Menuju konten utama

Bolton Wanderers dan Bayang-bayang Likuidasi

Bolton Wanderers pernah menjadi penantang serius bagi klub-klub besar penghuni EPL atau Liga Inggris, namun sekarang klub ini justru terancam likuidasi.

Bolton Wanderers dan Bayang-bayang Likuidasi
Stadion Universitas Bolton jelang pertandingan Liga Satu antara Bolton Wanderers dan Kota Ipswich. foto/istockphoto

tirto.id - Mulai dari Jay-Jay Okocha, Ivan Campo, Fernando Hierro, Garry Speed, Tal Ben Haim, Eidur Gudjonsen, sampai Nicolas Anelka. Pada medio 2000-an, Bolton Wanderers dikenal sebagai salah satu destinasi menjanjikan bagi sejumlah bintang yang menolak redup dari gemerlap panggung EPL. Wajar, saat itu klub yang bermarkas di Rebook Stadium tersebut punya misi menjanjikan: memecah dominasi The Big Four.

Misi itu memang tak pernah tercapai, sebab meski sempat finis di posisi keenam EPL (musim 2004/2005), Bolton justru dipaksa gigit jari lalu turun ke Divisi Championship (per 2012) dan League One. Kendati demikian, bagi para penggemar beratnya, momen-momen menjanjikan tersebut serupa keajaiban yang tak bisa dilupakan.

"Mereka punya generasi fans yang selalu setia menyaksikan klub tampil selama 70 sampai 80 tahun terakhir. Bolton, barangkali adalah hal terakhir yang mereka punya dalam hidupnya," ujar Will Jones, seorang pendukung Bolton kepada BBC Radio Manchester.

Harapan agar Bolton kembali ke era keemasan mereka tentu masih ada di benak para fansnya. Tapi jika berkaca pada realita, harapan itu tampaknya terlampau berlebihan. Jangankan kembali ke jalur terbaiknya, Bolton—yang kini bermain di League One (divisi ketiga Inggris)—justru sedang di ambang kebangkrutan.

Terlilit utang besar dan tak kunjung menemukan pembeli baru, sejak Juli lalu sebuah perusahaan bernama Football Venture sebenarnya hampir saja mengambil alih kepemilikan Bolton. Namun pada saat-saat terakhir, kesepakatan dengan Football Venture gagal tercapai. Agar tetap bisa berkompetisi di sisa League One musim ini, EFL (penanggung jawab League One) sempat memberikan tenggat agar Bolton bisa membereskan kekacauan neraca keuangannya sebelum Selasa (27/8/2019) pukul 17.00 waktu setempat, namun syarat itu pun gagal terpenuhi.

Rabu (28/8/2019) dini hari waktu Indonesia, EFL mengumumkan toleransi terakhir hingga 14 hari ke depan. Sampai 12 September 2019, klub ini masih diizinkan beroperasi dan merumput di kompetisi League One. Kendati demikian, jika hingga hari itu Bolton gagal menemukan investor baru untuk menyeimbangkan kondisi finansial mereka, EFL akan mendepak klub ini dari keanggotaan di sepak bola profesional, dan lebih parah lagi: Bolton bakal terkena likuidasi (aset-asetnya akan dijual untuk menutup utang klub).

"Ya, kami telah menerima pernyataan dari EFL untuk memberi toleransi 14 hari agar menemukan solusi dan kesepakatan pengambilalihan klub. Saat ini semua pihak sedang melakukan dialog lanjutan dan bekerja keras agar menemui kesepakatan," ujar pihak Bolton Wanderers dalam pernyataan di laman resmi klub.

Masalah keuangan yang menimpa Bolton memang terasa betul dalam beberapa bulan terakhir. Pekan lalu manajer terakhir mereka, Phil Parkinson dan asisten Steve Parkin mengundurkan diri karena tidak bisa lagi bertahan dengan himpitan yang ada. Gaji Parkinson dan para stafnya selama beberapa bulan terakhir dikabarkan tertunggak. Selain itu, Parkinson juga sudah tidak sanggup menjanjikan hal besar dengan modal cekak—terutama untuk merekrut pemain—yang dimiliki Bolton.

"Jujur saja, ini rasanya tak bisa diterima. Bolton adalah klub dengan sejarah hebat dan kami butuh sedikit bantuan. Jika tak segera dijual, yang terpenting, klub ini butuh beberapa pemain untuk direkrut," tutur Parkinson dalam sebuah wawancara dengan BBC Sport.

Selain Parkinson dan asistennya—akibat masalah finansial, dan gaji tertunggak—para penggawa senior Bolton berguguran. Terakhir, jelang laga kedua League One melawan Coventry, lima pemain senior mogok main. Alhasil Bolton cuma diperkuat para pemain muda yang sebagian besar bersal dari akademi. Imbasnya bisa ditebak. Dalam tiga pertandingan terakhir di semua kompetisi, Bolton selalu kalah dengan skor memprihatinkan. Usai tunduk 5-2 dari Rochdale (di ajang Piala Liga), berurut-turut mereka dibantai 5-0 oleh Tranmere dan Ipswich Town (League One).

Bukan Masalah Baru

Kebangkrutan yang dialami Bolton saat ini tidak bisa dilepaskan dari kinerja investor sekaligus mantan pemiliknya, Ken Anderson. Datang mengambil alih klub pada 2016 lalu dengan konsorsium bernama Sport Shield, mulanya Anderson disambut layaknya seorang pahlawan. Anderson dianggap punya kapasitas menyelamatkan Bolton yang di akhir rezim pemilik saham mayoritas sebelumnya, Eddie Davies, terlempar ke League One.

Padahal, seperti dilansir The Guardian, Anderson tercatat punya rekam jejak kelam. Pada September 2005 dia sempat dicekal dari jabatan Direktur Perusahaan karena delapan perusahaan yang dia jalankan gagal memenuhi kriteria keseimbangan neraca yang diterapkan otoritas Inggris. Salah satu firma miliknya, Professional Sport International (PSI) bahkan tak mampu membayar VAT dan gagal memenuhi tenggat likuidator.

Dan benar saja, pelan tapi pasti cerita nelangsa dialami Bolton. Meski sempat promosi dari League One ke Divisi Championship pada 2017, Bolton kembali turun ke League One (di musim kedua rezim Anderson) karena penjualan banyak pemain muda yang sebenarnya bisa jadi aset klub. Beberapa pemain penting yang justru dijual ke klub lain misalnya Rob Holding (ke Arsenal) dan Zach Clough (ke Nottingham).

Masalah kian runcing karena uang hasil penjualan pemain tidak dimanfaatkan untuk kepentingan yang menunjang pembinaan pemain muda atau perekrutan pemain baru. Masih menurut laporan The Guardian, pada 30 Juni 2017 misal, Bolton era Anderson tercatat mengambil kebijakan kontroversial, yakni membelanjakan 650 ribu paun uang klub untuk 'biaya konsultasi'—yang tidak jelas urgensinya—kepada sebuah perusahaan yang usut punya usut sahamnya dimiliki seorang saudara Anderson.

Seolah melengkapi penderitaan klub, setahun berselang alias pada September 2018 Anderson malah meminjam uang senilai lima juta paun kepada pendahulunya di Bolton, Eddie Davies (Eddie Davies kemudian meninggal beberapa hari setelah peminjaman ini terjadi). Padahal saat itu klub masih punya utang ratusan juta paun yang belum terbayarkan. Hingga bulan Mei 2019 saja, cicilan untuk utang-utang itu belum lunas. Bolton dikabarkan masih punya tagihan senilai 41 juta paun kepada tiga kreditur.

Lantas, apakah semua dosa yang berujung nestapa Bolton murni diperbuat rezim Anderson?

Menurut Maggie Tetlow, seorang pemilik saham fans Bolton dan kolumnis sepakbola Inggris, jawabannya tidak sesederhana itu. Tetlow memang tidak menyangkal betapa bobroknya kebijakan keuangan yang diambil Bolton di era Anderson, namun menurutnya kebangkrutan klub saat ini bukan murni tercipta akibat kebijakan empat atau lima tahun terakhir. Bagi dia, kesulitan finansial Bolton juga tidak lepas dari andil rezim Phil Gartside, pria yang menjabat sebagai chairman Bolton sejak 1999 (sebelum Eddie Davies masuk) sampai 2015.

"Bagiku Anderson jelas pantas disalahkan, tapi masalah ini sudah dibikin sejak keberadaan Phil Gartside, yang berada di struktur klub sejak 20 tahun lalu. Sejak era itu tidak ada transparansi keseimbangan neraca, Bolton tampak seperti toko dengan pintu tertutup. Tak ada yang tahu bagaimana di balik layar orang-orang ini menyirkulasikan uang klub," tulis Tetlow.

Argumen Tetlow masuk di akal. Sejak era 90an hingga akhir 2010 Bolton tercatat sebagai penghuni tetap Premier League, kompetisi yang terkenal menjanjikan pemasukan segunung, terutama dari hak siar. Tentu tak lazim apabila klub dari level itu mendadak didera kebangkrutan hanya beberapa tahun sesudahnya. Menurut laporan The Bolton News, per Desember 2015 saja utang klub ini sudah membumbung tinggi sampai 172,9 juta paun.

"Tak ada kejelasan. Semua pendapatan selama di EPL itu, ke mana saja uang itu pergi?" keluhnya.

Dengan setumpuk masalah mendera Bolton Wanderers, kini hanya keajaiban yang bisa menolong nasib klub tersebut. Mencari investor jelas bukan perkara mudah untuk klub yang punya utang jutaan paun, menunggak gaji para pemain dan pelatih, sampai terkena pengurangan 12 poin di kompetisi League One.

Namun bukan berarti kemungkinan untuk itu tertutup. Di Inggris khususnya, ada beberapa contoh kesebelasan yang akhirnya terselamatkan dari likuidasi karena menemukan pembeli di saat-saat terakhir. Salah satunya Brighton Hove and Albion.

Pada 1997, klub yang kini merumput di EPL ini tercatat pernah mengalami masalah serupa Bolton. Mereka hampir saja terdegradasi dari divisi keempat sepakbola Inggris dan terancam likuidasi, namun sebuah konsorsium bernama Goldstone Ground menyelamatkan mereka.

Akankah takdir serupa bisa menjemput Bolton?

Baca juga artikel terkait LIGA INGGRIS atau tulisan lainnya dari Herdanang Ahmad Fauzan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Zakki Amali