Menuju konten utama
21 Januari 1985

Bom Borobudur: Dua Habib Ditangkap, Dalangnya Tak Pernah Terungkap

Letup durjana.
Dendam berhambur dari
retakan stupa.

Bom Borobudur: Dua Habib Ditangkap, Dalangnya Tak Pernah Terungkap
Ilustrasi Borobudur. tirto.id/Gery

tirto.id - Sebuah jubah berwarna putih menutupi tubuh Husein Ali al-Habsyi. Dengan kopiah di kepala dan selembar sajadah hijau mengalungi tubuhnya, Husein berjalan pelan menuju pintu keluar Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Kelas I Lowokwaru, Malang.

Husein mendekam di penjara selama 10 tahun. Sesampainya di luar Lapas, ibunda Husein, Musnah binti Umar bin Syeh Abubakar, langsung menghujaninya dengan ciuman.

Selain sang Ibu, sejumlah saudara dan rekan juga turut menyambut laki-laki yang sempat menempuh studi di Universitas Riyadh, Arab Saudi, itu. Abdulkadir Ali al-Habsyi adalah salah satunya. Seperti Husein, Abdulkadir juga pernah hidup di balik jeruji penjara. Dia mendekam di sana selama sembilan tahun dan bebas pada 1994.

Husein dan Abdulkadir adalah saudara kandung. Ayah mereka bernama Ali bin Alwi al-Habsyi. Nama al-Habsyi menandakan mereka adalah habib (keturunan Nabi Muhammad).

Selain segaris keturunan, Husein dan Abdulkadir juga sama-sama dijebloskan ke penjara karena dituduh terlibat dalam pengeboman Candi Borobudur yang terjadi pada 21 Januari 1985—tepat hari ini 33 tahun lalu.

Sembilan bom meledak. Ledakan pertama terdengar pukul 01.30. Sedangkan ledakkan kesembilan terdengar pukul 03.30. Sembilan stupa dan dua patung Buddha rusak.

“Tak terlampau besar. Patungnya hancur karena peledak diletakkan di punggung patung. Kemudian atap stupa runtuh dan itu yang merusakkan patung,” ujar Pangdam VII/Diponegoro Mayjen Soegiarto, seperti dilansir Kompas (22/1/1985).

Mereka yang Diseret ke dalam Prahara

Pelaku peledakan Candi Borobudur mulanya sumir hingga bom lainnya meledak persis empat puluh tujuh hari setelahnya. Pada 16 Maret 1985, Pemudi Ekspress, sebuah bus yang sedang berhenti di Desa Sumber Kencono, Banyuwangi, Jawa Timur meledak.

Ternyata, sumber ledakan berasal dari bom yang dibawa Abdulkadir dan tiga temannya. Bom itu rencananya bakal diledakkan di Bali. Namun, ia keburu meledak. Seperti senjata makan tuan, tujuh orang, termasuk tiga teman Abdulkadir, dilaporkan tewas.

Abdulkadir beruntung. Saat itu dia sedang berada di luar bus. Dia selamat dari ledakan. Namun, situasi berkata lain.

“Melihat bus meledak, dengan wajah gugup Abdulkadir segera mencari tumpangan. Tapi rencananya gagal karena ia keburu tertangkap masyarakat yang mencurigainya. Ia lalu dibawa ke petugas keamanan,” Gatra (49/III, 25/8/1997) menceritakan kembali proses penangkapan Abdulkadir.

Abdulkadir diinterogasi. Husein diduga terlibat karena Abdulkadir plus tiga temannya itu adalah anggota majelis taklim yang dikelolanya. Mereka pun menangkap Husein pada 10 November 1988 di Garut, Jawa Barat.

Situasi yang pelik dan tidak menguntungkan menyertai Husein dan Abdulkadir. Majalah Tempo (No. 05/XXVIII/6-12 April 1999) dan Kompas (25 Maret 1999) melaporkan, jaksa penuntut menyatakan Husein dan kawan-kawan mengebom Borobudur dengan maksud melancarkan balas dendam atas tragedi Tanjung Priok.

Tragedi Tanjung Priok merujuk pada peristiwa yang terjadi pada 19 September 1984 kala aparat dan massa Islam bentrok di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Menurut lembaga Solidaritas untuk Peristiwa Tanjung Priok (Sontak), sebanyak 400 orang tewas dalam peristiwa itu.

Sementara itu, Gatra (Nomor 20/V, 3 April 1999) melaporkan, Pengadilan Negeri Malang menjatuhkan hukuman seumur hidup kepada Husein dengan dakwaan subversi pada sidang 31 Januari 1991. Setelah Orde Baru tumbang, Presiden Habibie memberikan grasi untuknya sehingga bisa bebas pada 1999.

