Menuju konten utama

Boleh Mengkritik Soeharto, Tapi Syarat dan Ketentuan Berlaku

Ketika Presiden daripada Soeharto menyampaikan kiat tentang cara menyampaikan kritik kepada dirinya.

Boleh Mengkritik Soeharto, Tapi Syarat dan Ketentuan Berlaku
Presiden Soeharto. FOTO/AP Photo

tirto.id - Warsa 1990-an adalah babak baru bagi Presiden daripada Soeharto. Ia sudah lebih dari dua dekade menjadi orang nomor satu di Indonesia. Jika pada era sebelumnya Soeharto merasa kuat hanya dengan tentara, maka pada babak baru itu ia ingin kuat bersama tentara dan Islam Politik. Ia ingin menampilkan diri sebagai sosok yang terbuka pada kritik.

Soeharto sebetulnya sudah biasa menerima kritik, termasuk dari para bawahannya, tapi syarat dan ketentuan berlaku.

Sekali waktu Panglima ABRI Jenderal Benny Moerdani, pernah mengkritiknya sepintas lalu. Di ruang biliar, Benny dan Soeharto pada mulanya bicara soal keamanan presiden.

“Begitu saya angkat masalah tentang anak-anaknya, Pak Harto langsung berhenti main. Segera masuk kamar tidur meninggalkan saya di ruang bilyar,” kata Benny seperti dikutip Julius Pour dalam Benny: Tragedi Seorang Loyalis (2007:343).

Letnan Jenderal Sayidiman Suryohadiprojo, perwira yang lebih senior daripada Benny, juga pernah mengkritik Soeharto. Menurut Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016:85-86), Sayidiman melakukannya lewat sebuah tulisan yang hendak dimuat dalam sebuah buku tentang Soeharto.

"Apakah tidak lebih baik ketika Pak Harto berada pada puncak kekuasaan dan karier mengikuti Deng Xioping dan Lee Kuan Yew, melepaskan diri dari pimpinan negara secara formal,” tulis Sayidiman.

Secara keseluruhan, tulisan itu dianggap menarik, namun bagian sensitifnya harus dihilangkan. Sayidiman menolak pemotongan itu, tapi dia tak punya kuasa dan tulisan itu diterbitkan setelah disensor seperti yang dikehendaki Soeharto.

“Kalau ada rencana apa dan masalah apa, ya disampaikan langsung. Jangan diam-diam,” ujar Soeharto kepada Sayidiman dalam Pak Harto: The Untold Stories (2011:91).

Tahun 1993, Soeharto pernah menandaskan soal mengkritik di hadapan khalayak. Seperti ditulis Republika (21/01/1993) yang kemudian dihimpun dalam buku Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita Buku XV 1993 (2008:55-57), Soeharto mewanti-wanti agar kritik bukan sekadar mencela. Sebab kalau sekadar menyalahkan atau mencela, kata Soeharto "itu gampang".

“Kalau sanggup mengkritik, harus sanggup menunjukkan mana yang baik. Itu yang harus kita budayakan,” imbuhnya.

Ia melanjutkan, “Pemerintah memang harus dikontrol oleh wakil-wakil rakyat dalam Dewan Perwakilan Rakyat, sesuai dengan kebudayaan kita dan jati diri kita sebagai bangsa Indonesia."

Kala itu, Soeharto merasa prihatin dengan anggapan-anggapan miring tentang pemerintahannya.

“Sekarang ini ada yang mengajukan pertanyaan seolah-olah demokrasi kita tidak berkembang. Ada yang mengatakan loyo dan sebagainya,” ungkapnya. Bagi Soeharto, sangat tidak cocok membandingkan Demokrasi Pancasila di Indonesia dengan demokrasi lainnya.

Ia menganggap mereka yang berpikiran demokrasi Indonesia tidak berkembang bahkan loyo, adalah orang-orang yang tidak mengerti konsensus yang telah ada, yakni kedaulatan rakyat yang berada di tangan DPR/MPR.

“Mereka (DPR/MPR) itulah yang menentukan,” ujar Soeharto.

Menurutnya, perbedaan pendapat bukan masalah, tapi penyampaiannya mesti bermutu. Apa yang dimaksud bermutu oleh Soeharto? Yaitu harus menjadikan Pedoman Pelaksanaan Penghayatan Pancasila (P4) yang penting dalam Demokrasi Pancasila sebagai acuannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan rakyat.

Dalam mengkritik, imbuhnya, “Harus mengindahkan sopan santun. Di mana-mana etika itu ada. Nah, Demokrasi Pancasila juga ada etikanya. Etikanya ya yang saya sebutkan bermutu itu.”

Bagi Soeharto, kritik yang sifatnya meresahkan dan menghasut, bertentangan dengan sila ketiga Pancasila, yakni Persatuan Indonesia. Dan hal itu berpotensi membuat perpecahan dan mengganggu ketertiban.

“Banyak orang yang mengritik dan yang sok ngritik. Yang dapat kritikan terlalu banyak itu saya,” kata Soeharto seperti diberitakan Suara Karya (28/06/1993) dan dihimpun dalam Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita Buku XV 1993 (2008:900).

Tjipta Lesmana dalam Dari Soekarno sampai SBY: Intrik & Lobi Politik Para Penguasa (2013:74) mengungkapkan hal berbeda. Mengutip pengakuan Jenderal AM Hendropriyono, Tjipta Lesmana menyebut Soeharto tidak suka menterinya dikritik. Mengkritik menteri Orde Baru sama artinya dengan mengkritik Soeharto. Kritik bisa dianggap sebagai serangan. Menurut Soeharto, jika kritik sebagai serangan terus-terusan dilancarkan, terutama lewat media, maka pembangunan nasional akan terganggu.

Maka pada 1994, ketika Tempo mengkritik kabinet Soeharto terkait pembelian 36 kapal bekas Jerman Timur, Soeharto tak terima. Lalu pada 21 Juni 1994, Direktur Jenderal Pers dan Grafika Departemen Penerangan Subrata meneken pemberedelan Tempo, juga Detik dan Editor.

Infografik Kritik yang Baik Ala Soeharto

Infografik Kritik yang Baik Ala Soeharto. tirto.id/Fuad

Gus Dur Mengkritik Soeharto

Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pernah mengkritik Soeharto terkait proyek Waduk Kedung Ombo. Orang-orang terdekat Soeharto tidak suka dengan kritikan itu.

“Mereka ini ingin mengingatkan Gus Dur bahwa ia berhutang budi kepada sang presiden mengenai kedudukannya sekarang ini. Olah karena itu, Gus Dur diharapkan dapat mengendalikan diri dalam memberikan kritik terhadap Soeharto,” tulis Greg Burton dalam Biografi Gur Dur: The Autorized Buography (2003:204).

Gus Dur adalah orang yang enggan ikut bergabung dalam Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang direstui Soeharto. Penolakan itu seolah mencabut legitimasi penuh Islam yang mau diraih oleh Soeharto dan ICMI.

Selain itu, menurut Andree Feillard dalam NU vis-a-vis Negara (1999: 403), Gus Dur juga bersedia memimpin gerakan tandingan yang bernama Forum Demokrasi. Hal inilah yang membuat Soeharto semakin jengkel. Akibatnya, sempat muncul usaha-usaha untuk menjegal Gus Dur dalam Muktamar NU ke-29 pada 1994 di Cipasung, Tasikmalaya.

Baca juga artikel terkait ORDE BARU atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh