Menuju konten utama

Buang-Buang Skripsi di Unilak: Apakah Memang Boleh Dimusnahkan?

Skripsi tak bisa disimpan selamanya. Ia memang dapat dimusnahkan.

Buang-Buang Skripsi di Unilak: Apakah Memang Boleh Dimusnahkan?
Petugas menata arsip di Gedung Arsip dan Perpustakaan, Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Selasa, (10/12/2019). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/pd.

tirto.id - Video berdurasi 21 detik ramai diperbincangkan warganet. Ia menampilkan seseorang di lantai gedung sebuah universitas sedang membuang karya cetak dari jendela. Nampak pula seseorang menunggu di bawah, mengumpulkan yang tercecer ke dalam karung besar.

Ini terjadi di sebuah kampus swasta, Universitas Lancang Kuning (Unilak) Pekanbaru, Riau. Sementara yang dibuang itu skripsi.

Video tersebut memicu kemarahan dan kesedihan beberapa warganet. “Menangis mahasiswa melihat ini,” kata seorang pengguna Instagram. “Inilah gunanya kita sekolah tinggi-tinggi, agar kita tahu bahwa betapa tidak pentingnya sekolah,” kata yang lain. Dua orang lain mengatakan, “enggak ada akhlak,” dan “enggak paham lika-likunya pembuatan skripsi.”

Di Unilak sendiri, kejadian ini membuat mahasiswa marah dan berdemonstrasi.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji berpendapat kasus ini terjadi karena Unilak tidak memiliki pengetahuan pengelolaan arsip yang mumpuni. “Bisa jadi sistemnya enggak ada, atau SDMnya tidak mengerti,” kata Ubaid kepada reporter Tirto, Selasa (7/7/2020).

“Harusnya ini tidak terjadi,” katanya menegaskan.

Dalam laman resmi, unilak.ac.id, Rektor Unilak Junaidi mengakui pelemparan tersebut bukan hal yang patut. Oleh karenanya, selain mohon maaf, dia juga memutuskan memberhentikan Kepala Pustaka Unilak “dan diambilalih langsung oleh Wakil Rektor I Bidang Akademik.”

Junaidi menjelaskan skripsi itu merupakan skripsi-skripsi lama dan sudah rusak. Rencananya semuanya akan dipindahkan ke tempat lain. Ia juga mengatakan sebenarnya sejak beberapa tahun terakhir Unilak “telah melakukan program digitalisasi karya-karya ilmiah dari dosen dan mahasiswa.”

Karena didigitalisasi, skripsi yang dibuang itu masih dapat diakses secara digital.

Pernyataan Badan Eksekusif Mahasiswa (BEM) Unilak berbeda. Kepada Detik, Presiden BEM Unilak Amir Aripin Harahap bilang skripsi itu bukan dipindahkan, tapi “dijual ke tempat barang bekas.” Sementara terkait digitalisasi, situsweb Perpustakaan Unilak belum siap sama sekali. Situs perpustakaan suatu kampus biasanya jadi tempat mengakses karya yang sudah didigitalisasi.

Memang Tak Bisa Disimpan Selamanya

Peristiwa buang-buang skripsi bukan kali pertama terjadi. Pada 2016, UIN Alauddin Makassar menjadi bahan omongan warganet karena kasus yang sama persis: ribuan skripsi, tesis, dan karya ilmiah berserakan di luar perpustakaan.

Dua kasus ini memicu pertanyaan, bagaimana sebenarnya memperlakukan karya-karya ilmiah seperti skripsi? Apa memang bisa dimusnahkan?

Dosen Departemen Informasi dan Perpustakaan Universitas Airlangga (Unair) Iswanda F. Satibi mengatakan pada dasarnya skripsi tidak bisa disimpan selamanya di perpustakaan. Alasannya sederhana: ruang penyimpanan terbatas, sementara setiap tahun skripsi terus bertambah.

Sebagai gambaran, terlepas dari ada mahasiswa yang tidak perlu skripsi untuk lulus, pada September tahun lalu UI saja meluluskan 3.040 orang. Sementara UGM pada November lalu mewisuda 1.580 sarjana.

“Umumnya skripsi bersifat aktif 1 tahun, inaktif 2 tahun, lalu dimusnahkan,” kata Iswanda, kini tengah studi doktoral di University of Malaya Malaysia kepada reporter Tirto, Selasa. Skripsi yang tidak bisa dibuang adalah yang setelah dinilai ternyata memiliki pengaruh besar pada perkembangan dunia akademik.

Dasar pernyataan Iswanda adalah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 26 tahun 2006 tentang Jadwal Retensi Arsip Substantif dan Fasilitatif di Lingkungan Perguruan Tinggi Negeri dan Koordinasi Perguruaan Tinggi Swasta. Di sana memang disebutkan skripsi yang lewat dua tahun dapat dimusnahkan.

Namun, Iswanda menegaskan kalau peraturan tersebut hanya pedoman. Detailnya dapat disesuaikan masing-masing kampus.

Mengutip Undang-Undang Nomor 43 tahun 2009 tentang Kearsipan, arsip aktif yang Iswanda maksud adalah “arsip yang frekuensi penggunaannya tinggi dan/atau terus menerus.” Sementara arsip inaktif yaitu “arsip yang frekuensi pemakaiannya sudah menurun.”

Semua ini semestinya tercatat dalam jadwal retensi arsip, atau JRA, yaitu “daftar yang berisi sekurang-kurangnya jangka waktu penyimpanan atau retensi, jenis arsip, dan keterangan yang berisi rekomendasi tentang penetapan suatu jenis arsip dimusnahkan, dinilai kembali, atau dipermanenkan yang dipergunakan sebagai pedoman penyusutan dan penyelamatan arsip.”

Iswanda lantas menyarankan kampus-kampus di seluruh Indonesia memaksimalkan program repositori institusi, yang sudah mulai berkembang di Indonesia sejak 2004, agar tak ada lagi sentimen negatif setiap kali skripsi dimusnahkan.

Repositori institusi adalah “perpustakaan dari objek digital dan metadata dari satu institusi,” tulis Abby Clobridge. Jadi, karya-karya cetak ini tidak benar-benar musnah, ia hanya beralihrupa menjadi digital.

Repository institusi in harus dibarengi dengan kebijakan akses terbuka (open access), kata Iswanda. Jadi siapa saja bisa mengaksesnya.

“Banyak sekali perguruan tinggi Indonesia mengadopsi OA dan IR. Hasilnya saat ini Indonesia termasuk yang terbesar terkait OA,” katanya.

Baca juga artikel terkait SKRIPSI atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino