Menuju konten utama
Daffy al-Jugjawy

Buang Air Besar dalam Puasa dan Zakat

Nilai pelajaran dari puasa, zakat fitrah, dan lebaran bisa didapatkan dari hal-hal di sekitar. Bahkan dari tempat dan aktivitas yang selama ini dianggap menjijikkan.

Buang Air Besar dalam Puasa dan Zakat
Sejumlah santri mengaji Kitab Kuning (kitab klasik berbahasa arab gundul) di komplek pondok pesantren (ponpes) Lirboyo, Kota Kediri, Jawa Timur, Minggu (28/5). ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani.

tirto.id - “Ustaz Nahi, bagaimana caranya belajar menjadi seorang muslim yang bisa sabar ketika puasa, ikhlas ketika bayar zakat fitrah, sekaligus bersyukur di saat bersamaan?” tanya santri bernama Tilmidun di teras rumah Ustaz Nahi.

Ustaz Nahi adalah pemuka agama terkenal di kampung Tilmidun. Beberapa tetangga Tilmidun percaya bahwa kalau mau bertanya soal agama, sebaiknya tanya ke Ustaz Nahi, jangan yang lain.

“Sebagai seorang muslim, puasa di bulan Ramadan itu fardu ‘ain hukumnya. Wajib. Tidak bisa diganggu gugat. Di surat Albaqarah ayat 183 disebutkan begitu. Jadi ente mesti sabar selama puasa. Tidak boleh aneh-aneh,” jawab Ustaz Nahi.

Tilmidun cuma garuk-garuk kepala.

“Ente tidak percaya ya?” tanya Ustaz Nahi.

“Percaya, Taz. Tapi kok kenapa harus sabar menunggu sampai matahari terbenam? Kenapa enggak misalnya enggak dibolehin makan aja, minumnya boleh begitu?” tanya Tilmidun.

“Lho? Ente nantang Gusti Allah itu namanya. Ndak boleh itu. Neraka, lho, nanti,” kata Ustaz Nahi. “Pokoknya begitu. Ayatnya bilang begitu ya harus begitu. Zakat fitrah juga begitu, itu wajib. Kalau ndak dilakukan ya dosa. Masuk neraka,” tambah Ustaz Nahi.

“Hmm, tapi, Taz…”

“Enggak ada tapi-tapi, kalau dikasih tahu persoalan agama itu tidak boleh dinego. Ini langsung dari Allah. Jangan main-main sama hukum agama,” kata Ustaz Nahi.

Akhirnya Tilmidun pamit dari kediaman Ustaz Nahi. Tentu saja dengan berbagai pertanyaan di kepalanya.

Infografik Perihal Zakat

Belum puas dengan jawaban Ustaz Nahi, akhirnya Tilmidun berangkat sowan ke kampung sebelah. Ia mendatangi kediaman Gus Amar, putra almarhum Kiai Makruf, yang saat ini mengelola madrasah kecil di kampungnya.

“Assalamu’alaikum, Gus Amar,” sapa Tilmidun saat melihat Gus Amar sedang nongkrong di poskamling depan madrasahnya.

“Eh, Tilmidun, dari mana?” sapa Gus Amar menyalami. Sejenak Tilmidun hendak mengecup tangan Gus Amar, tapi buru-buru ditarik tangan Gus Amar.

“Dari ndalem-nya Ustaz Nahi tadi, sowan. Sekalian ke sini,” kata Tilmidun ikut duduk.

“Wah, tumben. Saya juga baru kemarin sowan sana,” kata Gus Amar.

“Anu, Gus.”

“Anu apa?” potong Gus Amar.

Tilmidun tertawa.

“Tadi saya mau tanya-tanya soal puasa ke Ustaz Nahi, tapi kok malah didalilin macam-macam,” kata Tilmidun.

“Maksudnya didalilin?”

“Ya saya kan nanya bagaimana caranya belajar menjadi seorang muslim yang bisa sabar ketika puasa, ikhlas ketika bayar zakat fitrah, sekaligus bisa bersyukur di saat bersamaan. Ini kan bulan Ramadan. Ya pengin ngerti aja gimana caranya,” kata Tilmidun.

“Oalah, begitu. Ya wajar. Ustaz Nahi itu pintar, lho, kuliah agama sampai luar negeri. Ilmunya banyak. Ya benar kalau kamu didalilin,” kata Gus Amar terkekeh.

“Kalau menurut Gus Amar gimana?”

“Gimana maksudnya?”

“Ya gimana itu, belajar sabar, ikhlas, dan bersyukur di waktu bersamaan.”

“Oh, itu…” Gus Amar hendak menjawab.

“Eh, tapi Gus, sebelum jawab, bisa pinjem kamar kecilnya enggak? Kebelet boker ini,” tanya Tilmidun.

“Oh, itu di madrasah ada. Di pojok kanan ya?” kata Gus Amar sambil menunjuk. Tilmidun pun langsung beranjak menuju kamar mandi. Baru mau masuk ke kamar mandi, Tilmidun melihat papan di pintu kamar mandi. Di sana tertulis: "Sedang Rusak."

“Gus, rusak kamar kecilnya,” teriak Tilmidun.

“Oh, maaf. Lupa saya. Masuk ruang guru aja, di dalam ada kamar kecilnya,” balas Gus Amar.

Tilmidun langsung lari karena sudah benar-benar di ujung. Sekitar lima belas menit, Tilmidun keluar. Berjalan sambil mengelus-elus perutnya lalu kembali duduk di sebelah Gus Amar.

“Lega?” tanya Gus Amar.

“Lega, Gus. Hampir saja tadi itu,” jawab Tilmidun.

“Oh iya, jadi gimana Gus tadi?” tanya Tilmidun.

“Gimana apanya?”

“Ya tadi itu, pertanyaan saya. Masa saya ngulang lagi?” kata Tilmidun.

“Sudah dijawab sama Ustaz Nahi kan?”

“Iya, memang sudah. Tapi saya pengin dengar dari Gus Amar. Menurut Gus Amar gimana?”

Gus Amar diam sebentar, seperti berpikir. Berdiri sejenak, lalu mulai bicara.

“Hm, gampang saja sebenarnya mengamalkan dan memahami ketiganya. Enggak usah jauh-jauh nunggu Ramadan sebenarnya. Bahkan barusan jawabannya sudah sampeyan temui sendiri,” kata Gus Amar.

“Hah? Yang mana, Gus?” tanya Tilmidun.

“Ya barusan, barusan sampeyan sudah menjawab,” kata Gus Amar.

“Memangnya tadi saya ngomong apa?” Tilmidun kebingungan.

“Bukan ngomong, tapi langsung praktik. Tadi sampeyan mempraktikkan nilai dari puasa, zakat fitrah, sampai lebarannya sekalian,” kata Gus Amar.

Tilmidun semakin bingung. Pusing. Di kediaman Ustaz Nahi, Tilmidun merasa pusing karena tidak puas, kali ini jawaban Gus Amar malah semakin membingungkan.

“Maksud Gus Amar gimana sih? Pusing saya.”

“Begini, Dun,” kata Gus Amar kembali duduk.

“Sampeyan tadi kan kebelet boker. Udah di ujung lagi. Kok enggak dikeluarin aja di selokan deket sini?” tanya Gus Amar.

“Ya enggak mungkin to, Gus, malu saya,” jawab Tilmidun.

“Lha, kok enggak di kamar kecil yang rusak tadi?”

“Ya enggak mungkin to, saya ceboknya gimana? Siramnya gimana?” Tilmidun balik bertanya.

“Nah, itu sampeyan bisa sabar,” kata Gus Amar sambil tepuk-tepuk dada Tilmidun.

“Padahal, kan, sampeyan tahu, boker di selokan itu juga bisa, di toilet rusak juga bisa. Tapi sampeyan sadar ada konsekuensi-konsekuensi yang mengharuskan untuk boker di tempat-tempat tertentu. Di tempat dan di waktu yang tepat. Bahkan meskipun nafsu sampeyan sudah memburu banget pengin cepet-cepet ngeluarin, pada akhirnya akal sampeyan tetep lebih kuat,” kata Gus Amar.

“Seperti puasa. Sampeyan mau makan jam berapa juga bisa, tapi sampeyan juga tahu ada konsekuensi dan ketentuan yang mewajibkan untuk menahannya. Padahal nafsu sudah memburu banget pengin cepat-cepat makan atau minum. Tapi, toh akhirnya akal bisa mengendalikannya,” tambah Gus Amar.

Tilmidun bengong.

“Artinya, puasa adalah pembuktian bahwa akal manusia lebih kuat dari nafsunya,” jelas Gus Amar.

