Menuju konten utama

BTP dan Chandra Dianggap Cocok Jadi Bos BUMN, tapi Itu Tidak Cukup

Keberadaan BTP dan Chandra Hamzah yang dikenal berintegritas sebagai bos BUMN perlu disambut baik. Tapi itu saja tidak cukup.

BTP dan Chandra Dianggap Cocok Jadi Bos BUMN, tapi Itu Tidak Cukup
Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, yang dikenal sebagai pusat "Ahok," memberi isyarat kepada media ketika dia pergi setelah diinterogasi oleh para penyelidik di Markas Besar Kepolisian Nasional di Jakarta, Indonesia, Senin, 7 November 2016. Kepolisian Indonesia sedang menyelidiki Tuduhan penistaan terhadap Ahok, seorang etnis Tionghoa dan Kristen minoritas, setelah sebuah video beredar online di mana ia membuat pernyataan tentang sebuah bagian dalam Al-Quran yang dapat ditafsirkan sebagai pelarangan Muslim menerima non-Muslim sebagai pemimpin. Gubernur telah meminta maaf atas komentar tersebut dan bertemu dengan polisi. AP / Tatan Syuflana

tirto.id - Kementerian BUMN akan menempatkan mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan mantan komisioner KPK Chandra Hamzah sebagai pimpinan di perusahaan pelat merah. Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga, mengatakan keduanya dipilih karena berintegritas.

Salah satu pembuktian integritas BTP terjadi pada Januari 2015, saat Bappeda DKI mengajukan anggaran Rp8,8 triliun untuk merealisasikan program sosialisasi SK Gubernur DKI ke masyarakat. Alih-alih tanda tangan, BTP malah menggoreskan kalimat yang di kemudian hari kerap digunakan untuk menyindir anggaran tak masuk akal: "pemahaman nenek lu!"

Sementara rekam jejak Chandra, bisa dibilang, lebih mentereng. Kiprahnya dalam aksi pemberantasan korupsi sudah dimulai sejak tahun 2000, saat bergabung dengan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Puncak kariernya terjadi pada 2007-2011 saat menjabat Wakil Ketua KPK.

Selain agar integritas mereka 'menular' ke seluruh pekerja dan petinggi BUMN, BTP dan Chandra juga diharapkan dapat "membangun kepercayaan publik" agar timbul "image yang baik terhadap BUMN," kata Arya.

Pernyataan Arya dapat dimengerti karena sampai saat ini ada 73 pejabat BUMN/BUMD telah menjadi 'pasien' KPK meski Rini Soemarno, Menteri BUMN sebelum Erick Thohir, menegaskan kalau kejahatan mereka "adalah urusan perorangan".

Tidak Cukup

Sampai saat ini belum jelas akan ditempatkan di mana dua orang ini. Belum terbukti pula apakah nanti keduanya memang dapat memenuhi harapan sang menteri. Yang jelas, harapan ke arah sana memang disuarakan beberapa pihak, termasuk KPK, kata Juru bicara KPK Febri Diansyah, Rabu (20/11/2019).

Hanya saja, Febri menegaskan korupsi di BUMN sudah sistemik dan itu rasa-rasanya sulit diberantas hanya dengan keberadaan dua orang ini. Menurutnya, "menempatkan orang berintegritas adalah satu hal, namun secara konsisten membangun sistem yang meminimalisasi korupsi jauh lebih dibutuhkan."

Febri mencontohkan lewat kasus dugaan suap terkait pembelian minyak oleh Pertamina Energy Service (PT PES) untuk menggambarkan rumitnya korupsi di BUMN.

Managing Director PES periode 2009-2013 Bambang Irianto ditetapkan sebagai tersangka pada awal September lalu.

KPK awalnya menyelidiki peran Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) yang berkedudukan di Hongkong. Namun rupanya Petral hanya paper company, sementara yang menjalankan jual beli minyak dan produksi kilang adalah PT PES.

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menduga kedua perusahaan itu memang sudah disiapkan sedemikian rupa untuk mengakomodasi mafia migas. KPK bahkan sempat kesulitan mengungkap kasus ini karena harus berurusan dengan dua negara tempat dua perusahaan ini berada.

"Kenapa sih sulit-sulit seperti itu? Kalau mau beli minyak dari Singapura, di Singapura saja bikin perusahaannya. Enggak usah lagi satu di Singapura satu di Hongkong," kata Laode di Kuningan, Jakarta, Selasa (10/9/2019).

Managing Director Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Toto Pranoto menjelaskan beberapa faktor yang mengakibatkan korupsi di BUMN sulit diberantas: mandulnya whistle blowing system (sistem pelaporan pelanggaran). Hal itu diperparah dengan tak berfungsinya pengawasan internal yang mestinya dikerjakan dewan komisaris atau sistem pengendalian internal (SPI), kata Toto.

Perkara ini pernah disinggung Wakil Direktur Visi Integritas Emerson Yuntho. Menurutnya Kementerian BUMN sebenarnya sudah berusaha mencegah korupsi dengan menerbitkan Peraturan Menteri Nomor Per-01/MBU/2011 tentang penerapan tata kelola perusahaan yang baik.

Namun, katanya, pengawasan di lapangan tidak berjalan karena salah satunya "banyak pengawas di BUMN, khususnya komisaris, yang rangkap jabatan di instansi lain atau tidak berasal dari kalangan profesional."

Karenanya Toto punya kesimpulan yang sama dengan Febri: membangun sistem memang diperlukan untuk memberantas korupsi, bukan sekadar menempatkan sosok tertentu.

"Perbaikan sistem bukan saja di internal BUMN, tapi juga ekosistem BUMN. Percuma saja kalau BUMN sudah lebih clean tapi stakeholder masih banyak yang abu-abu soal good corporate governance ini," kata dia kepada reporter Tirto.

Baca juga artikel terkait BUMN atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino