Menuju konten utama

Bu Lis & Problem Obat yang Tak Ditanggung sebagai Lubang BPJS

Masalah yang dilontarkan Sandiaga Uno adalah bagian dari penyakit kronis defisit BPJS Kesehatan.

Bu Lis & Problem Obat yang Tak Ditanggung sebagai Lubang BPJS
Cawapres nomor urut 02 Sandiaga Uno memaparkan visi dan misi saat mengikuti Debat Capres Putaran Ketiga di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/3/2019). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Tema kesehatan adalah salah satu topik yang dibahas di debat putaran ketiga Pemilihan Presiden 2019. Hal yang dinanti dalam debat tersebut ialah soal Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), khususnya soal penyakit kronis defisit anggaran yang menggerogoti Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Sejak tahun pertama diluncurkan, BPJS Kesehatan selalu besar pasak daripada tiang. Angkanya terus meningkat. Jika pada 2014 defisit sebesar Rp3,3 triliun, pada 2015, tunggakannya membengkak menjadi Rp5,8 triliun.

Pada 2016, utang itu meningkat menjadi Rp6,6 triliun dan bertambah menjadi Rp9,8 triliun pada 2017. Pada 2018, angka defisit BPJS Kesehatan diperkirakan mencapai Rp16,5 triliun.

Jurus Sandiaga: Obat yang Tak Ditanggung JKN

Defisit yang dialami BPJS Kesehatan salah satunya ditanggulangi dengan mengurangi obat yang ditanggung. Sandiaga Uno menyindir kubu petahana dengan kasus Ibu Lis di Sragen yang harus menghentikan pengobatannya karena sudah tidak ditanggung oleh BPJS. Sandiaga berjanji hendak menyelesaikan persoalan tersebut dalam 200 hari pertama.

“Kita pastikan defisit ditutup dengan penghitungan melibatkan putra-putri terbaik bangsa, tenaga kesehatan harus dibayar tepat waktu, obat harus dibayar tepat waktu, tidak boleh ada antrian panjang dan kami akan memulai program promotif preventif 20 menit per hari olahraga,” janji Sandiaga.

Cerita Sandiaga soal Ibu Lis dari Sragen tersebut pernah ia unggah di akun Twitternya pada tanggal 30 Desember 2018. Dalam video berdurasi 59 detik itu, seorang perempuan bernama Liswati mencurahkan isi hatinya perihal pengobatannya yang memberatkan.

“Saya adalah pasien kanker payudara yang tidak di-cover oleh pemerintah obatnya. Nah, saya mohon Bang Sandi untuk bisa membantu teman-teman kita, yaitu seperti saya obat resep itu tidak dijamin oleh BPJS,” tutur Liswati.

Curhat Liswati itu sama dengan kisah Yuniarti Tanjung (Yuni), seorang penderita kanker payudara yang sulit berobat lantaran BPJS menghapus trastuzumab dari daftar obat pada tahun 2018 lalu. Trastuzumab adalah obat yang efektif bagi penderita kanker payudara HER2+.

Enggan tinggal diam, suami Yuniarti, Edy Haryadi, dan anak semata wayang mereka Raka Arung Aksara pun menggugat Direksi BPJS dan Presiden Jokowi. Gugatan tersebut dilayangkan setelah mereka mengirim surat kepada Direksi BPJS, tapi obat tak juga didapat hingga kemoterapi Yuniarti yang pertama pada 10 Juli 2018.

Kala itu, BPJS beralasan obat trastuzumab dikeluarkan dari daftar karena tak memiliki dasar indikasi medis untuk pasien kanker payudara metastatik. Jika tak ditanggung BPJS Kesehatan, pasien harus menanggung harga obat hingga Rp22.400.000,00 per ampul yang berisi 440 cc. Padahal, biasanya, per pasien membutuhkan 350 cc untuk sekali infus. Sebelum dihapus, BPJS masih menanggung 8 ampul per pasien. Artinya, seorang pasien membutuhkan dana hampir Rp200 juta.

Akhirnya, gugatan itu dikabulkan melalui sidang mediasi kedua pada Senin, 24 September 2018 sehingga sang pasien bisa memperoleh trastuzumab melalui fasilitas BPJS Kesehatan.

Meski begitu, masalah belum usai. Pada tanggal 17 Januari 2019, Edy Haryadi menceritakan tentang perjuangan hukumnya. Ketika Edy ke apotek Rumah Sakit Persahabatan, ia harus gigit jari karena stok trastuzumab yang kosong sejak 11 Januari 2019. Kekosongan obat itu membuat proses kemoterapi sang istri harus mundur.

Mulanya, Yuni dijadwalkan untuk melakukan kemoterapi pada 14 Januari 2019, tapi harus mundur menjadi 18 Januari 2019. Karena obat itu cepat habis, jadwal kemoterapi Yuni pun akhirnya mundur hingga tanggal 25 Januari 2019.

Masalah obat yang dikeluarkan dari jaminan BPJS tak berhenti di trastuzumab. Mulai 1 Maret 2019, Kementerian Kesehatan mengeluarkan obat bevacizumab dan cetuximab untuk pengobatan kanker kolorektal atau kanker usus besar dari Formularium Nasional.

