Menuju konten utama

Buku SD Yerusalem Ibu Kota Israel dan Kasus 'Human Error' Penerbit

Kasus-kasus polemik konten pada buku pelajaran anak sekolah sudah sering terulang. Human error pada penerbit?

Buku SD Yerusalem Ibu Kota Israel dan Kasus 'Human Error' Penerbit
Tiga anak membaca buku koleksi perpustakaan keliling secara gratis di jl Doho, Kota Kediri, Jawa Timur, Minggu (20/8). ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani

tirto.id - Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani meminta semua buku pelajaran harus diawasi dengan ketat. Tujuannya agar tidak ada masalah yang ditimbulkan ketika sampai ke tangan siswa. Konten buku-buku sekolah harus bersih dari 'human error'.

"Proses penyusunan buku itu harus benar-benar dicek dan ricek," kata Puan, Kamis (14/12).

Puan menanggapi salah satu buku pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial untuk siswa kelas 6 Sekolah Dasar (SD) yang memuat informasi bahwa Ibu Kota Israel adalah Yerusalem. Padahal Ibu kota Israel bukan Yerusalem tapi Tel Aviv. Kesalahan fakta dalam buku pelajaran seperti ini bukan kali ini pertam terjadi.

Situs resmi Kemendikbud pada 2015 lalu pernah melansir beberapa buku yang bermasalah, salah satunya buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti kelas XI, cetakan ke-1 tahun 2014, oleh kontributor naskah Mustahdi dan Mustakim serta penyelia Yusuf A. Hasan dan Muh. Saerozi.

Dalam subbab "Tokoh-tokoh Pembaharuan Dunia Islam Masa Modern" disebutkan "orang yang menyembah selain Allah telah menjadi musyrik dan boleh dibunuh," tanpa dilengkapi dengan konteks apapun, juga rujukan yang valid terhadap pemikiran tokoh yang berkata demikian.

Selain itu, ada buku Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan kelas XI, cetakan ke-1 tahun 2014, oleh kontributor naskah Sumaryoto dan Soni Nopembri serta penyelia Hermawan Pamot Raharjo dan Dian Budiana. Dalam buku tersebut termuat materi tentang "gaya pacaran sehat".

Anies Baswedan, yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, berkilah bahwa berbagai kesalahan tersebut disebabkan karena Kurikulum 2013 disiapkan secara tergesa-gesa. Mereka yang bertugas menyediakan buku diberi tenggat yang terlalu sempit.

Kejadian semacam ini bahkan telah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Pada 2013, beredar buku paket pelajaran Bahasa Indonesia untuk kelas 6 SD yang mengandung unsur pornografi. Halaman 55-60 buku terbitan CV Graphia Buana tersebut memuat kalimat-kalimat vulgar.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebelum Anies, Mohammad Nuh merespons dengan mewajibkan menggunakan buku teks pelajaran yang telah mendapat rekomendasi dari Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) Kemdikbud.

"Kami akan mengeluarkan regulasi, yang salah satu isinya mengatur larangan bagi sekolah untuk menggunakan buku yang belum mendapatkan rekomendasi dari Puskurbuk Kemendikbud," katanya.

Kasus terkini adalah buku yang memuat informasi soal Yerusalem adalah Ibu Kota Israel. Buku ini diterbitkan oleh Yudhistira Ghalia Indonesia (YGI), dan ditulis oleh I.S. Sadiman dan Shenny Amalia. Mereka mengatakan bahwa buku ini dicetak berdasarkan kurikulum tahun 2006, dan terus terbit dari tahun ke tahun tanpa menimbulkan polemik.

Wakil Kepala Penerbit PT YGI Djadja Subagdja mengaku tak pernah mendapat teguran dari Kemendikbud hingga akhirnya, muncul pemberitaan dunia soal Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.

Kepala Penerbitan Dedi Hidayat, YGI mengatakan data yang digunakan dalam buku tersebut memang tidak akurat. Dedi mengaku YGI mengambil data dari world population data sheet tahun 2010.

Masalahnya, berdasarkan penelusuran Tirto, laporan world population data sheet tahun 2010 yang dikeluarkan oleh Population Reference Bureau tidak mencantumkan Yerusalem sebagai ibu kota Israel sama sekali. Jangankan ibu kota, kata Yerusalem tidak ditemukan satu pun dalam laporan tersebut.

Laporan itu hanya menampilkan data kependudukan Israel seperti pendapatan per kapita, angka kematian, angka kelahiran, ataupun populasi penduduk. Saat Tirto mencoba mengklarifikasi kembali kepada Djadja, ia tak banyak berkomentar. "Nanti saya cek lagi," ucap Djadja.

Ia mengaku bingung soal kesalahan ini pihaknya harus menarik semua buku. Pasalnya mulai tahun depan buku itu memang tidak akan digunakan lagi karena sudah ada yang baru, yang terbit antara April atau Mei nanti.

"Enggak mungkin ada penarikan, tahun depan tapi pasti ada revisi," kata Djadja.

Klarifikasi juga datang dari Kemendikbud selaku pihak yang paling punya otoritas untuk mengawasi konten buku untuk anak sekolah. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, sudah meminta maaf melalui keterangan tertulis atas kesalahan tersebut.

Namun dalam konferensi pers yang diselenggarakan hari ini (14/12), Kepala Badan Penelitaan dan Pengembangan Kemendikbud, Totok Suprayitno, tidak menjamin kasus serupa tidak akan terulang.

Ia justru meminta masyarakat memaklumi kesalahan ini, padahal buku tersebut sudah beredar sejak 2008 lalu atau hampir 10 tahun. Buku ini, yang dibuat berdasarkan kurikulum lama tahun 2006, masih bisa dipakai karena memang tidak semua buku harus diganti ketika kurikulum berubah.

"Tidak semua buku yang kita terbitkan itu perfect," kata Totok.

Ia lalu mengatakan bahwa sebetulnya kesalahan ini "bisa menjadi diskusi menarik," di dalam kelas, "di tangan guru yang bagus."

Totok lalu menyalahkan penulis buku. Ia menyebut "kurangnya kapasitas pengetahuan penulis" sebagai sebab utama timbulnya kesalahan-kesalahan selama ini. Totok berharap penulis sepatutnya tidak hanya merujuk dari satu referensi saja.

Totok mengaku bahwa pengawasan dari Kemendikbud tidak bisa maksimal. Namun ia tidak mau bila Kemendikbud disebut "lalai melakukan pengawasan".

Menurutnya, kesalahan ini adalah human error dan biasa terjadi. Ia lalu beralasan kejadian serupa juga terjadi di banyak negara.

Ia juga meminta masyarakat turut proaktif terhadap isu ini. Kemendikbud membuka akses kepada masyarakat untuk dapat memberikan saran dan kritik tentang buku pelajaran yang digunakan di sekolah. Laporan bisa diberikan masyarakat melalui laman http://buku.kemdikbud.go.id.

Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemendikbud, Awaluddin Tjalla, juga melemparkan tanggung jawab mengawasi penulis buku sekolah kepada Ikatan Penerbit Indonesia. Menurutnya asosiasi penerbit harus berperan aktif untuk meningkatkan profesionalisme anggotanya dengan cara "turut melakukan penilaian" terhadap penulis buku sekolah.

Awaluddin mengaku tidak akan menarik buku ini. Kemendikbud hanya akan merevisinya. Yudhistira juga tidak akan diberi sanksi.

Baca juga artikel terkait YERUSALEM atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Rio Apinino
Editor: Suhendra