Menuju konten utama

Brutalitas Aparat Menyalahgunakan UU Terorisme untuk Bunuh Sipil

Kasus salah tembak terus berulang dalam upaya menanggulangi terorisme.

Satgas Operasi Tinombala 2016 melakukan patroli bersenjata di Posko Sektor II Tokorondo, Poso, Sulawesi Tengah, Selasa (16/8). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/16.

tirto.id - Kasus salah sasaran dalam penanganan terorisme terulang. Lagi-lagi kejadiannya di Poso, Sulawesi Tengah, tepatnya di Pegunungan Kawende Kilometer 9, Kecamatan Poso Pesisir Utara.

Kali ini korban bernama Syarifuddin dan Firman. Mereka sedang beristirahat dan meneduh di sebuah gubuk usai menggarap sawah, Selasa (2/6/2020) siang. Saat itu hari sedang hujan. Selain korban, ada pula Muhajir, Anhar, Fardil (adik Syarifuddin), dan Agus (bapak Firman). Firman adalah pemuda dengan keterbelakangan mental yang sengaja diajak oleh Agus untuk menggarap sawah.

Tiba-tiba mereka diberondong tembakan oleh Satgas Tinombala, pemburu teroris gabungan Polri dan TNI. Tembakan terus muntah kendati Fardil berteriak kalau mereka adalah "petani!" dan "warga!". Syarifuddin dan Firman meninggal dunia. Rahang kiri Firmah tertembus peluru.

Berdasarkan keterangan saksi mata bernama Makmur, dinding pondok juga hancur. "Pokoknya dia serang itu, rata pondok itu," kata Makmur di Kompas TV.

Makmur menduga saat itu ada delapan orang diduga dari Brimob dan tapi tak mengenakan seragam lengkap.

Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah mengklaim langsung menyelidiki perkara ini. "Untuk saat ini Polda Sulawesi Tengah telah menurunkan tim investigasi (Propam dan Itwasda/Inspektorat Pengawas Daerah) yang dipimpin oleh Irwasda," ucap Kabid Humas Polda Sulawesi Tengah Kombes Pol Didik Supranoto ketika dikonfirmasi reporter Tirto, Senin (8/6/2020) kemarin. "Sekarang juga sudah datang Karo Provos dan Danpas Gegana, untuk mempercepat penanganan kasus."

Perkembangan kasus masih menunggu hasil kerja tim dan akan disampaikan kemudian.

Harus Transparan

Ini bukan kali pertama Satgas Tinombala salah tembak. Ada pula kasus serupa yang terjadi tak jauh dari tempat kejadian terakhir.

Di kecamatan yang sama tapi beda desa, Desa Tobe, pemuda bernama Qidam Alfarizki Mofance menjadi korban salah tembak pada 9 April lalu. Ia kabur dari rumah, lalu meminta minum di kediaman salah satu warga. Karena curiga, sang pemilik rumah lapor ke polisi. Alih-alih polisi biasa, saat itu yang datang adalah dua Satgas Tinombala. Qidam ditemukan, dianiaya dan ditembak.

Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Nasdem Taufik Basari menilai apa yang dilakukan Satgas Tinombala ini adalah kesalahan fatal. Menurutnya Polri dan TNI harus menindak tegas para pelaku jika ingin mendapatkan kepercayaan publik.

"Seluruh personel yang terlibat dan pimpinannya harus diproses hukum dan diberikan tindakan tegas," kata Taufik saat dihubungi pada Selasa (9/6/2020). "Saya sebagai anggota Komisi III akan kawal penindakan internal terhadap kasus ini," katanya menambahkan.

Hal semacam ini bisa terjadi karena menurut Tobas, demikian ia biasa dipanggil, satgas tak menerapkan prinsip kehati-hatian dan ketepatan. Aparat hukum dalam UU Terorisme memang diberi kewenangan yang besar, namun hal tersebut malah tidak dibarengi dengan kinerja yang profesional.

Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PPP Arsul Sani mengatakan selain kepolisian, Komnas HAM juga harus melakukan "penyelidikan tersendiri. "Agar nanti kedua hasil penyelidikan bisa dibandingkan," kata Arsul, Selasa siang.

Arsul mengatakan publik akan cenderung kurang percaya jika penyelidikan dilaksanakan oleh polisi saja. Dengan melibatkan Komnas HAM, menurutnya, publik akan lebih yakin dengan hasil penyelidikan.

Selain agar transparan, Arsul dan Taufik juga menyebut keterlibatan pihak eksternal akan membuat aparat membuat atau mengevaluasi mekanisme kerja yang dapat mencegah hal serupa terulang.

Evaluasi Besar-Besaran

Ghufron Mabruri, Wakil Direktur Imparsial, LSM yang bergerak di bidang pengawasan dan penyelidikan pelanggaran HAM, mengatakan personel Satgas Tinombala harus dipidana jika terbukti bersalah.

"Karena kejadian seperti ini bukan sekali-dua kali dalam penanganan terorisme. Apalagi mau melibatkan TNI. Untung saja Perpres-nya belum keluar. Bagaimana nanti sudah melibatkan TNI?" kata Ghufron saat dihubungi pada Selasa siang. "Kalau polisi melanggar dan membunuh, bisa masuk pengadilan sipil. Kalau militer, mahkamah militer itu tertutup."

Peraturan Presiden tentang tugas TNI menangani terorisme dikirim oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly ke DPR RI pada 4 Mei lalu untuk dikonsultasikan. Di dalam draf perpres disebutkan lingkup tugas TNI dalam pemberantasan terorisme terdiri atas tiga aspek, yaitu penangkalan, penindakan, dan pemulihan. Dalam aspek penangkalan, kewenangan TNI meliputi pemberdayaan masyarakat, kontra narasi dan kontra propaganda, dan intelejen.

Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo mengatakan lewat peraturan ini peran TNI akan tumpang tindih dengan instansi lain.

Ghufron lantas mendesak pemerintah dan DPR melakukan evaluasi besar-besaran terkait pola penanganan terorisme selama ini, termasuk soal sejauh mana pendekatan represif itu efektif memberantas terorisme. "Banyak penyimpangan oleh aparat. Tentu saja itu penting dievaluasi," katanya.

Evaluasi total juga penting untuk melihat sejauh mana peran Satgas Tinombala dan dampak negatifnya ke masyarakat.

"Salah satunya dampak sosial masyarakat, yang sedari lama sudah dirasakan oleh petani ke sawah, ke kebun, ke hutan, [adalah] merasa tak aman. Seharusnya itu didengar oleh pemerintah agar jadi bahan evaluasi. Enggak bisa diabaikan. Apa operasi ini tetap dibutuhkan atau enggak?" pungkasnya.

Baca juga artikel terkait KORBAN SALAH TEMBAK atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino
-->