Menuju konten utama

Bukan Tas Guru Oemar Bakri, Ini Tas Mewah Bijan dari Kulit Buaya

Meski diliputi kontroversi, kulit reptil masih jadi indikator kemewahan label busana dan aksesori ternama.

Bukan Tas Guru Oemar Bakri, Ini Tas Mewah Bijan dari Kulit Buaya
Tas koleksi House of Bijan. FOTO/bijan.com

tirto.id - Oemar Bakri barangkali sudah tidak mampu membeli tas kesayangannya jika ia hidup hari ini. Gambaran seorang guru miskin dalam salah satu lagu Iwan Fals dari 1980-an, "Guru Oemar Bakri", yang kemana-mana menenteng "tas hitam dari kulit buaya" sudah tidak sesuai dengan profilnya. Tas berbahan kulit buaya asli cuma bisa dikonsumsi orang yang uangnya tak berseri.

Dalam sebuah konferensi pers, Datuk Seri Amar Singh dari Federal Commercial Crime Investigation Malaysia diminta untuk mengeja kata Bijan. Sebagian besar jurnalis yang ada di ruangan tersebut masih asing dengan nama itu. Bukan hanya jurnalis, publik pun demikian. Bijan adalah merek produk busana dan aksesori yang jarang terdengar. Namanya tidak begitu populer di ranah mode saking eksklusifnya.

Singh mengungkap bahwa Rosmah Mansor, istri Najib Razak, mantan Perdana Menteri Malaysia, punya beberapa tas Bijan yang didesain khusus untuknya. “Ini adalah merek yang sangat mahal dan produknya tidak bisa Anda temui di pasaran,” kata Singh yang sampai sekarang tidak memperlihatkan foto tas Bijan yang dimiliki Mansor.

Sebagai gambaran, harga tas Bijan tipe paling rendah ada di angka 100.000 dolar dan itu bukan kategori custom made.

Bijan bikin warga Malaysia jadi penasaran. Setelah konferensi pers berlangsung, kata "Bijan" masuk dalam jajaran Google trends Malaysia. Bila Bijan Pakzad, pendiri label busana Bijan masih hidup, boleh jadi dia senang karena namanya makin terkenal meski dengan cara yang kontroversial.

Butik yang Amat Eksklusif

Pakzad bukan sosok yang rendah hati. Pada Februari 1984, ia membanggakan diri seusai meresmikan ruang butik yang dibangun seharga 10 juta dolar. Butik tersebut tidak dibuka untuk umum. Orang harus membuat janji lebih dulu bila ingin datang ke sana.

“Kualitas dan harga tinggi. Itu yang membuat saya sukses. Saya menjual barang mahal, oleh karena itu saya harus merancang toko dan cara membeli barang seeksklusif mungkin. Calon pembeli harus menginformasikan ukuran tubuh mereka terlebih dulu sebelum datang ke toko,” kata pria Amerika kelahiran Iran ini.

Waktu itu, ia membuat setelan jas dan baju hangat untuk pria. Harga satu baju hangat sekitar 34.000 dolar. Diskusi model busana dengan klien spesial berlangsung di sebuah ruang khusus. Di sana Bijan akan menunjukkan beberapa koleksi jas yang bisa disesuaikan dengan berbagai latar belakang klien. Apakah seorang hakim atau pengusaha playboy yang gemar mengenakan kemeja dengan kancing terbuka dan kalung-kalung emas.

Bijan berkata bahwa kliennya ialah para raja dari beberapa negara seperti Spanyol dan Yordania; presiden Amerika Serikat; dan penyanyi seperti Frank Sinatra dan Stevie Wonder. Bijan mengontrol detail desain busana mereka. Pria ini kurang bisa menerima perbedaan pendapat. Bila ada klien yang tidak suka dengan idenya, ia tak segan mengantar sang klien ke pintu keluar butik.

Bijan Pakzad meninggal pada 16 April 2011. Bisnisnya diteruskan Nicolas Pakzad, anaknya. Kini harga satu setelan jas dimulai dari 9.500 dolar. Nicolas mengembangkan varian produk dengan merancang tas jinjing wanita yang dibuat dari kulit buaya, salah satu material yang kerap digunakan Bijan dalam memproduksi aksesori pria.

Awalnya, tas wanita ini hanya digunakan sebagai hadiah bagi istri-istri para klien spesial. Tetapi sekarang benda tersebut bisa dibeli siapa saja. Salah satu model yang dipasarkan ialah tas serupa trapesium dengan bentuk sudut yang tegas. Salah satunya berwarna kuning terang, warna identitas merek Bijan. Tas itu dihiasi taburan berlian.

Infografik Tas Kulit Buaya

Kulit Buaya Lambang Kekayaan

Sebelum tas Bijan jadi perbincangan, predikat tas paling eksklusif yang dibuat dari kulit buaya tersemat pada lini fesyen Hermès: Birkin Himalaya Bag. Dua tahun lalu, balai lelang Christie’s memberikan sebuah tas Birkin Himalaya kepada seorang kolektor yang menawar dengan harga 244.490 dolar. Birkin Himalaya lebih mengundang perhatian dibanding koleksi aksesori antik Christie’s. Tahun lalu, harga Himalaya meningkat jadi 383.522 dolar.

Meningkatnya harga Birkin Himalaya bisa jadi dipengaruhi sikap Jane Birkin, selebritas dan desainer tas koleksi Birkin Hermès yang tidak lagi marah dengan rumah mode tersebut. Birkin sempat meminta namanya dicabut dari produk tas bermaterial kulit buaya. Alasannya karena ia mengira Hermès tidak memperhatikan standar perlakuan layak terhadap hewan.

Pikiran itu muncul setelah Birkin melihat tayangan investigasi soal pemanfaatan buaya untuk industri mode yang dibuat People for The Ethical Treatment of Animals (PETA). Organisasi ini pernah menganggap Hermès memperlakukan buaya-buaya yang hendak dijadikan bahan pembuatan tas dengan tidak semestinya.

Jane enggan namanya disangkutpautkan dengan hal itu dan meminta Hermès meninjau ulang peternakan tempat mereka membeli kulit buaya. Rumah mode itu menyepakati usul Birkin. Aktris ini pun cukup puas dengan niat Hermès untuk memastikan bahwa sumber bahan aksesori mereka didapat dengan cara halal.

Kejadian serupa pernah terjadi pada rumah mode Louis Vuitton. Rumah mode ini punya tas dari kulit buaya seharga 55.000 dolar. Dalam kasus Louis Vuitton, PETA melakukan langkah yang lebih ekstrem yaitu membeli saham LVMH, perusahaan retail yang menaungi Louis Vuitton, agar mereka berhenti menggunakan kulit buaya.

Pada 2011, LV membeli separuh saham perusahaan peternakan buaya di Vietnam. Peternakan tersebut dinilai melakukan praktik keliru dalam mengolah kulit hewan. Selain itu, LV juga membeli sejumlah perusahaan peternakan buaya di Australia.

Upaya pencegahan penggunaan kulit buaya belum mampu meredam minat konsumen terhadap tas mahal yang dibuat dari kulit reptil. Permintaan terus meningkat dan label busana terus berinovasi. Grup retail Kering yang menaungi lini busana Gucci, Saint Laurent, dan Alexander McQueen berupaya terhindar dari praktik ilegal pemanfaatan reptil dengan membangun peternakan ular piton.

Bagi brand besar, penghentian produksi aksesori dari kulit reptil ibarat menghilangkan identitas kemewahan yang takarannya adalah dari tingkat kesulitan pembuatan. Sebagai contoh, untuk mendapat motif kulit tertentu, pembeli harus menunggu beberapa tahun. Pembuatan satu tas bisa membutuhkan tiga sampai empat buaya.

Selain memberi keuntungan bagi brand besar, perdagangan kulit reptil berimbas pada lapisan dasar yakni para pemburu yang tidak terlibat dalam perusahaan peternakan. Di Australia, ada penduduk asli yang mencari uang dengan mengoleksi telur buaya dan menjualnya ke peternakan. Para peternak di negara ini mendapat untung jutaan dolar dari ekspor kulit buaya.

Mendengar semua itu, guru Oemar Bakri pasti menangis.

Baca juga artikel terkait FASHION atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Ivan Aulia Ahsan