“Jadi, orang Islam yang enggak puasa waktu Ramadan itu ibarat orang boker sembarangan. Yang menyerahkan akal untuk dikendalikan nafsunya. Di selokan, di jalanan. Ya, bisa-bisa saja, sih. Kalau lagi pengin keluar ya tetap bisa keluar juga. Tapi, kan, memalukan. Sudah gede kok boker sembarangan. Kalau saya, sih, malu,” tambah Gus Amar.

Tilmidun tertawa keras.

“Nah, kalau soal zakat fitrahnya, Gus?”

“Soal itu, boker sampeyan barusan menunjukkan arti pelajaran penting dari nilai zakat fitrah, bahkan tidak hanya zakat fitrah, tapi juga perkara infak dan sedekah juga,” kata Gus Amar.

“Maksudnya Gus?”

“Ya, masak sampeyan mau tahinya masuk lagi ke dubur? Mau?” tanya Gus Amar.

“Ya enggak lah, Gus,” jawab Tilmidun jijik.

“Nah, makanya. Begitu keluar, kan, rasanya malah lega. Begitu juga dengan zakat, sedekah, atau infak. Dikeluarkan biar lega. Tanda-tanda ikhlas itu adalah perasaan lega. Bukan sebaliknya. Nah, dari situ kita diajarin biar bisa lega. Biar sering-sering merasakan perasaan seperti habis boker,” jelas kelar Gus Amar.

“Sekarang coba saya tanya, sampeyan kalau nerima duit dari orang senang apa enggak?”

“Ya senang lah, Gus,” kata Tilmidun sambil tersenyum.

“Lha. sekarang, gimana kalau sampeyan bisa kasih duit orang lagi butuh banget? Sampai orangnya nangis-nangis saking senangnya dan berkali-kali bilang terima kasih ke sampeyan. Rasanya daripada dapat duit, lebih enak mana?”

“Ya lebih enak kalau ngasih, sih,” jawab Tilmidun sambil garuk-garuk kepala.

“Nah, Islam dengan zakatnya itu enggak ngajarin kita caranya senang-senang, tapi ngajarin kita caranya bahagia. Kalau senang itu cuma diambil sendiri, buat ego kita sendiri. Tapi kalau kasih sebagian harta kita ke orang, bikin senang orang lain, itu bukan ngajarin biar kita sedih, tapi malah bikin kita bahagia berlipat-lipat,” kata Gus Amar. “Soalnya persoalan senang-senang itu selalu dekat sama nafsu. Sedangkan yang bahagia-bahagia itu justru kebalikannya. Bisa didapat setelah kita sukses mengalahkan nafsu-nafsu itu.”

“Oh, begitu.” Tilmidun manggut-manggut.

“Termasuk perasaan bahagianya waktu lebaran ya Gus? Setelah kita sukses membatasi yang senang-senang selama sebulan.” tanya Tilmidun.

“Iya, termasuk itu juga,” tambah Gus Amar.

“Gimana? Sudah paham, to? Sekarang ayo siap-siap berbuka dulu. Bentar lagi Magrib,” ajak Gus Amar menuju kediamannya.

Tilmidun masih terpaku di tempat duduknya, memikirkan jawaban-jawaban Gus Amar.

“Apa lagi?” tanya Gus Amar.

Tilmidun membuka mulutnya, suaranya merayap keluar pelan-pelan.

“Itu tadi dalilnya apa ya, Gus?”

================================================

Tulisan ini diinspirasi dari ceramah Emha Ainun Nadjib.

Setiap hari sepanjang Ramadan, redaksi menurunkan naskah yang berisi kisah, dongeng, cerita, atau anekdot yang, sebagian beredar dari mulut ke mulut dan sebagainya lagi termuat dalam buku/kitab-kitab, dituturkan ulang oleh Syafawi Ahmad Qadzafi. Melalui naskah-naskah seperti ini, Tirto hendak mengetengahkan kebudayaan Islam (di) Indonesia sebagai khasanah yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Naskah-naskah ini akan tayang di bawah nama rubrik "Daffy al-Jugjawy", julukan yang kami sematkan kepada penulisnya.

Baca juga artikel terkait DAFFY AL-JUGJAWY atau tulisan lainnya dari Ahmad Khadafi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Ahmad Khadafi
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Maulida Sri Handayani