Menuju konten utama

Bolehkah Pemerintah Batasi Medsos dan Awasi Grup WhatsApp?

Elsam mengingatkan pemerintah agar tidak melanggar hukum dan ruang-ruang privat saat pembatasan medsos dan pengawasan grup whatsapp.

Bolehkah Pemerintah Batasi Medsos dan Awasi Grup WhatsApp?
Menkopolhukam bersama jajarannya melakukan konferensi pers mengenai pembatasan media sosial. tirto.id/Aulia adam

tirto.id - Pemerintah mengambil sejumlah langkah antisipasi dalam rangka pengamanan sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satunya patroli siber yang dilakukan Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri.

Target patroli siber tidak hanya laman Facebook, Instagram, dan Twitter, tapi juga penyebaran hoaks di grup-grup WhatsApp yang notabene hanya diikuti secara terbatas oleh anggota grup.

“Mereka (masyarakat) berpikir menyebarkan hoaks di grup Whatsapp itu lebih aman dibandingkan di media sosial. Karena itu kami melakukan patroli siber di grup-grup Whatsapp," kata Kasubdit II Direkttorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Kombes Pol Rickynaldo Chairul di Mabes Polri, Jumat (14/6/2019).

Chaerul mengklaim bahwa patroli WhatsApp yang dilakukan kepolisian tidak melanggar hukum. Ia berdalih kepolisian tidak menggunakan illegal access atau masuk ke perangkat seseorang secara ilegal, tetapi menunggu laporan dari anggota grup atau masyarakat.

"Coba dibaca lagi, undang-undang apa yang kami langgar? Belum ada yang mengatur itu, lagi pula hoaks ini masif beredar di grup Whatsapp," dalihnya.

Mengarah pada Mass Surveillance

Namun, Direktur Eksekutif Institute For Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahju menilai patroli kepolisian di aplikasi WhatsApp tak dapat dilakukan karena harus terlebih dahulu menemukan kejahatan atau pelanggaran hukum.

Menurut Anggara, patroli siber di grup-grup WhatsApp dapat menjurus pada mass surveillance yang dikhawatirkan bisa menerobos ruang privat.

Anggara mencontohkan di negara lain seperti Inggris, mekanisme pengawasan ini justru malah disalahgunakan hingga menyasar orang yang tak melakukan pelanggaran hukum. Sementara di Cina, metode mass surveillance ini malah berujung pada upaya pemerintah mendikte aktivitas warga negaranya.

"Dia harus ada kejahatannya dulu. Kalau enggak ada ya enggak boleh, apalagi melalukan penargetan ya. Kalau konteks penegakan hukum kan enggak boleh survailance massal," ucap Anggara saat dihubungi reporter Tirto pada Sabtu (15/6/2019).

Hal senada juga disampaikan Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar. Ia mengatakan kepolisian dapat memasuki ranah percakapan WhatsApp dengan dua kemungkinan. Pertama, memanfaatkan ketidakjelasan privasi grup Whatsapp yang bisa saja dimasuki siapapun, sehingga seseorang bisa menjadi informan.

Kedua, bila yang dimasuki grup atau percakapan privat yang terbatas di WhatsApp, maka paling memungkinkan adalah intersepsi komunikasi yang biasa digunakan untuk penegakan hukum. Wahyudi mengatakan Undang-undang Tipikor, Undang-undang KPK, Undang-undang Terorisme, hingga Perdagangan Manusia memberi kewenangan itu, tetapi harus dilakukan oleh penyidik dan mendapat surat perintah.

Menurut Wahyudi, cara kedua ini sama sekali tidak boleh dilakukan kepolisian dalam patroli siber karena mengarah pada mass survailance yang melanggar ruang privat.

Mass survailance tidak dibolehkan. Kalau pun ada itu menarget seseorang di proses penyidikan. Kalau dilakukan tanpa tujuan yang jelas enggak boleh,” jelasnya.

Bagaimana dengan Pembatasan Akses?

Tak hanya patroli siber, pemerintah juga bersiap melakukan pembatasan internet dan media sosial. Terkait hal tersebut, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sudah bersiap melakukan pembatasan akses internet saat sidang perdana sengketa Pilpres 2019 pada Jumat, 14 Juni 2019. Namun, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo, Ferdinandus Setu mengatakan pembatasan itu masih melihat situasi.

Ia menambahkan, pembatasan baru akan dilakukan jika perkembangan situasi mengarah seperti pada kerusuhan 21-22 Mei lalu.

"Pembatasan itu kondisional. Jika eskalasi berita hoaks dan hasutan meningkat sangat luar biasa disertai dengan kejadian MK yang dapat membahayakan bangsa dan negara," ujar Setu kepada Tirto, Kamis (13/6/2019).

Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi menilai pemerintah memang memiliki wewenang melakukan pembatasan akses yang diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Namun, Heru mengatakan pembatasan tersebut dilakukan dalam konteks untuk mencegah ketimbang merespons situasi yang sedang memanas.

“Tugas menurut UU ITE itu mencegah bukan mengobati,” ucap Heru saat dihubungi reporter Tirto pada Sabtu (15/6/2019).

Heru melanjutkan, target pembatasan akses adalah informasi yang melanggar peraturan perundang-undangan, bukan seluruh informasi secara membabi-buta. Ia mencontohkan pembatasan akses 22-25 Mei kemarin yang menyasar seluruh akun dan kanal.

Heru mengingatkan agar hal itu jangan sampai terulang karena pemerintah perlu menghormati asas praduga tak bersalah.

“Kalau pun ada pembatasan, terhadap mereka yang nakal. Kalau yang diblok jangan semua medsos, tapi akun-akun yang sebar hoaks dan ujaran kebencian saja termasuk akun tokoh yang sebar hoaks,” ujarnya.

Sementara itu, Wahyudi Djafar mengatakan bahwa hak kebebasan berekspresi dan akses informasi memang tergolong dapat dibatasi dengan sejumlah alasan. Misalnya untuk keamanan nasional, moral publik, hingga reputasi orang lain.

Namun, Wahyudi mengatakan pada pelaksanaannya pembatasan akses ini ternyata masih menuai kontroversi. Pasalnya, kata dia, pemberlakuannya belum mengindahkan adanya alasan hukum, detail tujuan, prosedur hingga batasan waktunya.

Di samping itu, pembatasan akses yang sempat dilakukan pemerintah juga tak melalui keputusan resmi yang dibuatkan dokumennya. Padahal kata Wahyudi, keputusan seperti ini rentan disalahgunakan sehingga harus selalu terbuka untuk diuji oleh publik di pengadilan.

“Problem sebelumnya tidak pernah ada keputusan resmi atau deklarasi yang bisa diuji apakah itu legitimate atau tidak,” ucap Wahyudi.

Benar saja, ketika pembatasan terjadi pada 22 Mei lalu, dasar pemerintah hanya jumlah url yang beredar. Menkominfo Rudiantara menjelaskan hal itu juga menjadi dasar pemerintah tak memberlakukan pembatasan selama sidang MK.

Sementara itu, Menkopolhukam Wiranto merujuk pada kepentingan negara sebagai dasar pembatasan 22 Mei lalu. Menurutnya, pada situasi itu pembatasan memang dibutuhkan dan segera dicabut pemerintah usai keadaan berangsur normal.

Baca juga artikel terkait PEMBATASAN MEDIA SOSIAL atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Hukum
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Gilang Ramadhan