Menuju konten utama

Buaya-buaya Keroncong Tempo Doeloe

Keroncong punya istilah untuk maestronya, yakni Buaya Keroncong. Mereka adalah idola wanita di masa lalu.

Buaya-buaya Keroncong Tempo Doeloe
Maestro Keroncong [Foto/wikipedia.org]

tirto.id - Buaya sering diidentikkan dengan laki-laki yang sering tebar pesona kepada para wanita. Di dunia keroncong, buaya diartikan sendiri. Buaya di dunia keroncong adalah untuk mereka yang suaranya menawan menyanyikan lagu-lagu keroncong. Mereka adalah idaman perempuan di masa lalu atas suara merdunya.

Menurut Windoro Adi dalam Batavia 1740: Menyisir Jejak Betawi (2010), pernah ada sekumpulan pengamen remaja Indo-Belanda yang sering keliling bernama De Wandelende Kerontjong di akhir abad XIX di Betawi. Mereka juga dipuja gadis-gadis zaman itu, termasuk dari keluarga kelas menengah.

Musik keroncong, selain dipertunjukkan di panggung, kadang juga diperdengarkan di radio. Menurut Fandi Hutari, penulis buku Sandiwara dan Perang: Propaganda di Panggung Sandiwara Modern Zaman Jepang (2013), bersama musik lain keroncong sering diperdengarkan di NIROM Ketimoeran pada masa kolonial.

“Dari Kampung Tugu, keroncong berkembang ke Kemayoran tahun 1918-1919 di antara orang-orang Indo-Belanda. Musisi keroncong kemayoran yang populer saat itu antara lain Atingan, J. Dumas, Jan Schneider, Kramer, M Sagi, Any Landow dan Ismail Marzuki,” tulis Windoro Adi.

Tentu saja ada nama-nama lain yang juga populer selain yang disebut Windoro Adi. Belakangan, muncul nama-nama yang dianggap sebagai buaya keroncong seperti Tan Tjeng Bok, Kusbini, Gesang dan generasi setelah mereka ada Mus Mulyadi, Mantous dan lainnya.

Douglas Fairbank dari Hindia Belanda Berkeroncong

Seabad silam, tersebutlah seorang pemuda peranakan Tionghoa yang begitu tergila-gila pada dunia panggung. Ayahnya seorang guru silat Tionghoa, sementara ibunya keturunan Betawi Jembatan Lima. Ia adalah Tan Tjeng Bok. Menurut Yunus Yahya, dalam bukunya Peranakan Idealis (2002), Tan Tjeng Bok yang sekolah hanya sampai kelas tiga Hollandsch Chineesche School (HCS) Braga, akhirnya memilih jadi anak panggung. Ayahnya menentang keras hasrat seni itu hingga mengusir Tan Tjeng Bok. Namun, ia tetap melakoni kegemarannya ini.

Sejak 1917, ketika usianya belum genap 20 tahum, Tan sudah dianggap jago menyanyikan lagu-lagu keroncong. Setidaknya dia pernah membuat rekaman lagu keroncong seperti Stambul, Keroncong Kemayoran, Moritsko Merayap. Belakangan, Tan juga jadi aktor panggung tersohor di zamannya. Tan, yang juga sering dipanggil Item, terkenal bersama kelompok sandiwara Dardanella. Menurut Fandi Hutari, kelompok Sandiwara pimpinan Piedro ini pernah keliling dunia. Namun, Tan tak ikut keliling dunia bersama Piedro dan memilih membangun kelompok sandiwara sendiri meski hanya sebentar.

Meski sudah terkenal jauh sebelum tahun 1940an, bahkan dijuluki Douglas Fairbank dari Hindia Belanda, Tan baru ikut film ketika usianya sekitar 40an tahun. Meski lebih dikenal sebagai pemain sandiwara, juga film, Tan masih bernyanyi. Suatu kali, Presiden Soekarno pernah bertemu Tan. Ternyata, Soekarno sudah kenal nama Tan Tjeng Bok yang sohor di dunia sandiwara. Dalam buku Peranakan Idealis, digambarkan Soekarno sumringah bertemu Tan dan menunjuk ke dada kiri Tan. Adegan ini diabadikan. Fotonya disimpan di rumah Tan.

“O, ini toh Tan Tjeng Bok? Ayo ke sini... nyanyi sama-sama saya!” ajak Soekarno. Kemudian Tan dan Sang Presiden berkoncong ria. Tan pun sering diundang Presiden Soekarno bernyanyi. Tan tentu bangga bisa menghibur Pemimpin Besar Revolusi Indonesia itu. Kesan Tan, “Bung Karno itu suaranya enak.”

Tan Tjeng Bok lebih bisa diingat generasi sekarang, karena rekaman lagu-lagu keroncong Tan yang direkam di awal abad lalu, masih bisa ditemukan dunia maya. Generasi yang jadi musisi keroncong sebelum Tan, tak bisa diabadikan dalam sebuah rekaman piringan hitam dan tak tercatat dalam sejarah. Generasi setelah Tan, lebih banyak lagi penyanyi keroncong yang bisa rekaman dan dikenal.

Kusbini, Bram Atjeh dan Gesang

Nama Kusbini, dikenal sebagai penggubah lagu Bagimu Negeri. Lagu yang sering diputar dalam acara-acara nasional di Indonesia. Meski Kusbini pernah dituduh membajak lagu ini dari J Sumedi, tetapi pengadilan memutuskan Kusbini adalah penggubahnya. Sebelum menggubah lagu-lagu perjuangan, Kusbini termasuk penyanyi keroncong.

Tak hanya bernyanyi, Kusbini juga kadang mengaransemen lagu. Dia pernah mengaransemen lagu legendaris Nina Bobo. Lagu-lagu yang pernah dibawakannya adalah Cinta Tanah Air, Merdeka, Pembangunan, Salam Merdeka, Keroncong Purbakala, Pamulatsih, Bintang Senja Kala, Keroncong Sarinande, Keroncong Moresko, Dwi Tunggal, Ngumandang Kenang.

Menurut RZ Leiriza, dalam Ensiklopedi Tokoh Kebudayaan (1990), di awal-awal kariernya sebagai musisi, pada zaman kolonial sejak 1935 hingga 1939, Kusbini adalah pemain biola sekaligus penyanyi yang sering bermain untuk radio NIROM dan sebagai musisi di rumah produksi pringan hitam Hoo Soen Hoo. Di masa pendudukan Jepang, Kusbini tetap menjadi musisi di radio militer Hosyo Kenri Kyoku. Di masa revolusi barulah dia membuat lagu-lagu perjuangan.

Di antara buaya keroncong yang lahir sebelum tahun 1920an, selain Tan Tjeng Bok dan Gesang, ada suara Abraham Titeley alias Bram Aceh yang juga masih bisa ditemukan masih bisa ditemukan di dunia maya. Ia terlahir dari keluarga Ambon di Aceh. Ayahnya bekerja di bagian musik militer KNIL Aceh. Bram yang suka bernyanyi itu, serius di musik. Karena lahir besar di Aceh juga, nama Aceh melekat di belakang nama panggilannya. Jadilah Bram Aceh.

Bram pertama rekaman di tahun 1934. Lagu-lagu yang pernah dibuatnya antara lain Selamat Tinggal Kota Betawi dan Sapa Suruh Datang Jakarta (1977). Selain keroncong, Bram bermain musik Hawaiian. Di tahun 1940an, Bram dikenal sebagai buaya keroncong. Di tahun 1955, Bram memenangkan kontes keroncong Jakarta Raya. Di masa tuanya, Bram masih terus bernyanyi. Kebiasaan bernyanyi itu menurun ke cucu-cucunya, yang terkenal di jalur musik pop seperti Harvey Malaiholo, Irma June dan Glenn Fredly.

Selain nama-nama besar di atas, tentu saja sosok laki-laki sederhana bernama Gesang Martohartono tak bisa dilupakan dari khazanah keroncong Indonesia. Siapa tak kenal lagu Bengawan Solo (1940)? Hampir semua orang Indonesia mengenalnya. Lagu ini bahkan terkenal hingga ke Jepang dan Tiongkok. Pernah muncul juga dalam sebuah film mandarin berjudul The Sun Also Rise(2007). Bahkan dalam film karya sutradara legendaris Jepang, Akira Kurosawa, Nora Inu (1949). Lagu ini pernah dibawakan Oslan Husein dengan irama yang agak mendekati rock n roll, menurut David Tarigan dari Irama Nusantara.

Menurut Denny Sakrie, dalam 100 tahun Musik Indonesia (2015), Gesang hanya dikenal seorang penyanyi keroncong yang bernyanyi di hajatan kecil-kecilan di sekitar Solo sebelum lagu itu tercipta. Selain Bengawan Solo, Gesang juga membuat lagu lain meski sambutan publik jauh dari meriah. Gesang pernah menggubah Keroncong Roda Dunia, Keroncong Si Piatu dan Sapu Tangan.

Bengawan Solo sendiri tercipta ketika Gesang Martohartono ketika duduk melamun di tepi kali Bengawan Solo. Gesang menghayati dan mengagumi kali besar penting di Jawa Tengah itu. Lalu dia memutuskan menulis lagu itu. Setelah bekerja keras 6 bulan, lagu itu tercipta. Berpuluh-puluh tahun setelah tercipta, lagu ini sering diputar dan diaransemen dengan berbagai versi. Lagu ini masuk dalam 150 Lagu Terbaik Indonesia Versi Majalah Rolling Stone 2009. Lagu ini tentunya membuktikan Gesang juga salah satu Buaya Keroncong Indonesia.

Baca juga artikel terkait KERONCONG atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Musik
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti