Menuju konten utama

BPKN Catat Pengaduan E-Commerce Naik Tajam Selama COVID-19

Jumlah pengaduan e-commerce selama pandemi COVID-19 ini melonjak dari posisi 2017-2019 yang hanya 32 kasus,

BPKN Catat Pengaduan E-Commerce Naik Tajam Selama COVID-19
Ilustrasi e-commerce. SHUTTERSTOCK

tirto.id - Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menyatakan pengaduan di sektor e-commerce mencapai 295 kasus per 11 Desember 2020. Jumlah pengaduan e-commerce selama COVID-19 ini melonjak dari posisi 2017-2019 yang hanya memiliki 32 kasus.

E-commerce mengalami peningkatan paling tajam. E-commerce kemarin hanya 1,35 persen selama 3 tahun (2017-2019). 2020 meningkat tajam jadi 23,11 persen,” ucap Wakil Ketua BPKN Rolas B Sitinjak dalam konferensi pers virtual, Senin (14/12/2020).

Rolas menjelaskan kasus e-commerce ini umumnya terkait dengan perkara one time password (OTP) dan phishing. Phishing biasanya muncul sebagai link yang sengaja dikirimkan konsumen dengan iming-iming menarik untuk dikunjungi konsumen tetapi kenyataannya link itu membuka celah bagi pelaku kejahatan memasuki akun konsumen.

Sementara itu OTP merupakan mekanisme pengaturan password lewat pengiriman kode khusus yang seharusnya hanya dapat diterima konsumen. Namun lewat satu dan lain hal, pelaku kejahatan juga dapat memperoleh kode itu.

Lewat OTP dan phising, ia bilang sejumlah pihak dapat menguasai akun konsumen. Alhasil pihak yang tak bertanggung jawab melakukan belanja maupun transaksi di luar pengetahuan konsumen.

“OTP dan phising ini kan bicara password, maka konsumen harus cerdas meningkatkan kemampuan atau lebih hati-hati,” ucap Rolas.

Selain itu, dari laporan yang diterima BPKN, kasus e-commerce juga terkait dengan kendala refund atau pengembalian uang. Ia bilang pada kasus ini pelaku usaha seperti maskapai maupun masyarakat tidak salah karena mereka sempat tidak bisa melakukan aktivitasnya karena pandemi COVID-19. Sayangnya ketika proses refund, konsumen seringkali salah menginput nama, nomor rekening.

Kasus lainnya, BPKN juga sempat menemukan adanya ketidaksesuaian ketentuan refund dengan perundang-undangan. Ia mencontohkan sebenarnya refund tidak boleh dalam bentuk voucher karena barang-jasa dibeli konsumen dengan uang sehingga bentuk refund itu dianggap tidak memulihkan hak konsumen.

“Kemenhub mengiiznkan refund terkait voucher tapi Kemenhub akhirnya bersedia berdiskusi dan membenahi,” ucap Rolas.

Baca juga artikel terkait E-COMMERCE atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Bisnis
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Gilang Ramadhan