Menuju konten utama
9 Agustus 1945

Bom Nagasaki: Kehancuran Kota Industri dan Kesaksian Penyintas

Berbeda dengan Hiroshima yang merupakan pangkalan militer, Nagasaki adalah kota industri sipil.

Bom Nagasaki: Kehancuran Kota Industri dan Kesaksian Penyintas
Ilustrasi Mozaik BOM Nagasaki. tirto.id/Sabit

tirto.id - Pada 2 Agustus 1939, sebulan sebelum Jerman menginvasi Polandia dan memulai Perang Dunia II, Albert Einstein mengirim surat pribadi kepada Presiden Amerika Serikat, Franklin Delano Roosevelt. Einstein yang telah meninggalkan Jerman sejak tahun 1933, atau sebelum pemerintah Jerman dipegang oleh kalangan Nazi, membagi keresahannya tentang perkembangan penelitian nuklir di Jerman.

Ia mengingatkan Roosevelt tentang kemungkinan pengembangan nuklir sebagai senjata, terutama sebagai bom. Akses terhadap teknologi seperti itu yang selama ini hanya dimiliki Amerika Serikat, ditakutkan akan dicapai juga oleh Jerman dalam tempo dekat. Einstein menggambarkan bahwa bom dengan kekuatan nuklir hanya dapat dibawa oleh kapal laut dan diledakkan di pelabuhan tujuan karena mempertimbangkan beratnya.

Ledakan bom model baru itu dapat menghancurkan seluruh pelabuhan dan berpotensi merusak area sekitar pelabuhan. Einstein melanjutkan, “[bom ini] terbukti terlalu berat untuk diangkut [dengan pesawat] melalui udara”.

Namun beberapa tahun setelah itu, perkiraan Einstein meleset. Perkembangan penelitian nuklir Jerman tidak mencapai taraf yang dapat memproduksi bom. Selain itu, mungkin juga berkat informasi yang dikirim Einstein, Amerika Serikat terpacu untuk menyelesaikan pengembangan senjata nuklir dan akhirnya mampu membuat bom atom dengan berat yang mampu diangkut oleh pesawat terbang.

Amerika Serikat masuk ke kancah peperangan setelah serangan Jepang terhadap Pearl Harbor pada 7 Desember 1941. Kekaisaran itu mengambil langkah demikian untuk melumpuhkan armada-armada Pasifik Amerika Serikat supaya Jepang dapat menguasai wilayah Asia Tenggara.

Pendudukan Asia Tenggara berlangsung dalam operasi singkat dengan tujuan mengamankan daerah-daerah penghasil minyak bumi terutama di Hindia Belanda. Menurut memori J. C. Bijkerk dalam Vaarwel tot betere tijden (1974), meskipun langkah-langkah strategis telah diambil oleh pemerintah Hindia Belanda sejak 1936, namun seluruh angkatan perang kolonial menyerah hanya dalam beberapa hari setelah Jepang mendarat di Jawa pada 1 Maret 1942.

Bom Atom sebagai Penutup Perang

Sekalipun Amerika Serikat masuk ke dalam perang karena penyerangan di Asia, perhatian pada masa itu terpecah dalam dua front, di Eropa dan Asia. Ketika Jerman akhirnya menyerah dan mengakhiri Perang Dunia II di Eropa pada Mei 1945, seluruh perhatian Sekutu akhirnya terpusat pada Perang Pasifik atau Perang Asia Timur Raya. Kondisi yang tidak menguntungkan bagi Jepang di Asia Tenggara bersamaan dengan berita menyerahnya Jerman. Pasukan Australia berhasil mendarat di Borneo dan mengambil alih kilang minyak.

Sejak awal tahun 1945, Tokyo dan puluhan kota lainnya dibombardir dalam rangkaian serangan bom yang paling mematikan sepanjang sejarah. Meski demikian, pemerintah Jepang—secara beruntun di bawah perdana menteri Koiso Kuniaki (1944-1945) dan Suzuki Kantaro (April-Agustus 1945)—tetap menyerukan untuk melanjutkan peperangan.

Dengan kondisi yang mengerikan seperti itu, apa yang membuat rakyat Jepang tidak menuntut pemerintahnya untuk mengakhiri peperangan? Sejarawan Kurasawa Aiko dalam pengantar Masyarakat dan Perang Asia Timur Raya (2016:xxiii–xxix) menyebutkan bahwa hingga kini pun, masyarakat Jepang memiliki perasaan bahwa “Jepang berperang [pada Perang Dunia Kedua] untuk membantu dan memerdekakan bangsa Asia”. Narasi tentang tujuan heroik inilah yang digunakan untuk “mengelabui” rakyat umum tentang tujuan ekspansionis dari golongan berkuasa di Jepang.

Perasaan heroik ini tidak hanya berkembang pada rakyat Jepang di kampung halaman, tetapi juga pada tentara yang dikirim atau intel luar negeri. Kurasawa (2016:227) misalnya menyebutkan bahwa seorang sipil Jepang, Miura Jo, yang telah tinggal di Bali sejak masa kolonial Belanda bahkan bunuh diri pada 7 September 1945 karena “merasa berdosa atas kegagalan Jepang yang tidak berhasil memerdekakan Indonesia”. Ini adalah gambaran pandangan awam Jepang terhadap perang.

Moral dan semangat perang Jepang masih tinggi sekalipun sumber daya mereka mulai habis. Di sisi lain, Sekutu telah lelah berperang habis-habisan di Eropa dan ingin mengakhiri perang di Asia. Untuk menutup buku perang ini, Amerika Serikat—melalui Proyek Manhattan—berencana menggunakan dua bom atom yang selesai dikembangkan pada Juli 1945 untuk dijatuhkan di kota-kota paling penting di Jepang.

Untuk mempersiapkan penyerangan, dibentuk Komisi Target oleh Presiden Harry Truman--presiden sebelumnya, Roosevelt, meninggal pada April 1945. Hiroshima masuk dalam daftar teratas karena terdapat pangkalan militer dengan skala besar. Tetapi Nagasaki sama sekali tidak masuk hitungan. Alih-alih, di sana tercantum Kokura (Kitakyushu), tempat produksi amunisi terbesar; Yokohama, tempat produksi pesawat tempur; dan Niigata, kota pelabuhan dengan industri metal yang penting. Pada tanggal 17 Juli, Kantor Oval menerima sebuah petisi dari para ilmuwan nuklir yang ditujukan secara mendesak kepada presiden.

Dalam himpunan dokumen berjudul Dear Mr. President: Letters to the Oval Office (2006:87), petisi yang ditandatangi oleh dua belas ilmuwan itu mengingatkan presiden akan bahaya turunan dari penggunaan nuklir sebagai senjata. Menurut mereka, Amerika Serikat akan menjadi negara pengguna pertama dan pembuka gerbang bagi penggunaan senjata nuklir—senjata yang menghasilkan beban moral dan risiko turun-temurun.

Ketika Amerika Serikat dapat mengenyahkan sebuah kota dalam hitungan detik dengan bom atom, “[…] ia akan membuka bahaya bahwa kota-kota di Amerika Serikat dan lain-lainnya [di masa depan] akan terancam terus-menerus oleh bahaya pengenyahan yang sama.”

Oleh sebab itu, kata mereka, para ilmuwan nuklir mendorong Presiden Harry Truman untuk tidak menggunakan nuklir dalam perangnya dengan Jepang. Petisi ini langsung dilabeli sebagai dokumen rahasia ketika diterima Gedung Putih dan peringatan itu tidak dihiraukan. Amerika Serikat menjatuhkan bom atom pertamanya, “Little Boy”, dari atas langit Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945. Setelah serangan itu, Perdana Menteri Suzuki belum goyah. Ia menyerukan bahwa Jepang akan tetap melanjutkan peperangan.

Tiga hari berselang, yakni pada 9 Agustus 1945, tepat hari ini 76 tahun lalu, bom atom “Fat Man” dijatuhkan dari langit Nagasaki. Dua bom beruntun ini dimaksudkan Amerika Serikat untuk meyakinkan Jepang bahwa negaranya masih memiliki bom-bom atom lain yang siap meluluhlantakkan kota-kota penting lain di negeri itu.

Dua pemboman tersebut dalam sejarah sering kali dipandang sebagai satu rangkaian dan barangkali memiliki bobot dan narasi yang seimbang. Namun, dari sisi moral, keduanya berbeda. Hiroshima merupakan pangkalan militer dan kota yang didesain secara kokoh untuk menghadapi bahaya. Ia mempunyai rancangan tata kota yang rapi dengan bangunan-bangunan penuh beton bertulang. Bom atom 6 Agustus secara tepat sasaran telah menghancurkan fasilitas militer Jepang dengan ribuan korban dari personel militer.

