Menuju konten utama

BPK Nyatakan Tata Niaga Impor Dalam Negeri Tidak Efektif

Karena tak efektif, jumlah alokasi impor dalam penerbitan PI gula, beras, sapi, dan daging sapi tidak sesuai dengan kebutuhan yang sebenarnya.

BPK Nyatakan Tata Niaga Impor Dalam Negeri Tidak Efektif
Sejumlah buruh menurunkan beras impor dari Vietnam di Pelabuhan Tenau, Kupang, NTT (13/2/2018). ANTARA FOTO/Kornelis Kaha

tirto.id - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan proses kepabeanan kegiatan impor barang pada 2015 hingga semester I 2017, belum efektif. Hal itu dilihat baik dari sisi aspek regulasi, sumber daya manusia, sistem informasi, sarana dan prasarana, maupun proses pelaksanaannya.

Pemeriksaan atas kegiatan ini dilakukan pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) serta Pengelola Portal Indonesia National Single Window (PP INSW)

Dari hasil pemeriksaan itu dinyatakan, pertama, ketentuan pelaksanaan proses pengawasan pembongkaran dalam UU Kepabeanan belum diatur secara lengkap dalam peraturan pelaksanaan.

Kedua, Customs Excise Information System and Automation (CEISA) belum sepenuhnya terintegrasi dengan portal INSW dan belum menghasilkan data yang akurat.

"Lalu [ketiga], pelaksanaan kegiatan penyusunan jalur dan pemutakhiran profil importir dan komoditas juga belum sesuai dengan prosedur yang ditetapkan, dan manajemen risiko belum sepenuhnya diterapkan," papar Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara sebagaimana tertera dalam keterangan Iktisar Hasil Pemeriksaan II 2017.

Keempat, pejabat pemeriksa dokumen dinilai belum sepenuhnya cermat dan tepat waktu dalam melakukan penelitian tarif dan nilai pabean.

Ketidakefektifan juga ditemukan atas pemeriksaan pengelolaan tata niaga impor yang dilakukan Kementerian Perdagangan (Kemendag) pada 2015-semester I tahun 2017. Hal ini terkait efektivitas Sistem Pengendalian Intern (SPI) serta kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan atas pelaksanaan rapat terbatas, penetapan alokasi impor, penerbitan perizinan impor, pelaporan realisasi impor, serta monitoring dan evaluasi impor.

Adapun komoditas pangan impor yang disoroti adalah gula, beras, sapi dan daging sapi, kedelai serta garam, jelas Moermahadi.

Disebutkannya bahwa permasalahan utama pengendalian intern dalam pengelolaan tata niaga impor pangan pada Kemendag terkait SOP belum berjalan optimal, serta sistem informasi akuntansi dan pelaporan tidak memadai.

Terkait SOP belum berjalan optimal tersebut, didasarkan pada temuan pemeriksaannya. Antara lain, pertama, izin impor beras sebanyak 70.195 ton tidak memenuhi dokumen persyaratan, melampaui batas berlaku dan bernomor ganda.

Kedua, impor beras kukus sebanyak 200 ton tidak memiliki rekomendasi dari Kementerian Pertanian.

Ketiga, impor sapi pada 2016 sebanyak 9.370 ekor dan daging sapi sebanyak 86.567,01 ton serta impor garam pada 2015 hingga semester I 2017 sebanyak 3,35 juta ton, tidak memenuhi dokumen persyaratan.

Sementara terkait sistem informasi akuntansi dan pelaporan tidak memadai, hasil temuannya yaitu Kemendag tidak memiliki sistem untuk memantau realisasi impor dan kepatuhan pelaporan oleh importir.

Selanjutnya, dipaparkan pula perihal ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan atas pengelolaan tata niaga impor pangan pada Kemendag. Pertama, jumlah alokasi impor untuk komoditas gula kristal putih (GKP), beras, sapi dan daging sapi pada 2015 hingga semester I/2017 yang ditetapkan dalam Persetujuan Impor (PI) tidak sesuai dengan data kebutuhan dan produksi dalam negeri.

Kedua, penerbitan PI gula pada 2015 hingga semester I/2017 sebanyak 1,69 juta ton tidak melalui rapat koordinasi. Ketiga, penerbitan PI gula kristal mentah (GKM) kepada PT Adikarya Gemilang dalam rangka uji coba kegiatan industri sebanyak 108.000 ton tidak didukung data analisis kebutuhan.

Kemudian, keempat, penerbitan PI sapi kepada Perum Bulog tahun 2015 sebanyak 50.000 ekor juga tidak melalui rapat koordinasi. Kelima, penerbitan PI daging sapi pada 2016 sebanyak 97.100 ton dan realisasi sebanyak 18.012,91 ton atau senilai Rp737,65 miliar tidak sesuai atau tanpa rapat koordinasi dan/atau tanpa rekomendasi Kementerian Pertanian.

"Kemendag diharapkan mengembangkan Portal Inatrade dan mengintegrasikan dengan portal milik instansi/entitas lain yang menyediakan data dokumentasi hasil koordinasi dan data rekomendasi," saran Moermahadi.

BPK juga merinci akibat dari permasalahan-permasalahan tersebut, antara lain:

1. Jumlah alokasi impor dalam penerbitan PI gula, beras, sapi dan daging sapi tidak sesuai dengan kebutuhan yang sebenarnya.

2. Penerbitan izin impor GKM dalam rangka menjaga ketersediaan dan stabilisasi harga GKP tahun 2015-semester I tahun 2017 melanggar ketentuan.

3. Penerbitan izin impor GKM, beras, beras kukus, sapi siap potong, daging sapi dan garam melanggar ketentuan.

4. Impor sapi siap potong sebanyak 50.000 ekor dengan realisasi sebanyak 3.179,83 ton atau senilai Rp111,19 miliar tidak dapat diyakini dasar penugasannya.

5. Pengendalian atas penerbitan PI tidak dapat dilakukan.

6. Terdapat realisasi impor daging sapi melebihi PI sebanyak 704,67 ton.

7. Kemendag tidak memiliki sistem informasi yang terintegrasi, yang menyediakan informasi untuk pengambilan keputusan kebutuhan impor, termasuk hubungannya dengan stabilisasi harga.

8. Kemendag tidak memiliki analisis jumlah alokasi impor yang dibutuhkan dalam rangka menjaga ketersediaan dan stabilitas harga.

9. Portal Inatrade belum terhubung secara otomatis dengan portal milik instansi/entitas lain yang menyediakan data dokumentasi hasil koordinasi dan data rekomendasi.

10. Direktur Impor dan Direktur Fasilitasi Ekspor dan Impor tidak melakukan monitoring atas laporan realisasi impor.

11. Pejabat penandatangan PI tidak menerapkan sanksi kepada perusahaan importir yang tidak dan/ atau terlambat menyampaikan laporan realisasi impor.

Baca juga artikel terkait BPK atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Yuliana Ratnasari