Menuju konten utama

Bom Waktu Larangan Pekik Takbir

Pekik takbir 'Allahu Akbar' tak perlu ditakuti karena tak selamanya politis.

Bom Waktu Larangan Pekik Takbir
Avatar Opini Suhartono

tirto.id - Judul berita Tirto Ketum PP Muhammadiyah Larang Pekik ‘Allahu Akbar’ di Acara Internal” (21/2) membuat pikiran saya berkecamuk. Kata demi kata, kalimat demi kalimat saya baca dan cermati. Semula saya tidak percaya dan sempat menganggapnya hoax. Namun melihat reputasi laman pemuat berita yang awal tahun ini menerima penghargaan sebagai media daring terinovatif, saya segera membuang prasangka itu.

Namun, lagi-lagi saya terjebak dalam kubangan pemikiran antara percaya dan tidak terhadap konten berita yang memuat pernyatan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nasher. Pak Haedar dalam berita itu, melarang pekik takbir ‘Allahu Akbar’ dalam acara-acara internal Muhammadiyah. Pertimbangannya, pekik tersebut kerap disalahgunakan untuk kepentingan politis.

“Allahu akbar adalah kalimat toyyibah, kalimat yang tinggi dan agung, bukan untuk dikorupsi menjadi alat politik atau alat untuk meraih kepentingan sendiri dan kelompok.”

Itu kutipan pernyataan Pak Haedar yang disampaikan di Forum Diskusi Persatuan Mahasiswa Indonesia di The University of Queensland (UQ) Brisbane, Australia. Pesertanya adalah para mahasiswa dan dosen kampus tersebut.

Sesaat setelah membaca berita itu, spontan saya berpikir bahwa apa yang disampaikan Pak Haedar sepertinya tak lazim. Tidak lazim bagi pimpinan setingkat Pak Haedar melansir pernyataan yang tak perlu, karena memang tidak ada manfaatnya untuk Muhammadiyah. Sebaliknya, pernyataan itu justru berpotensi memantik gesekan sosial dengan kelompok-kelompok Islam lainnya, bahkan di internal persyarikatan ini.

Saya sempat meneruskan link berita itu kepada Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kab. Gresik, Ustadz Anas Thohir untuk meminta tanggapan demi meyakinkan diri saya apakah berita itu benar atau sebaliknya. Sekitar 20 menit kemudian, Ustadz Anas menjawab dengan singkat: hoax. Saya juga meneruskan link berita itu ke beberapa grup Whatsapp dan teman yang biasa berinteraksi dengan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur.

Akhirnya saya mengontak Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab Tirto, A. Sapto Anggoro. Dengan cepat ia memastikan telah mengonfirmasi berita tersebut ke editor dan kontributornya. Hasilnya? Berita itu benar adanya.

Belum puas dengan jawaban itu, saya pun menghubungi Supardi untuk (sekali lagi) memastikan apakah yang dimuat di laman itu benar pernyataan Pak Haedar. Achmad Supardi, penulis/kontributor berita yang dimuat Tirto, adalah mahasiswa asal Surabaya yang tengah menempuh jenjang pendidikan doktoral (PhD) bidang komunikasi University of Queensland. Jawaban yang diberikan Supardi sama dengan jawaban Pemimpin Redaksi Tirto. Benar (pernyataan Pak Haedar).Tadinya itu info off the record, namun saya datangi Pak Haedar dan memintanya on the record dan beliau setuju. Mungkin bukan kalimat Allohu Akbar yang dilarang, tapi pekik yang seperti mau perang itu lho,” tulis Supardi menjawab pertanyaan saya.

Dari jawaban kedua sahabat saya itu, saya menyimpulkan, apa yang dimuat Tirto tidak ada yang salah dalam perspektif jurnalistik dan konteks konten serta jelas narasumbernya. Demikian juga objek peristiwa yang menjadi tempat lahirnya berita itu juga faktual, bukan fiktif.

Sejumlah pertanyaan lalu berkecamuk dalam pikiran saya. Mengapa Pak Haedar sampai mengeluarkan pernyataan larangan pekik takbir itu dengan pertimbangan karena sering disalahgunakan secara politis? Bukankah penilaian yang menyimpulkan pekik ‘Allahu akbar’ sebagai alat politis itu terlalu tergesa-gesa dan sumir, sementara pada kesempatan lain pekik itu bisa jadi sarana penggugah semangat atau bahkan heroik? Lalu bagaimana mengantisipasi kemungkinan gesekan sosial dengan kelompok Islam lain yang sudah familiar dengan pekik takbir itu, bahkan di internal warga Muhammadiyah sendiri?

Bom Waktu

Larangan pekik takbir mestinya tidak perlu dilakukan secara eksplisit dan terbuka ke publik. Selain tidak efektif, ada potensi dampak negatifnya.

Tidak efektif karena sepanjang pengetahuan warga dan simpatisan Muhammadiyah tidak terbiasa dengan kultur atau budaya melakukan pekik takbir ‘Allahu Akbar’. Dengan demikian, tanpa dilarang pun, tradisi atau budaya melakukan pekik takbir dalam acara-acara Muhammadiyah tidak akan terjadi.

Sementara di sisi lain, larangan yang dilakukan figur pucuk pimpinan Muhammadiyah mengesankan sikap organisasi yang siap berhadapan dan menghadang pengamal pekik tersebut. Jika peluang gesekan horisontal ini dimanfaatkan oleh pihak ketiga yang ingin memecah belah atau bahkan mengadu domba umat, tentu akan lebih parah dampaknya. Ini seperti bom waktu yang siap meledak sewaktu-waktu.

Penilaian yang terkesan tergesa-gesa dan menggeneralisasi pekik takbir ‘Allahu Akbar’ sebagai alat politik demi keuntungan kelompok tertentu sebaiknya dipertimbangkan kembali. Terlepas dari benar atau tidaknya penilaian tersebut, kita juga kerap menyaksikan acara anak-anak sekolah atau parenting yang di dalamnya memuat pekik ‘Allahu Akbar’ yang jauh dari kesan dan muatan politis. Itu dilakukan tak lebih dari penggugah semangat atau kekompakan kelompok.

Penjelasan publik secara komprehensif terkait pernyataan larangan pekik ‘Allahu Akbar’ sungguh diperlukan sehingga bisa menutup peluang munculnya gesekan sosial, juga mencegah kemungkinan konflik sesama umat Islam. Pimpinan Muhammadiyah pun tak semestinya sembrono merilis pernyataan.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.