Menuju konten utama

BPK Menyentil Proyek Mangkrak, PLN Menampik

BPK menemukan sia-sianya anggaran karena sejumlah proyek listrik PLN berpotensi mangkrak. PLN menampik temuan BPK, dan menyebut tidak ada masalah dalam proyek listrik yang berjalan.

BPK Menyentil Proyek Mangkrak, PLN Menampik
Petugas Polisi Perairan berjaga saat nelayan bersama sejumlah aktivis yang tergabung dalam koalisi Break Free yaitu Greenpeace, Walhi, dan Jatam melakukan aksi di lepas pantai Batang, Jawa Tengah, Kamis (30/3). Dalam aksinya mereka menuntut agar pemerintah menghentikan pembangunan PLTU Batang dan beralih ke energi baru terbarukan, karena PLTU itu dapat menghilangkan mata pencaharian masyarakat sekitar serta merusak lingkungan. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/pd/17

tirto.id - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyentil PLN dengan sejumlah temuan dalam proyek percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 megawatt periode 2006-2015. Dalam laporan ikhtisar hasil pemeriksaan semester (IHPS) II 2016, BPK menyimpulkan PLN belum mampu menjamin kebutuhan teknis yang sesuai ketetapan dan harga wajar untuk proyek tersebut.

Saat memberikan laporan dalam sidang paripurna DPR 6 April 2017 lalu, Ketua BPK yang saat itu dijabat Harry Azhar Azis menyampaikan pengeluaran PLN sebesar Rp609,54 miliar dan $78,69 juta untuk membangun sejumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) tidak memberi manfaat sesuai rencana karena berpotensi mangkrak. PLTU yang ia maksud adalah PLTU Tanjung Balai Karimun, PLTU 2 NTB Lombok dan PLTU Kalimantan barat 2, serta PLTU Kalimantan Barat 1.

Potensi kesia-siaan habisnya anggaran negara juga terjadi lantaran PLN belum mengenakan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan pembangunan PLTU sebesar Rp704,87 miliar dan $102,26 juta kepada produsen listrik swasta atau independent power producer (IPP).

Proyek percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 megawatt tersebut dicetuskan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Payung hukum proyek ini adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2006 yang terakhir kali diubah dengan Perpres Nomor 193 Tahun 2014 tentang Penugasan kepada PLN untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Batubara.

Realisasi dari Perpres tersebut, PLN membangun pembangkit listrik berkapasitas 9.935 MW di 37 lokasi. Pembangunan terdiri dari 10 lokasi di Pulau Jawa berkapasitas 7.490 MW dan 27 lokasi di luar Pulau Jawa berkapasitas 2.445 MW.

Laporan BPK menyatakan mangkraknya sejumlah proyek PLTU dalam program 10.000 MW terjadi karena sejumlah faktor: perencanaan kegiatan yang tidak memadai, pemborosan belanja, dan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sebagai contoh, PLN tidak memperhatikan alur pelayaran Sungai Kapuas dalam membangun desain bangunan pelindung pada PLTU Kalimantan Barat 1 sehingga harus didesain ulang. Lalu penyelesaian proyek PLTU Adipala yang melebihi batas waktu pinjaman tanggal 2 November 2014 yang membuat PLN harus menyediakan dana investasi sebesar $137,56 juta dan Rp555,97 miliar. Kemudian PLTU Rembang yang beroperasi tidak sesuai harapan sehingga PLN harus mengeluarkan biaya tambahan untuk melakukan improving, penggantian spare part, dan penggunaan coal mix antara medium rank coal (MRC) dan low rank coal (LRC) untuk meningkatkan kemampuan dan keandalan pembangkit.

Secara keseluruhan, hasil pemeriksaan atas pelaksanaan proyek percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW oleh BPK mengungkap 26 temuan yang memuat 65 permasalahan. Permasalahan tersebut meliputi 27 kelemahan sistem pengendalian internal dan 38 ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan senilai Rp5,65 triliun.

Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Hendra Iswahyu menolak berkomentar saat ditanya sikap pemerintah atas temuan BPK mengenai kinerja PLN. “Itu permasalahan korporasi PLN dan bukan wilayah tupoksi kami,” ujarnya.

Tirto coba mengonfirmasi hasil audit BPK ke PLN. Kepala Satuan Komunikasi PLN 1 I Made Suprateka membantah jika banyak proyek PLTU mereka bermasalah. Menurutnya, proyek-proyek yang bermasalah kebanyakan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). “Yang bermasalah sumbernya dari BPK itu bukan PLTU tapi PLTD (pembangkit listrik tenaga diesel). Kami punya PLTU gede jalan, tidak bermasalah,” kata Made.