Kala Husein Bertemu Kresna

Seperti dilaporkan Tempo (NO. 05/XXVIII/6-12 Apr 1999), Husein mengakui bahwa memang benar dia mengelola majelis taklim. Pengajiannya pun diisi ustad dari berbagai kalangan, mulai dari Nahdlatul Ulama sampai Muhammadiyah. Namun, Husein secara tegas menolak disebut terlibat dalam pengeboman Borobudur.

Menurut Husein, pengeboman Borobudur digagas seseorang bernama Muhammad Jawad alias Ibrahim alias Kresna. Dia adalah salah satu ustad di majelis taklim Husein.

Pembicaraan Kresna dengan para anggota majelis taklim, diakui Husein, tidak melulu soal keagamaan. Tapi juga persoalan termutakhir yang sedang dihadapi umat Islam, termasuk soal tragedi Tanjung Priok.

“Anak-anak itu terpengaruh. Mereka tertarik kepadanya karena memang orangnya jenius. Ternyata dia punya rencana-rencana peledakan yang justru baru saya ketahui setelah terjadi. Adik saya sendiri terkagum-kagum dan ikut dalam peledakan itu,” ujar Husein.

Abdulkadir turut mendukung alasan Husein. “Pelakunya itu saya. Husein itu tak tahu apa-apa. Dia cuma orang yang memegang teguh ajaran agama,” ujar Abdulkadir, seperti dilansir Kompas (25 Maret 1999).

Selain itu, Husein juga tunanetra sejak berusia 29 hari. "Mana mungkin orang buta bisa membedakan jenang dodol dengan bom?" kata Husein.

Menurut Husein, penangkapannya hanya sebagai dalih bagi pemerintah bahwa mereka sudah menciduk para pelaku. Husein merasa bahwa dirinya ditangkap karena terlalu keras mengkritik kebijakan Presiden Soeharto. Muhammad Jawad pun sampai sekarang gagal ditangkap dan masih menjadi misteri.

Dalih Presiden Soeharto

Presiden Soeharto menanggapi ledakan di Borobudur itu dengan mengatakan bahwa para pengebom adalah orang yang tidak memiliki kebanggan nasional. Karena Borobudur merupakan monumen bangsa, yang bahkan telah menjadi warisan budaya dunia.

Namun, sulit untuk tidak mengaitkan bom Borobudur ini dengan kebijakan politik Presiden Soeharto dan serentetan ledakan yang terjadi selama satu semester sebelum dan beberapa bulan setelahnya. Hal itu disebutkan dalam Benny Moerdani, yang Belum Terungkap (2015) yang disusun Tempo.

Infografik Mozaik Bom Borobudur

Pada 4 Oktober 1984, bom meledak di sejumlah kantor cabang Bank Central Asia (BCA) di Jakarta. Bom pertama meledak di Kantor Bank BCA cabang Pacenongan, Jakarta Barat. Tidak lama setelah itu, dua kantor cabang BCA lainnya juga dibom. Keduanya masing-masing terletak di Jalan Gajah Mada dan Jalan Sudirman, Jakarta Pusat.

Panglima ABRI sekaligus Pangkopkamtib Leonardus Benny Moerdani bergegas menahan lebih dari sepuluh orang yang diduga terlibat. Antara lain Melta Haslim, Tasrif Tuasikal, Edi Ramli, dan Hasnul Arifin. Mereka dicap sebagai kelompok "esktrem kanan".

Selain itu, aparat juga menjebloskan Haji Muhammad Sanusi, Rachmat Basuki, A.M. Fatwa, dan H.R. Dharsono ke dalam penjara. Keempatnya dikenal sebagai penggagas Petisi 50, kelompok yang dianggap sebagai oposan keras rezim Soeharto.

Dalam artikelnya di jurnal Southeast Asian Affairs (1987), “Suharto’s Indonesia: Two Decades On”, Leo Suryadinata mengatakan, Presiden Soeharto sebenarnya sedang menjalankan strategi untuk mengurangi kekuatan politik Islam dengan menghubungkan serangkaian protes dan bom dengan ketidakstabilan politik dan teror.

Padahal, menurut Suryadinata, tragedi Tanjung Priok dan insiden pemboman yang terjadi tidak hanya bersifat religius, tapi juga berlatar belakang sosial-ekonomi dan politik. Jurang yang melebar antara orang miskin dan orang kaya di Jakarta merupakan faktor penting dalam memicu kerusuhan tersebut.

Sementara menurut Donald E. Weatherbee dalam “Indonesia in 1985: Chills and Thaws”, yang termuat di jurnal Asian Survey (Februari 1986), komitmen keras pemerintah terhadap negara Pancasila dapat dilihat sebagai bentuk antipati rezim terhadap desakan politik kelompok Islam.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Ivan Aulia Ahsan