Menuju konten utama

BPOM: Dua Dosis Vaksin Sinovac buat Lansia Diberikan selang 28 Hari

Peningkatan kadar antibodi yang baik, dengan seroconversion rate setelah 28 hari pemberian dosis kedua pada 400 orang lansia di Cina adalah 97,96 persen. 

BPOM: Dua Dosis Vaksin Sinovac buat Lansia Diberikan selang 28 Hari
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Kusumastuti Lukito memberikan keterangan pers kepada wartawan terkait perkembangan uji klinik obat kombinasi baru untuk COVID-19 di Jakarta, Rabu (19/8/2020). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/foc.

tirto.id - Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K. Lukito menyatakan kelompok lansia relatif tinggi terserang COVID-19 yakni 47,3 persen. Maka menjadi keharusan bagi pemerintah untuk memberikan vaksin Coronovac, yang dikembangkan Sinovac, kepada kelompok tersebut.

Untuk itu, BPOM kini mengeluarkan izin penggunaan darurat atau emergency use authorization (EUA) vaksin Coronavac untuk kelompok lansia, dengan catatan dua dosis diberikan dalam selang 28 hari.

“Pada 5 Februari, BPOM telah mengeluarkan persetujuan penggunaan otorisasi penggunaan darurat atau emergency use authorization (EUA) vaksin Coronavac untuk usia di atas 60 tahun, dengan dua dosis penyuntikan vaksin yang diberikan dalam selang waktu 28 hari,” tutur Penny dalam siaran pers daring, Minggu (7/2/2021).

Selama ini BPOM terus memantau dan memastikan segera mendapatkan data uji klinis lansia fase III yang dilaksanakan di Brazil, serta uji klinis fase I dan I yang sudah dilakukan di Cina. Tujuannya agar dapat diketahui data keamanan dan khasiat yang baik dan cukup bagi kelompok lansia.

“Pada akhir Januari, uji klinis fase II di Cina dan fase III di Brazil untuk kelompok usia di atas 60 telah mencapai jumlah subjek yang cukup memadai dan telah diserahkan kepada BPOM,” ujar Penny.

Hasil uji klinisnya sebagai berikut: uji klinis fase I dan II di Cina yang melibatkan 400 orang lansia menunjukkan bahwa vaksin Coronavac yang diberikan dengan dua dosis vaksin dengan jarak antardosis 28 hari, menunjukkan imunogenisitas yang baik. Peningkatan kadar antibodi yang baik, dengan seroconversion rate setelah 28 hari pemberian dosis kedua adalah 97,96 persen.

“Dengan data keamanan yang dapat ditoleransi dengan baik, serta tidak adanya efek samping yang serius derajat ketiga yang dilaporkan karena pemberian vaksin,” jelas dia.

Sementara, uji klinis fase III di Brazil melibatkan 600 orang lansia, hasilnya aman dan tidak ada efek samping serius derajat ketiga. Efek samping yang umumnya terjadi berkategori ringan, yaitu nyeri, mual, demam, bengkak, kemerahan pada kulit, dan sakit kepala.

Pemberian vaksin harus diberikan secara hati-hati kepada lansia lantaran usia ini cenderung memiliki komorbid. Maka skrining sebelum penyuntikan patut diperhatikan. BPOM telah menginformasikan kepada tenaga kesehatan sebagai acuan dalam pelaksanaan skrining sebelum vaksinasi. Penny juga meningkatkan ihwal manajemen risiko.

“Bila terjadi hal yang tidak diinginkan setelah pemberian vaksin, maka penyediaan akses layanan medis dan obat-obatan untuk penanganan kejadian ikutan pascaimunisasi yang serius, harus menjadi perhatian bagi penyelenggara vaksinasi untuk lansia,” ucap dia. Dengan diterbitkan kebijakan ini, Penny berharap angka infeksi dan kematian lansia karena COVID-19 menurun.

Selain pemberian indikasi kepada lansia, BPOM juga menyetujui untuk alternatif durasi pemberian pada 0 dan 28 hari bagi populasi dewasa (18-59 tahun) yang menjadi alternatif di luar kondisi pandemi. Meski dalam 28 hari menunjukkan imunitas yang baik, tapi dalam masa pandemi ini disarankan menggunakan jadwal 0 dan 14 hari karena pembentukan antibodi optimal adalah 14 hari setelah dosis kedua.

BPOM berupaya menjamin keamanan keamanan, khasiat, dan mutu vaksin demi mencapai terbentuknya herd immunity, sebagai upaya keluar dari pandemi COVID-19. Setelah menyetujui vaksin Coronavac, lanjut Penny, pihaknya akan mengevaluasi beberapa vaksin yang akan digunakan oleh pemerintah dalam program vaksinasi nasional.

Baca juga artikel terkait VAKSINASI COVID-19 atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Restu Diantina Putri