Made menjelaskan 34 proyek pembangkit yang disebut bermasalah masuk dalam program 10.000 MW yang dicanangkan pemerintahan SBY, bukan proyek 35.000 MW yang dicanangkan pemerintahan Jokowi sekarang. Dari jumlah tersebut hanya 11 proyek yang pengerjaannya benar-benar dihentikan. Sedangkan 23 projek lainnya terus dilanjutkan. “Dari 34 rencana pembangkit, 23 go on (berlanjut), yang 11 dihentikan,” ujarnya.

Bagi PLN menghentikan 11 proyek pembangkit bukan persoalan besar. Sebab, 11 proyek itu hanya bisa menghasilkan listrik tidak lebih dari 200 megawatt. Jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan proyek yang telah berhasil dilaksanakan PLN. “Kami sudah selesaikan sekitar 19.000 MW,” katanya.

Sebelas proyek pembangkit listrik yang dihentikan adalah PLTU Kualtungkau (2x7 megawatt), PLTU Bengkalis (2x10 megawatt), PLTU Tembilahan (2x5,5 megawatt), PLTU Impus Sebelak (2x3 megawatt), PLTU Buntok (2x7 megawatt), PLTU Kuala Pambuang (2x3 megawatt), PLTU Tarakan (2x7 megawatt), PLTU Bau-Bau (2x7 megawatt), PLTU Raha (2x3 megawatt), PLTU Wangi-Wangi (2x3 megawatt), dan PLTU Jaya Pura (2x15 megawatt). Total keseluruhan 141 megawatt. “It’s not a big deal,” ujar Made.

Made menolak jika PLN dijadikan kambing hitam atas kegagalan proyek pembangunan pembangkit. Sebab menurutnya proyek tersebut ditetapkan dalam RUPTL yang disusun bersama antara PLN, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah. Biasanya, kata Made, sebuah rencana pembangunan dihentikan karena kondisi lahan yang tidak layak, izin pemerintahan daerah yang tak kunjung keluar, modal yang tidak didapatkan oleh IPP, serta sudah bisa masuknya jaringan listrik ke daerah rencana proyek. “Selalu PLN yang disalahkan. Padahal itu kebijakan RUPTL, PLN tidak sendiri merencanakannya. Itu kebijakan terintegrasi,” katanya.

Made memastikan tidak ada kerugian negara dari 11 proyek yang dihentikan PLN. Sebab menurutnya, PLN belum mengeluarkan biaya apa pun. Dia juga tidak terima jika PLN dianggap BPK tidak efisien dalam memproduksi listrik. Menurutnya, sulit bagi PLN untuk menjalankan efisiensi di tengah kendala yang mereka hadapi sekarang. Mulai dari mahalnya energi bauran ramah lingkungan, besarnya biaya penarikan kabel di pulau-pulau terpencil, hingga ongkos pembelian gas yang mahal. “Jangan semua [disalahkan] ke PLN,” kata Made.

Infografik Proyek Mangkrak PLN rev

Benarkah PLN tak mengeluarkan biaya sepeserpun untuk proyek-proyek yang mangkrak?

Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas tentang perkembangan pembangunan projek listrik 35.000 Megawatt 1 November 2016 lalu menyebut proyek untuk pembangunan 34 pembangkit menghabiskan triliunan rupiah. Informasi ini ia dapatkan dari laporan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan BPKP. “Karena ini sudah menyangkut angka yang triliunan dan ini tidak boleh dibiarkan terus menerus,” ujarnya seperti dilansir dari setkab.go.id.

Buruknya kemajuan proyek listrik sempat membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) geram. Jokowi mengaku sudah meninjau beberapa projek pembangunan PLTU yang mangkrak. Dia sadar tidak semua proyek bisa dilanjutkan. Hal ini salah satunya disebabkan peralatan yang sudah tidak layak digunakan. “Kalau saya lihat di lapangan, satu dua kemarin kelihatannya juga banyak yang tidak bisa diteruskan karena memamng sudah hancur, sudah karatan semuanya,” kata Jokowi.

Proyek-proyek pembangunan yang mangkrak dan dihentikan bukan berarti selesai begitu saja. Jokowi mengancam akan mengusut proyek itu ke KPK. “Kalau memang ini tidak bisa diteruskan, ya sudah, berarti saya bawa ke KPK. Karena ini menyangkut uang yang bukan gede, proyek gede sekali, 34 projek pembangkit listrik,” ancam Jokowi.

Lantas siapakah pihak yang akan kesetrum dengan langkah Jokowi?

Baca juga artikel terkait PROYEK LISTRIK atau tulisan lainnya dari Jay Akbar

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Jay Akbar
Penulis: Jay Akbar
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti