Menuju konten utama

Buah Simalakama Korban Perkosaan yang Hamil

Aborsi bagi banyak orang (dan masyarakat) bukanlah pilihan.

Buah Simalakama Korban Perkosaan yang Hamil
Ilustrasi aborsi. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Sudah jatuh, tertimpa tangga. Begitulah kira-kira gambaran korban-korban perkosaan yang mengandung bayi yang tak diinginkannya. Kasus kekerasan seksual yang satu ini memang jamak ditemukan di berbagai negara, dan hingga sekarang, masih banyak korban yang perlu berjuang ekstra untuk mendapatkan keadilan.

Salah satu bentuk keadilan yang dituntut korban perkosaan adalah hak untuk menggugurkan kandungan. Sayangnya, beragam rintangan mulai dari budaya yang terejawantah dalam norma sosial hingga hukum di negaranya membuat mereka sulit mendapatkan hak ini.

Pada Senin (31/7) lalu, Times of India mewartakan seorang remaja 14 tahun dari Baireilly, Uttar Pradesh, India dipaksa untuk menikahi pemerkosanya. Alasannya, sosok si pemerkosa dianggap diperlukan untuk menyokong hidup bayi 10 bulan yang dilahirkan si korban.

Ayah korban hanyalah seorang pekerja upahan harian yang sedang terbelit utang lantaran mesti menafkahi delapan anggota keluarga lainnya. Keterdesakan ekonomi dan tekanan dari tokoh-tokoh desa membuat sang ayah menikahkan anaknya dengan si pemerkosa dengan catatan, ia tidak boleh meninggalkan atau melecehkan putrinya di kemudian hari. Jika syarat ini tidak dipenuhi, ayah korban akan menuntutnya ke pengadilan.

Tentu kasus di India ini bukan pertama dan satu-satunya terjadi di dunia. Di Indonesia pun jamak ditemukan pernikahan korban perkosaan dengan si pemerkosanya hanya karena keluarga ingin menutupi aib. Di samping itu, pandangan bahwa si bayi yang akan lahir nanti akan membutuhkan sosok ayah menjadi justifikasi lain mengapa si korban harus menikah dengan orang yang menghamilinya.

Menikah semakin menjadi opsi tak terhindarkan bagi korban jika ia tidak ingin anak yang dilahirkannya kelak mendapat kesulitan mengakses hak konstitusional dan pendidikan. Pasalnya di Indonesia, hak-hak semacam ini bisa dituntut seseorang jika ia memiliki akta lahir yang mensyaratkan bukti perkawinan kedua orangtuanya.

Lantas, bagaimana dengan opsi aborsi bagi korban-korban perkosaan?

Indonesia sedikit lebih sensitif terhadap konsekuensi perkosaan yang dialami perempuan. Sejak 2014, telah diterbitkan PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, dan dalam pasal 31, terdapat aturan mengenai aborsi oleh korban perkosaan. Aborsi dibolehkan selama ada indikasi kedaruratan medis atau hamil akibat diperkosa. Kedua kondisi itu masih ditambah syarat lain: usia kehamilan maksimal 40 hari sejak hari pertama haid terakhir.

Menurut riset Pew Research pada 2015, dari 196 negara yang diteliti regulasinya mengenai aborsi, ada 189 negara yang melegalkan aborsi dengan alasan tertentu. Indonesia termasuk negara yang membolehkan aborsi dilakukan oleh korban perkosaan dan perempuan yang kesehatannya terancam jika harus hamil dan/atau melahirkan. Sementara di beberapa negara seperti Afghanistan, Algeria, Bangladesh, Kongo, Iran, Irak, Irlandia, Jamaika, Pakistan, Filipina, Arab Saudi, Venezuela, dan Yaman, praktik aborsi dengan alasan perempuan diperkosa tetap tidak diizinkan.

Jika di Indonesia hanya dua kondisi saja yang membuat aborsi legal dilakukan, di sejumlah negara seperti Australia, Austria, Nepal, Belanda, dan Norwegia, lebih banyak alasan yang diterima untuk mengizinkan perempuan melakukan aborsi. Alasan-alasan tersebut adalah untuk menyelamatkan nyawa si perempuan, untuk menjaga kesehatan fisik dan mentalnya, kondisi janin yang buruk, pertimbangan sosial-ekonomi, dan berdasarkan permintaan si perempuan sendiri.

Meskipun pemerintah telah membuat regulasi yang membolehkan korban perkosaan untuk menggugurkan kandungan, masih ada kendala lain yang menghadangnya melakukan hal tersebut. Salah satunya ialah norma agama yang menganggap aborsi adalah bentuk pembunuhan yang tidak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun. Mereka yang melanggar norma agama—yang begitu kuat pengaruhnya di mayoritas masyarakat Indonesia—harus siap dengan sanksi sosial yang dikenakan kepadanya begitu tindakan aborsi dilakukan.

Anggapan bahwa aborsi merupakan momok dan melanggar hukum sempat membuat BL (16) dijebloskan ke penjara. Dilansir Kompas (28/7), pada 2016, BL berkenalan dengan seorang pemuda 21 tahun lewat Facebook. Setelah beberapa lama berkomunikasi, BL diajak ke rumah teman si pelaku, dan di sanalah ia dipaksa berhubungan badan meski sudah memberontak dan berteriak. Peristiwa menyakitkan ini tidak diceritakan BL kepada orangtuanya.

Selang dua bulan, BL merasa mual dan pusing sehingga orangtuanya membawa BL mengecek kesehatan di puskesmas. Dokter di sana menyatakan BL hanya mengalami maag. Sampai saat itu, BL masih mengalami menstruasi, tetapi dalam jumlah sedikit. Ia pun tidak tahu dan tak yakin dirinya hamil.

Kemudian, lantaran keluarganya mengalami kesulitan ekonomi, BL memutuskan berhenti sekolah di Pandeglang dan memilih menjadi pembantu di Jakarta dengan bantuan agen penyalur, demikian keterangan ketua majelis hakim, Fahimah Basyir. Pada 1 Mei, sebulan setelah BL menjadi pembantu di Jakarta, ia merasakan sakit tak biasa di perutnya. BL mencoba buang air besar, tetapi tidak bisa.

Lantas, sebuah gumpalan besar keluar dari perut BL, tetapi menyangkut di organ kewanitaannya. BL pun mengambil pisau dapur dan mengeluarkan gumpalan itu. Setelahnya, BL membungkus gumpalan dari perutnya—yang ternyata adalah bayi dan ari-ari—dan membuangnya ke tempat sampah dapur. Dua hari kemudian, petugas kebersihan menemukan bungkusan tersebut dan melaporkannya ke polisi.

BL akhirnya ditangkap dan ditahan di Rutan Pondok Bambu dengan tuduhan penganiayaan terhadap anak yang menyebabkan meninggal sebagaimana tercantum di Pasal 76 huruf c juncto Pasal 80 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Beruntung, masih ada pihak yang peduli akan nasib korban perkosaan seperti BL. Remaja ini didampingi LBH Apik yang keberatan atas tuntutan jaksa, yakni 8,5 tahun penjara untuk BL. Perjuangan mendapatkan keadilan bagi BL akhirnya membuahkan hasil. Akhir Juli kemarin, majelis hakim menilai BL membuang bayinya karena remaja itu tidak tahu dirinya hamil.

Sikap sensitif hakim semakin terlihat ketika menyatakan, “Anak melahirkan bayi yang tidak diduga sama sekali, dalam peristiwa yang dialaminya, ia mendapat tekanan batin dan trauma.” Hakim juga menilai, BL adalah korban dari kemiskinan dan perkosaan yang sejak usia dini mesti menanggung beban berat pada saat semestinya ia masih melanjutkan pendidikan. Atas dasar pertimbangan ini, hakim pun menolak tuntutan jaksa dan menjatuhi hukuman bimbingan di panti sosial sesuai rekomendasi Badan Pemasyarakatan (Bapas).

Vonis hakim ini pun mengundang apresiasi dari pihak-pihak yang empati terhadap korban perkosaan. Dengan melihat kasus pembebasan BL dari jerat hukum, masyarakat bisa menilai bahwa aborsi yang dilakukan korban perkosaan bukanlah yang semestinya dilarang karena memiliki dampak besar bagi masa depannya.

Beban Ganda Korban Perkosaan yang Hamil

Memilih aborsi di tengah masyarakat yang kontra terhadap aksi ini menghadirkan dilema dalam diri korban perkosaan. Di satu sisi, aborsi adalah pilihan untuk mengenyahkan bukti hidup pengalaman pahit yang dirasakan si korban. Ketika melihat anaknya lahir dan tumbuh, potensi besar si korban larut dalam trauma mendalam akan muncul. Penyesalan dan depresi bukan tidak mungkin terjadi setelah korban melahirkan. Bukan hanya itu, masa depan korban pun mau tak mau mereka korbankan bila tidak memilih menggugurkan bayinya.

Namun di lain sisi, melakukan aborsi juga membawa dampak buruk tersendiri. Dikutip dari jurnal yang ditulis Gerald D. Coleman (2015), studi Dr. Sandra Mahkorn yang meneliti korban-korban perkosaan yang hamil menunjukkan, perempuan yang melakukan aborsi merasakan tekanan besar untuk memilih opsi tersebut. Setelahnya, mereka tak bisa lepas dari duka berlarut-larut dan trauma.

Sementara dari sisi anak korban perkosaan, sederet konsekuensi negatif pun menanti mereka begitu lahir dan tinggal bersama ibu yang mengemban trauma. Psikolog dan penulis buku Far From the Tree, Andrew Solomon menjelaskan bahwa anak hasil perkosaan sangat mungkin menderita gangguan psikologis seperti gangguan stres pasca-trauma, depresi, dan kecemasan.

Infografik Aborsi Korban Perkosaan

Sebelum dilahirkan pun anak dalam kandungan korban perkosaan berisiko mengalami gangguan kesehatan. Riset menunjukkan, stres yang dialami ibu hamil memengaruhi perkembangan embrio. Banyak korban perkosaan yang mengonsumsi antidepresan untuk mengatasi masalah psikologisnya, dan hal ini pada akhirnya membahayakan janin para korban.

Perasaan ditolak dan kecil hati pun mengekori hidup anak-anak korban perkosaan. Dalam banyak kasus, korban perkosaan menjadi kasar atau justru cenderung tak peduli terhadap anak yang lahir setelah perkosaan. Angelique, salah satu anak korban perkosaan di Rwanda, menyatakan kepada Montreal Gazzete bahwa dirinya selalu merasa ditolak oleh ibu dan seluruh keluarga besarnya.

“Kini ibu saya merasa bertanggung jawab atas permasalahan yang saya hadapi dan itu membuat saya merasa bersalah,” ucapnya. Di dalam konteks pergaulan sehari-hari pun, anak korban perkosaan mesti menghadapi tekanan lain berupa olok-olok dari kawan-kawannya jika ia ketahuan lahir dari kekerasan seksual oleh laki-laki terhadap ibunya.

Perdebatan mengenai aborsi memang tak kunjung usai dari waktu ke waktu. Namun, alih-alih menuding pendapat siapa yang benar dan siapa yang salah, akan lebih bijak bila melihat pertimbangan dari sisi para korban. Entah memilih aborsi atau tidak, tindakan yang diambil korban sepatutnya bersumber dari kehendak bebasnya, bukan atas tekanan orang lain yang sangat besar kemungkinannya merusak masa depan dan kondisi jiwa diri dan anaknya.

Baca juga artikel terkait PERKOSAAN atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani