Menuju konten utama
16 Februari 2016

Boutros-Ghali: Sekjen PBB Pertama dari Afrika yang Dibenci AS

Pelbagai konflik berdarah membuat hubungan Boutros Boutros-Ghali dengan Amerika Serikat jadi rusak. 

Boutros-Ghali: Sekjen PBB Pertama dari Afrika yang Dibenci AS
Ilustrasi Mozaik Boutros Boutros-Ghali. tirto.id/Tino

tirto.id - Senin pagi, 13 Mei 1996, seseorang datang ke rumah dinas Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Boutros Boutros-Ghali di New York, Amerika Serikat. Pakaiannya rapi, rambutnya klimis. Di mata Boutros-Ghali, wajah sang tamu terlihat malu sekaligus defensif.

Orang itu adalah Warren Christopher, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat. Ia diutus oleh Presiden Bill Clinton untuk datang dan menyampaikan ulang permintaan yang pernah disampaikan sebelumnya: Boutros-Ghali harus batalkan niatnya untuk maju ke periode kedua sebagai Sekretaris Jenderal.

“Kenapa?”

Christopher tak menjawab dengan jelas pertanyaan Boutros-Ghali. Ia hanya keluarkan kalimat retoris. “Karena pertemanan kita.”

“Ayolah, Chris, sebagai teman kau berutang jawaban kepadaku. Ini penting untukku,” kata Boutros-Ghali, “agar aku tahu kesalahan apa yang telah kulakukan.”

Boutros-Ghali heran dengan sikap Amerika Serikat—yang diwakili oleh Christopher. Baginya, salah satu tugas utama seorang Sekretaris Jenderal adalah memastikan hubungan PBB dan Amerika Serikat kondusif. Kendati, ketegangan dan perbedaan pendapat antara PBB dan Amerika Serikat hal yang biasa.

“Itu semua normal. Jadi apa yang telah aku lakukan sampai Amerika Serikat bikin keputusan tidak normal seperti ini?” tanya Boutros-Ghali. Ia tak pernah mendapat jawabannya.

Boutros Boutros-Ghali terakhir kali duduk di kursi tertinggi PBB pada 1996. Dalam memoarnya yang terbit pada 1999, Unvanquished: A U.S.-U.N. Saga, ia bercerita bagaimana teman-teman, kolega, dan beberapa anggota PBB yang lain membujuk dirinya untuk maju ke periode kedua. Mereka menilai kinerjanya bagus dan berhasil membuat PBB menjadi lembaga independen.

Lima bulan sebelum kedatangan Christopher, Boutros-Ghali diundang untuk mengisi kuliah umum di Oxford University. Dua pendahulu Boutros-Ghali, Dag Hammarskjold dan Javier Pérez de Cuéllar, juga pernah diundang hal serupa. Mereka bicara soal peran seorang Sekretaris Jenderal PBB. Saat itu, Boutros-Ghali menekankan pentingnya independensi PBB sebagai lembaga internasional, agar tak mudah diintervensi negara-negara besar.

Ternyata, isi kuliah umum itu memantik kecaman dari Gedung Putih dan Kongres Amerika Serikat. Semuanya, termasuk dua kubu Demokrat dan Republikan, menilai Boutros-Ghali “terlalu independen selama lima tahun terakhir.” Sekitar 40-an anggota Kongres dari dua kubu partai sampai menandatangani surat kritik kepada dirinya.

Satu bulan sebelum kedatangan Christopher, April 1996, dua orang utusan Gedung Putih mendatangi Boutros-Ghali dan memberi surat yang isinya Pemerintah Amerika Serikat tidak mendukung niatnya untuk maju ke periode kedua. Namun, keputusan Boutros-Ghali tak berubah.

“Saya dapat dukungan yang kuat dari Afrika, Amerika Latin, Russia, Prancis, dan China,” katanya.

Boutros-Ghali sadar betul bahwa ucapannya saat itu justru memperburuk situasi antara dirinya dengan Amerika Serikat. Lima tahun perjalanannya duduk di kursi Sekretaris Jenderal PBB penuh dengan debat dan beda pendapat dengan negara adikuasa itu. Namun, keadaan tersebut justru telah menempa dirinya.

“Saya tidak akan berubah pikiran, bahkan jika Amerika Serikat memveto saya.”

Harapan dari Afrika

Boutros-Ghali mengawali dan mengakhiri hidupnya di Kairo, Mesir. Ia lahir pada 12 November 1922 dari keluarga Kristen Koptik—organisasi kristen ortodoks oriental yang berbasis di Mesir, termasuk Afrika dan Timur Tengah. Ia lahir dari keluarga politikus sekaligus birokrat: kakeknya adalah Perdana Menteri Mesir yang Kristen Koptik pertama, sedangkan bapaknya pernah jadi Menteri Keuangan Mesir.

Ia menempuh studi sarjana di Universitas Kairo. Kemudian merampungkan studi doktoral hukum internasional pada 1949 di Universitas Paris. Prancis secara tidak langsung ikut menempa intelektualitas dan keberaniannya dalam berargumen.

Boutros-Ghali memilih Leia Nadler, seorang perempuan Mesir berdarah Yahudi yang akhirnya masuk Katolik, sebagai istrinya.

Kariernya mulus tanpa hambatan berarti saat kembali ke negaranya. Ia diangkat menjadi Menteri Luar Negeri Mesir oleh Presiden Anwar Sadat pada November 1977. Boutros-Ghali menggantikan menteri sebelumnya yang mundur karena protes rencana pemulihan hubungan bilateral antara Mesir dengan Israel.

Pada 26 Maret 1979, Boutros-Ghali ikut dalam perjanjian perdamaian antara Mesir dengan Israel, yang dimediasi oleh Amerika Serikat. Perjanjian itu dikenal dengan “Perjanjian Camp David”. Sejak saat itu, ia dikecam oleh banyak pihak dari dunia Arab. Mereka menganggap Mesir mengkhianati perjuangan Palestina ketika damai dengan Israel. Ancaman pembunuhan dialami Anwar el-Sadat dan Boutros-Ghali.

Namun, keadaannya tidak se-hitam putih itu. Aspirasi politik Boutros-Ghali sendiri sangat mendukung Palestina. Pada 1982—satu tahun setelah Anwar Sadat ditembak mati anggota militernya sendiri, ia pernah bilang bahwa “pendudukan Israel di Tepi Barat dan Gaza harus diakhiri, karena tiga juta orang Israel tak bisa terus-menerus memerintah satu setengah juta orang Palestina dan abaikan hak dan aspirasi nasional mereka.”

“Dia keluarkan pandangannya itu sebagai seorang nasionalis Arab, tetapi juga sebagai seorang yang berkomitmen pada prinsip-prinsip non-blok,” tulis Vijay Prashad, sejarawan asal India yang mengamati perjalanan hidup Boutros-Ghali, pada 2016 lalu.

Pada Mei 1991, di dalam pesawat dari Kairo menuju Paris, Presiden Mesir Hosni Mubarak menawarkan jabatan kursi Wakil Perdana Menteri ke Boutros-Ghali. Percakapan di dalam pesawat itu menjadi momen, yang ditulis Boutros-Ghali dalam salah satu bab memoarnya, “yang mengubah hidup saya.”

Lima bulan setelahnya, akhir September 1991, ia menemani Hosni Mubarak untuk mengunjungi Presiden Mikhail Gorbachev di Rusia. Mereka berupaya kembali menjalin hubungan dengan Rusia setelah Anwar Sadat memutus hubungan dengan Uni Soviet pada 1979. Saat itu, Boutros-Ghali mendapat dukungan penuh dari Gorbachev untuk maju menjadi Sekretaris Jenderal PBB.

“Kami telah berkomitmen kepada Mesir," kata Gorbachev.

Pencalonan Boutros-Ghali untuk duduk di kursi Sekretaris Jenderal mendapat tantangan dari rival abadi Rusia. Amerika Serikat menganggap Boutros-Ghali terlalu tua, terlalu sombong, terlalu dekat dengan Prancis, dan terlalu sibuk dengan masalah benua Afrika. Tapi di mata Boutros-Ghali, Amerika Serikat sendiri tak memiliki komitmen untuk jadikan PBB sebagai lembaga internasional yang kredibel. Ia ingin abdikan dirinya memperjuangkan negara-negara berkembang, termasuk negara-negara bekas jajahan Prancis.

Pada November 1991, Boutros-Ghali resmi memenangkan suara sebagai Sekretaris Jenderal PBB. Ia adalah orang Afrika pertama yang duduk di kursi tertinggi PBB. Hella Pick, wartawan senior The Guardian berdarah Austria-Inggris, menganggap Boutros-Ghali sebagai “representasi upaya perdamaian Timur Tengah, dan anggota Arab di PBB menerima pemilihannya tanpa protes.”

Saat pelantikan dirinya di New York pada 3 Desember, ia mengambil sumpah menggunakan bahasa Arab dan melakukan pidato dengan tiga bahasa: Arab, Inggris, dan Prancis.

Dalam pidatonya, ia mengutip filsuf Islam abad pertengahan, al-Farabi, yang pernah bermimpi untuk membangun “kota yang budi luhur”. Ia berharap agar PBB bisa memenuhi visi itu dan membangun asosiasi bangsa-bangsa dengan budi luhur.

“Saya menetapkan tema yang akan menjadi ciri lima tahun saya menjabat: perdamaian dan perlunya diplomasi untuk mencegah konflik; pembangunan untuk mempersempit kesenjangan antara utara dan selatan; reformasi untuk mempersiapkan PBB menghadapi dunia pasca perang dingin; dan demokratisasi tidak hanya di dalam negara tetapi juga di antara negara-negara dalam sistem internasional,” katanya.

Pembantaian di Rwanda: “Kegagalan Terburuk Saya”

Langkah pertama yang dilakukan Boutros-Ghali saat duduk di kursi Sekretaris Jenderal PBB adalah melakukan reformasi birokrasi. Ia merampingkan sekretariat PBB yang gemuk dengan mengurangi jumlah sekretaris dan menunjuk personel berkaliber tinggi. Untuk menghormati keluhan AS tentang inefisiensi dan pengeluaran yang berlebihan, AS diundang mencalonkan orang tersebut untuk mengepalai pekerjaan anggaran dan manajemen teratas.

Namun, masa jabatan Boutros-Ghali tak semulus itu.

Salah satunya terjadi perang saudara di Bosnia dan Herzegovina—bekas Yugoslavia, yang mengakibatkan pembantai massal kaum Muslim pada 1995. Angka korbannya beragam. Ada yang menyebut 8.000-an orang, namun hanya 6.066 orang korban yang dimakamkan Srebrenica Genocide Memorial.

Atas kasus itu, Boutros-Ghali malah bikin pernyataan yang kontroversial. Ia bilang tak ingin meremehkan kejadian pembantaian di Bosnia, namun “ada negara lain di mana jumlah kematian lebih besar daripada di sini.” Ia dianggap terlalu gegabah dengan menyebut bahwa perang saudara di Bosnia dan Herzegovina adalah “perang orang kaya”, karena negara-negara Barat terlalu fokus ke bekas jajahan Yugoslavia dan mengabaikan kasus di Somalia, Afghanistan, dan negara-negara berkonflik lainnya.

Namun, nyatanya Boutros-Ghali juga tak berbuat banyak saat terjadi perang di Mogadishu, Somalia, pada Oktober 1993. Ratusan warga Somalia meninggal. 18 tentara Amerika Serikat dan dua tentara PBB juga tewas. Sejak kasus ini, Amerika Serikat sebenarnya sudah kehilangan kepercayaan kepada Boutros-Ghali dan akhirnya sering berbeda pandangan.

Semua kejadian itu belum termasuk perang antar etnik yang terjadi di Rwanda pada 1994, yang berakhir tewasnya hampir 800.000 orang. Boutros-Ghali dikritik habis-habisan. Peristiwa genosida itu dianggap sebagai “noda permanen untuk reputasi PBB” karena gagal bertindak. Dan Boutros-Ghali mengakui itu.

“Rwanda adalah kegagalan terburuk saya di PBB,” katanya.

Dalam obituarinya yang ditulis oleh Hella Pick, diketahui ragam kejadian berdarah tersebut yang membuat hubungan Boutros-Ghali dan Amerika Serikat rusak. Negara adikuasa itu beberapa kali mendesak dirinya untuk mundur dari kursi Sekretaris Jenderal PBB. Bahkan Presiden Bill Clinton yang dilantik pada 1993 tak pernah sekalipun mengundang putra Mesir itu ke Gedung Putih untuk bicara empat mata.

Langkah Boutros-Ghali untuk maju di periode kedua kursi Sekretaris Jenderal PBB makin berat. Ia dijegal oleh banyak pihak, termasuk Amerika Serikat yang memvetonya untuk tidak menjabat lagi. Kofi Annan pun naik.

Akhir Kisah Pembela Dunia Ketiga

Lepas dari PBB, Boutros-Ghali memilih jalan sunyi di dunia pemikiran dan akademisi: Sekretaris Jenderal La Francophonie (organisasi negara-negara berbahasa Prancis), aktif di South Centre (organisasi think tank independen yang fokus membawa isu-isu negara berkembang), hingga ikut membentuk National Council for Human Rights (NCHR) di Mesir.

Ia juga produktif menulis buku seperti memoarnya yang terbit pada 1999, Egypt's Road to Jerusalem: A Diplomat's Story of the Struggle for Peace in the Middle East (1998), dan The Arab League, 1945–1955: International Conciliation (2013).

Pada 2014, ia diminta menulis kata pengantar untuk buku sejarawan Marxist asal India, Vijay Prashad, berjudul The Poorer Nations: A Possible History of the Global South, yang membahas sejarah negara-negara di dunia bagian Selatan—sebagai tandingan atas negara-negara di dunia bagian Utara yang sebagian merupakan penjajah. Boutros-Ghali dianggap punya perhatian lebih terhadap tema ini.

Dalam kata pengantarnya itu, Boutros-Ghali menilai bahwa buku tersebut punya kontribusi yang besar atas narasi sejarah negara-negara dunia Selatan yang ditulis oleh intelektual dunia Selatan dan negara berkembang. “Ranah ini sudah terlalu lama didominasi oleh sarjana dari dunia Utara,” tulis Boutros-Ghali.

“Studi ini adalah kontribusi emansipasi intelektual-cum-politik dari negara-negara berkembang dan pemberdayaan melalui kemandirian yang lebih besar dari sumber daya intelektual mereka sendiri, yaitu pembebasan intelektual dari dominasi Utara,” tambahnya.

Infografik Mozaik Boutros Boutros Ghali

Infografik Mozaik Boutros Boutros-Ghali. tirto.id/Tino

Vijay punya catatan menarik soal Boutros-Ghali. Dalam obituarinya yang ditulis dua hari setelah Boutros-Ghali mangkat, Fall Guy for America’s Follies, mantan Sekretaris Jenderal PBB itu punya perhatian khusus terhadap kesenjangan antara dunia Barat dan negara-negara dunia ketiga. Di mata Boutros-Ghali, isu pembangunan menjadi penting mengingat sistem ekonomi dunia sudah kadung dicurangi oleh negara-negara Barat.

Ia menyebut bahwa naiknya Boutros-Ghali sebagai Sekretaris Jenderal PBB jatuh di waktu yang tidak tepat. Ada banyak faktor: Uni Soviet runtuh, negara-negara dunia ketiga dilemahkan lewat krisis utang, hingga ide pembangunan lawas dikesampingkan demi globalisasi dan liberalisasi.

“Mempertahankan independensi PBB menjadi tugas yang mustahil bagi Boutros-Ghali,” tulis Vijay.

Padahal, menurut Vijay, agenda pembangunan yang diusung oleh Boutros-Ghali cukup cemerlang, terutama lewat buku An Agenda for Development (1995) yang diterbitkan PBB. Bagi Boutros-Ghali, masalah ketidakstabilan di dunia berakar dari kesenjangan ekonomi, sosial, kemanusiaan dan ekologi. Salah satu solusinya: “melawan kecenderungan untuk membiarkan kekuatan perusahaan yang tidak terkekang merusak kepentingan jutaan orang."

Di mata Boutros-Ghali, kata Vijay, solusi lainnya juga adalah menghapus utang negara-negara dunia ketiga. “Tak ada resep pertumbuhan yang didorong oleh IMF yang harus dipaksakan pada negara-negara lemah,” tulis Vijay.

Ketika umurnya sudah memasuki kepala sembilan, tubuhnya sudah mulai melemah. Tanggal 16 Februari 2016, tepat hari ini enam tahun lalu, ia meninggal di sebuah rumah sakit di Kairo, setelah perawatan intens terhadap kakinya yang patah.

Wartawan senior Hella Pick, lewat obituari yang ditulis di hari yang sama, hanya bisa mendeskripsikan hidup Boutros-Ghali lewat satu kalimat yang lumayan panjang:

“Seperti apa adanya, dia akan lebih dikenang sebagai diplomat yang memulai masa jabatannya di PBB dengan semangat reformasi yang mengesankan, tetapi mengakhirinya, kecewa dan frustrasi, dan tanpa pencapaian nyata yang dia upayakan untuk melengkapi layanan publik seumur hidup.”

Baca juga artikel terkait SEKJEN PBB atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Irfan Teguh Pribadi