 1938 Bung Tomo sudah menjadi redaktur mingguan Pembela Rakjat. Selain itu, setelah kantor berita Antara berdiri, dia menjadi pemimpin redaksi biro Surabaya.

Soal militer, dia diakui sebagai pendiri dan pemimpin dari Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) di Surabaya. Dia memimpin di laskar itu dari 12 Oktober 1945 hingga Juni 1947. Laskar perjuangan ini punya anggota hingga ke Kalimantan.

Bung Tomo sangat dihormati di kalangan laskar, paling tidak setelah 10 November 1945. Dia tentu saja bukan satu-satunya pemimpin di Surabaya saat itu. Di antara sekian perwira penting dalam palagan 10 November 1945, terdapat beberapa nama yang punya pengalaman terdidik di bidang militer, seperti Jenderal Mayor R Mohammad Mangunprodjo, Kolonel Sungkono, Kolonel Djonosewojo hingga Kolonel Moestopo. Namun tampaknya Bung Tomo yang tak berpangkat yang justru paling sohor.

Dia kemudian ditarik ke Markas Besar Umum Tentara Keamanan Rakyat dan setelah itu diberi pangkat militer Jenderal Mayor. Orang sering menyamakan pangkat ini dengan Mayor Jenderal—pada masa itu militer Indonesia hanya ada Jenderal, Letnan Jenderal dan Jenderal Mayor lalu di bawahnya ada kolonel. Sementara itu Mayor Jenderal dan Brigadir Jenderal belum dipakai.

Sulistiana Sutomo yang dinikahi Bung Tomo di masa awal revolusi, dalam buku Bung Tomo Suamiku (2008), menyebut bahwa Bung Tomo dilantik oleh Presiden Sukarno dan duduk dalam staf tingi Markas Besar Umum yang membawahi tiga angkatan. Menurut Harsya Bachtiar, sejak 21 Mei 1946, Bung Tomo adalah Kepala Perlengkapan di Kementerian Pertahanan. Selain itu Bung Tomo pernah juga menjadi Anggota Staf Gabungan Angkatan Perang Republik Indonesia.

Sejak Juni 1947, laskar-laskar banyak dilebur masuk TNI. Kala itu Panglima Besar dijabat Soedirman dan Menteri Pertahanan dipegang Amir Sjarifuddin—yang dikenal sebagai tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI). Ada kisah menyebalkan antara Amir dengan Bung Tomo.

Menurut cerita istrinya di buku Bung Tomo Suamiku, “Ketika tiba di Tawangmangu (meninjau RRI) terjadi peristiwa yang tidak akan kulupakan seumur hidup. Mas Tom mendapat telegram dari atasannya, Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin. Isinya pedes sekali. Bung Tomo harus memilih—tetap menjadi jenderal namun tak boleh berpidato—atau berhenti jadi jenderal tetapi bisa berpidato. Aku melihat Mas Tom Merenung.”

Infografik Mozaik Riwayat Bung Tomo

Infografik Mozaik Riwayat Bung Tomo 3 Okt 1920 - 7 Okt 1981. tirto.id/Sabit

Sulistiana ingat betul bagaimana suaminya merenung. Lalu tiba-tiba ia membalikan badan dan dengan nada marah berkata: “Persetan, ora dadi jenderal ya ora patheken.”

Maksud kalimat itu intinya: "Peduli setan, tak jadi jenderal juga tak apa-apa". Kalimat itu menegaskan Bung Tomo enggan menuruti perintah Amir. Sang Perdana Menteri sendiri, tampaknya, menyampaikan pesan keras itu dilatari oleh kehendak agar militer tunduk pada pemerintah/pemimpin sipil.

Belakangan, Bung Tomo termasuk orang yang sangat alergi pada PKI. Setidaknya Bung Tomo ikut serta dalam kampanye anti-PKI. Ada buku atas nama Bung Tomo sebagai penulisnya yang mengutarakan sikapnya yang keras kepada PKI. Judul buku itu adalah Sesudah Madiun dan Gestapu, Lantas Apa? yang diterbitkan oleh Penerbit Balapan pada 1966.

Selain anti-PKI, Bung Tomo juga tergolong orang yang kritis terhadap Presiden Sukarno di masa Orde Lama. Namun bukan hanya pada Sukarno saja ia berani kritis, hal yang sama ia tunjukkan pada masa Orde Baru, misalnya ketika terjadi peristiwa Malari 1974.

Di masa Orde Lama, Bung Tomo pernah menjadi Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata (Veteran) dari 12 Agustus 1955 hingga 1956 dalam kabinet Perdana Menteri Burhanudin Harahap. Dalam Legiun Veteran, Bung Tomo adalah Ketua II Bidang Ideologi Sosial Politik. Selain itu, berdasar Pemilu 1955, Bung Tomo melalui Partai Republik Indonesia terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (1955-1959).

Bung Tomo wafat ketika berhaji pada 7 Oktober 1981, tepat hari ini 39 tahun lalu. Sebuah kematian yang kadang diharapkan para jamaah haji: meninggal di tanah suci.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 3 Oktober 2017. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS & Irfan Teguh