Sedangkan Nagasaki adalah kota industri sipil yang berkembang tanpa tata kota pasti sejak abad-abad sebelumnya. Penyerangan Amerika Serikat di sini membunuh penduduk sipil dalam skala yang jauh melampaui personel militer Jepang—hanya 150 personel militer Jepang yang tewas dari total sekitar 70.000 korban.

Kesaksian Penyintas

Matsuo Sachiko, salah satu penyintas bom atom Nagasaki, bercerita pada tahun 2014 tentang kotanya yang mengalami kehancuran hebat. Rumah-rumah di Nagasaki banyak menggunakan tatanan arsitektur dan bahan-bahan tradisional Jepang. Sangat jarang ada bangunan yang menggunakan beton bertulang, kebanyakan adalah rumah kayu. Efek yang dihasilkan oleh ledakan bom atom yang bahkan lebih besar daripada bom di Hiroshima tentu sudah dapat dipastikan efeknya pada kota tradisional ini.

Di Nagasaki memang terdapat kompleks fasilitas industri kapal Mitsubishi dan beberapa industri logam di Lembah Urakami. Namun, kompleks sipil—sekalipun terpusat di luar Lembah Urakami—cukup bersilangan dengan kompleks industri. Terlebih, hampir seluruh buruh industri di sana merupakan orang-orang yang tinggal di kota tersebut. Setelah mendengar pemboman Hiroshima, sekolah-sekolah Jepang libur. Sekolah di Nagasaki juga libur sejak tanggal 7 Agustus.

Infografik Mozaik Pengeboman Nagasaki

Infografik Mozaik Pengeboman Nagasaki. tirto.id/Rangga

Pada hari-hari itu, selebaran dijatuhkan dari pesawat oleh tentara Amerika Serikat yang mengatakan bahwa mereka akan “mengenyahkan Nagasaki menjadi debu pada 8 Agustus” jika Jepang tidak menyerah. Tidak banyak orang yang percaya dengan ultimatum tersebut, namun kepala keluarga Matsuo, ayah Sachiko, adalah salah satu orang yang percaya. Sang ayah segera meminta seluruh anggota keluarga, termasuk neneknya, untuk bersiap naik ke atas bukit dan berkemah untuk menyelamatkan diri dari kota. Mereka, tujuh anggota keluarga, pergi ke bukit dengan hanya membawa beberapa lembar tatami dan membuat kemah di sana.

Pada tanggal 8 Agustus, bom tidak dijatuhkan sehingga menimbulkan perasaan skeptis bahwa sebenarnya Amerika Serikat tidak akan membom Nagasaki. Namun, sekali lagi ayah Sachiko menahan keluarganya untuk tidak kembali turun dan tetap di sana hingga tanggal 9 Agustus. Pada pukul 11.02 tanggal 9 Agustus, Sachiko melihat cahaya kuning yang menyilaukan dari lembah, bom atom Amerika Serikat meledak tepat di atas langit kompleks Mitsubishi di Lembah Urakami.

Bom tersebut, “sebuah cahaya kuning yang tidak pernah saya lihat dan terlihat hebat sekali”, menghempaskan Sachiko. Saat itu, katanya, ia masih belum menyadari bahwa cahaya itulah yang menyebabkan bukit tempatnya berdiri menjadi tanah gundul, “yang bahkan rumput pun tidak ada”. Ayahnya, 800 meter dari pusat ledakan, terkena radiasi hebat dan meninggal beberapa hari setelah Jepang menyerah. Kakak perempuannya, 700 meter dari pusat ledakan, “tidak lagi menyisakan apa-apa kecuali abu putih”.

Pada akhir penceritaannya, Sachiko menyebut bahwa ia selalu berada dalam dilema karena menjadi penyintas bom atom. Ia selalu berpikir apakah ia beruntung ataukah tidak beruntung menjadi penyintas karena ia harus menahan napas setiap kali anaknya atau cucunya melahirkan, ketakutan akan risiko radiasi yang mungkin ia turunkan dari pengalamannya dengan bom atom.

Ini adalah salah satu poin yang dibawa oleh para ilmuwan yang menyurati Presiden Truman pada 17 Juli 1945. Pengguna senjata nuklir, apalagi pengguna pertamanya, harus menyadari beban moral yang ia pikul karena telah menyebabkan kerusakan yang tidak bisa dibatalkan begitu cahaya bom terlihat oleh mata manusia.

Baca juga artikel terkait BOM ATOM atau tulisan lainnya dari Christopher Reinhart

tirto.id - Politik
Penulis: Christopher Reinhart
Editor: Irfan Teguh