Kali ini, alasan yang digunakan oleh BPJS Kesehatan adalah efektivitas dan ekonomis kedua obat tersebut. BPJS Kesehatan pun berjanji hendak memberikan obat pengganti keduanya.

Selain mengeluarkan beberapa obat, Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah mengungkap temuan kasus kekosongan obat layanan BPJS Kesehatan di Kota Banda Aceh, Kota Medan, Kota Banten, dan Kota Blitar.

Peneliti ICW Dewi Anggraeni membeberkan bahwa temuan itu didapatkan dari survei yang digelar ICW dan jaringan pemantau periode Juli-Desember 2018. Metode survei yang mereka gunakan saat itu dengan observasi, investigasi, dan wawancara terhadap pasien.

Kebijakan yang Terus Diperbarui

Sejak masalah anggaran bersarang, kebijakan terkait JKN terus mengalami pembaruan. Pada 2016, pemerintah pernah meningkatkan iuran bagi peserta pekerja bukan penerima upah dan peserta bukan pekerja. Melalui Peraturan Presiden Nomor 19 tahun 2016 (PDF), BPJS menaikkan angka subsidi untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang semula Rp19.225,00 menjadi Rp23 ribu. Iuran ini dibiayai APBN.

Selain itu, tarikan pada penerima manfaat juga dinaikkan. Untuk kelas II dari Rp42.500 menjadi Rp51 ribu dan kelas I dari Rp59.500 menjadi Rp80 ribu.

Tahun 2018 lalu, sempat muncul wacana ihwal kenaikan iuran BPJS Kesehatan, tetapi pemerintah urung melakukannya. Saat itu, pemerintah melihat ada dua opsi untuk menekan utang BPJS, yakni meningkatkan iuran atau efisiensi pengeluaran.

Akhirnya, pemerintah memilih efisiensi pengeluaran untuk menyelesaikan kasus defisit anggaran dengan mendorong masyarakat tetap sehat dan bebas dari penyakit berat.

Melalui Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 (PDF), ada beberapa layanan yang tak lagi dijamin oleh BPJS Kesehatan dalam pasal 52. Kepala Hubungan Masyarakat BPJS Kesehatan, Iqbal Anas Ma’ruf menjelaskan bahwa aturan itu hanya sebagai penegasan terhadap tanggung jawab pembiayaan oleh instansi-instansi pemerintah.

“Sebenarnya bukan berarti BPJS Kesehatan menanggung hal-hal yang dimaksud, tapi dia diakomodir dengan ketentuan-ketentuan lain, seperti tindak pidana penganiayaan, dulu di Perkapolrinya ada, bahwa kekerasan dan yang lain masuk dalam pembiayaan di sana,” ujar Iqbal kepada Tirto, saat itu.

BPJS Kesehatan tak hanya menyodorkan solusi tersebut, tapi juga membuat aturan skema urun biaya sebagai mekanisme baru ketika berobat. Solusi itu tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 tahun 2018 (PDF).

suju-snsd--MILD--Quita

Infografik Debat Kesehatan. tirto.id/AlfiaAquita

Pemerintah Pelit?

Seperti diungkapkan Sandiaga, memang benar masalah BPJS Kesehatan adalah biaya klaim yang melebihi iuran. Namun, bukan berarti negara pelit. Sejak 2014, negara tak pernah absen menutup lubang utang BPJS.

Pada 2014, pemerintah menggelontorkan biaya sebesar Rp500 miliar untuk menambal iuran. Pada 2015, dana yang dikeluarkan negara meningkat menjadi Rp5 triliun. Kemudian, pada 2016, BPJS Kesehatan kembali disuntik pemerintah dengan dana cadangan senilai Rp6,8 triliun.

Pada 2017, pemerintah tak berhenti mengucurkan dana, sebab BPJS Kesehatan kembali dialiri dana cadangan sebesar Rp3,6 triliun, dan di tahun 2018, dana yang dikeluarkan pemerintah melambung menjadi Rp10,25 triliun.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar pernah menyarankan agar BPJS mengatasi tunggakan iuran peserta dan menekan angka rujukan.

Selain itu, bekas Direktur Utama Jamsostek Hotbonar Sinaga pernah mengungkapkan bahwa aturan-aturan yang muncul untuk mengatasi utang-utang BPJS Kesehatan justru menyulitkan peserta. Untuk menyelesaikan hal tersebut, menurutnya, pemerintah bisa mengerek iuran bagi Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang dibayar oleh APBN dari Rp23 ribu menjadi Rp36 ribu.

“Kalau menurut saya, itu harusnya dinaikkan, karena itu salah satu kunci untuk bisa memperbaiki defisit BPJS, karena seluruh perhitungan DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional) 2 tahun lalu bukan Rp23.000,00 tapi Rp36.000,00 per bulan,” kata Hotbonar Desember 2018 lalu.

Baca juga artikel terkait DEBAT CAWAPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani